Suatu Pagi di Pasar Terapung Sungai Kuin

Oyos Saroso H.N.

Jual beli di atas perahu di Sungai Kuin
HARI Hari masih gelap. Matahari belum menampakkan sinarnya. Umat Islam baru saja keluar dari Masjid Sultan Suriansyah—masjid tua bersejarah di tepi Sungai Kuin di Kota Banjarmasin—ketika rombongan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia menuju dermaga. Dermaga sederhana itu terletak persis di depan Masjid Suriansyah. Pagar besi dermaga itu masih berembun.

Karena kami datang di pagi buta, para jamaah yang baru selesai salat subuh itu menonton kami. Apalagi ketika kami melakukan pemotretan di sekitar dermaga dan halaman masjid.

“Ayo kita segera berangkat. Kalau terlambat pasar sepi dan tak ada yang bisa kita lihat,” teriak Memet, 30.

Memed adalah seorang penyair dan aktivis sastra. Ia warga Banjarmasin keturunan suku Dayak. Pagi itu kami mempercayainya sebagai pemandu.

Setelah pose dan berfoto beberapa menit, kami—sekitar 30-an orang—pun segera berangkat menuju Pasar Terapung Muara Kuin. Kami menyewa dua perahu dengan harga Rp 150 ribu per perahu. Perjalanan dengan perahu motor dari dermaga di depan Masjid Surianyah hingga Pasar Apung Sungai Kuin menjadi perjalanan yang mendebarkan bagi siapa saja.

Penyair Ahda Imran (nomor dua dari kanan) menikmati kopi hangat bersama kawan-kawannya di atas perahu di Sungai Kuin.
Pasar Terapung Muara Kuin sering juga disebut Pasar Apung Sungai Barito. Ia merupakan pasar tradisional yang berada di atas sungai Barito. Letaknya persis di  di muara sungai Kuin, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Pasar Terapung Muara Sungai Kuin diperkirakan tumbuh sejak zaman Kerajaan Banjar. Ketika itu pasar daratan belum ada, karena sebagian besar kegiatan para warga memanfaatkan sarana air. Pasar tersebut dinilai unik karena tumbuh secara alamiah.

“Para nenek moyang orang Banjar dulu memilih kawasan pasar apung di situ karena arealnya yang sangat luas. Tempatnya merupakan muara Sungai Kuin dan berada di aliaran Sungai Barito yang memang terkenal sangat lebar,” kata Memet.
.
Barang-barang dagangan yang diperjualbelikan sebagian besar berupa hasil alam. Jual-beli sering dilakukan oleh para pedagang secara barter. Sebagian besar pelaku aktivitas di pasar tersebut adalah kaum ibu yang mengenakan busana sederhana serta topi yang besar dan lebar, yang disebut tanggui.

Meskipun bernama pasar, tidak ada kios atau toko di sana. Di pasar tradisional itu, para pedagang dan pembeli sama-sama menggunakan jukung, yaitu sebutan untuk perahu kecil dalam bahasa Banjar. Transaksi dilakukan di atas jukung. Di pasar terapung tidak ada organisasi seperti pada pasar di daratan, sehingga tidak tercatat berapa jumlah pedagang dan pengunjung atau pembagian pedagang berdasarkan barang dagangan.

Uniknya, aktivitas di pasar ini hanya terjadi di menjelang matahari terbit hingga matahari terbit, atau sekitar pukul 05.00 hingga selepas pukul 07.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Panorama matahari terbit yang memancarkan semburat warna merahnya seolah-olah memacu para pedagang dan pembeli untuk segera merampungkan tugasnya. Para pedagang mendayung perahunya hilir-mudik agar dagangannya laku dan cepat habis; sementara para pembeli juga mendayung perahu untuk mendatangi pedagang.

Di pasar yang sudah berusia ratusan tahun itu, transaksi sayur-mayur dan hasil bumi terjadi baik dengan bahasa Banjar maupun Bahasa Indonesia. Para pedagang umumnya berasal dari kampung-kampung di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya. Para pedagang wanita yang berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh,  sedangkan tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan. Keistemewaan pasar ini adalah masih sering terjadi transaksi barter antar para pedagang berperahu, yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk. Perdagangan dengan sistem bapanduk atau barter kini menjadi satu hal yang langka di zaman modern.

Jukung-jukung penuh muatan barang dagangan sayur mayur, buah-buahan, segala jenis ikan dan berbagai kebutuhan rumah tangga tersedia di pasar terapung. Suasana pasar terapung sungguh unik: banyak perahu besar dan kecil berdesak-desakan untuk melakukan transaksi jual beli di atas perahu masing-masing. Sesekali sebuah perahu terlihat oleng karena dimainkan gelombang Sungai Barito.

Penyair Raudal Tanjung Banua pacaran dengan mantan pacarnya. 
Ketika matahari mulai muncul berangsur-angsur pasar pun mulai sepi. Para pedagang dan pembeli pun mulai beranjak meninggalkan pasar terapung membawa hasil yang diperoleh dengan kepuasan. Ada yang pulang dengan menyewa perahu motor, tapi banyak pula pembeli yang pulang dengan membawa perahu motor sendiri.

Sambil menyaksikan panorama pasar di atas air, wisatawan bisa sarapan sambil minum kopi atau teh panas di atas perahu yang disewanya. Caranya sangat mudah, yaitu bertepuk tangan untuk memanggil penjaja makanan dan minuman yang berseliweran di sekitar pasar. Penjaja makanan dan minuman biasanya juga memakai perahu tambangan. Perahu tambangan adalah jenis perahu khas Banjarmasin yang bentuknya panjang dan beratap. Perahu tambangan bisa terapung saja. Bisa juga hilir-mudik di pasar terapung.


Dengan cekatan penjaja makanan tersebut akan segera menghampiri para pemesannya. Untuk mengambil makanan berupa kue—biasanya berupa pisang goreng, roti bakar, atau beberapa jenis lontong—penjual biasanya menyediakan sebatang kayu atau bambu sepanjang dua meter yang ujungnya diberi kawat yang dibengkokkan. Dengan alat itulah pembeli bebas mengambil sendiri makanan yang dibelinya.

Bersamaan sepinya pasar, dalam perjalanan pulang menuju dermaga, para wisatawan masih bisa mengunjungi lokasi wisata di tepi Sungai Kuin, yaitu Masjid Sultan Suriansyah. Masjid Sultan Suriansyah merupakan masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.

Beberapa ratus meter dari Masjid Suriansyah terdapat Kompleks Makam Sultan Suriansyah. Sultan Suriansyah merupakan raja Kerajaan Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Sewaktu kecil namanya adalah Raden Samudera, setelah diangkat menjadi raja namanya menjadi Pangeran Samudera dan setelah memeluk Islam namanya menjadi Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang.

Kalau belum cukup puas, sambil berperahu masih menikmati pemandangan alami lainnya. Yaitu pemandangan di sisi kiri-kanan Sungai Kuin yang dipenuhi dengan pemandangan khas perkampungan masyarakat kampung pinggir sungai: mencuci piring dan gelas, mencuci pakaian, bahkan mandi, sikat gigi, dan membuang kotoran!

Warga Kampung Kuin sebenarnya sadar bahwa air sungai yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak higienis. Mereka mengaku terpaksa karena kesulitan mendapatkan air bersih. Namun, khusus untuk memasak, mereka membeli air bersih yang dijajakan para pedagang air dengan perahu motor.

Wisatawan harus hati-hati kalau hendak pulang dan turun di dermaga kapal di depan Kantor Pemda Kalimantan Selatan. Itu terutama bagi wisatawan yang gemar naik di atas atap kapal, karena kepala bisa “terhamtam” jembatan. Sebab, di sepanjang Sungai Kuin mulai dermaga di depan Masjid Surianyah hingga dermaga di depan Kantor Pemda Kalimantan Selatan terdapat 6 jembatan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan