Pelayarputihan Novel dalam Film Indonesia

Dias P Samsoerizal*

Belakangan ini, perfilman Indonesia dibanjiri oleh cerita yang diadaptasi dari  novel. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini antara lain: 5Cm karya Donny Dirgantoro, 99 Cahaya karya Hanum Rais, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di bawah Lindungan Kabah karya Buya Hamka, dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Animo masyarakat dalam menonton film tersebut sangat antusias. Hal ini terlihat bahwa ketika film- film tersebut ditayangkan di bioskop-bioskop ternama menarik minat jutaan penonton. Fenomena ini cukup menarik. Terutama, ketika masyarakat yang awam akan karya-karya sastra mengenal sastra ketika di layarputihkan. Kedua, pelayarputihan novel ternyata sangat menarik untuk dikemas menjadi sebuah film yang berbobot.

Di sisi lain, pelayarputihan novel ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada tahapan proses ketika sineas (pekerja film) memutuskan pilihan mengangkat novel menjadi film. Hal ini disebabkan cerita novel yang menarik sekalipun harus divisualisasikan secara menarik.

Ekranisasi

Pelayarputihan novel dikenal dengan istilah ekranisasi.  Menurut Eneste (1984: 60-61) ekranisasi merupakan pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan.

Alat utama dalam novel ialah kata-kata; segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan kata-kata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar.

Proses penggarapannya pun terjadi perubahan. Novel adalah kreasi individual dan merupakan hasil kerja perseorangan. Tidak demikian dengan pembuatan film. Film merupakan hasil kerja kolektif. Bagus- tidaknya sebuah film, banyak bergantung pada keharmonisan kerja unit-unit didalamnya: produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain.

Membaca novel ialah suatu proses mental. Kata-kata yang ditulis pengarang akan menimbulkan imajinasi bagi yang membacanya dan selanjutnya mengerti apa yang hendak disampaikan pengarang. Tidak demikian dengan film. Penonton film disuguhi gambar-gambar hidup, konkret, dan visual, seakan-akan penonton sedang menyaksikan barang-barang atau benda-benda yang sesungguhnya. Dengan demikian, ekranisasi berarti terjadinya perubahan pada proses penikmatan, yakni dari membaca menjadi menonton; penikmatnya sendiri berubah dari pembaca menjadi penonton.

Wajarlah apabila sering terjadi tanggapan yang beragam ketika seseorang yang telah membaca novel dan menontonnya sekaligus. Ada yang mengatakan novelnya lebih bagus daripada filmnya begitupun sebaliknya. Faktor ekranisasilah yang membuat berbagai tanggapan muncul.

Pelayarputihan Novel dari Masa ke Masa

Novel yang pertama difilmkan ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis yang disutradarai oleh Asrul Sani pada tahun 1972.  Film ini dibintangi oleh Ruth Pelupessy dan Dicky Zulkarnaen. Film tersebut berkisah tokoh Hanafi (Dicky Zulkarnaen), yang gagal studinya di Eropa, pulang ke kampungnya di Sumatera Barat. Mulailah pertentangan antara kebiasaan Hanafi di Eropa dengan adat setempat. Hanafi menaruh hati kepada Corrie du Bussee (Ruth Pelupessy), wanita peranakan Prancis. 

Hubungan ini ditentang oleh orang tua masing-masing. Hanafi sudah dijodohkan dengan Rapiah (Rima Melati), sedang ayah Corrie tidak ingin anaknya kawin dengan orang Melayu. Selanjutnya, kawinlah Hanafi dengan Rapiah, meski sudah diduga tidak akan lancar. Hanafi menyusul Corrie yang pergi ke Jakarta. Pasangan terakhir ini kemudian kawin. Ternyata rumah tangga Hanafi-Corrie juga tidak seperti yang diharapkan, hingga bercerai. Corrie kemudian meninggal, dan Hanafi pulang kampung lagi dengan perasaan kalah dan menyerah.

Novel kedua yang berhasil menembus pasaran dan tentu sangat populer adalah Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo.   Novel selanjutnya ialah Atheis merupakan film drama tragedi romantis tahun 1974 yang disutradarai oleh Sjuman Djaya dan dibintangi oleh Deddy Sutomo dan Christine Hakim. Film yang dibuat berdasarkan novel sastra kanon tahun 1949 ini merupakan karya Achdiat K. Mihardja.

Selanjutnya, pada tahun yang sama sekitar tahun 1970-an dunia perfilman Indonesia didominasi dengan munculnya berbagai film remaja yang berasal dari novel pop, seperti karya Ashadi Siregar dalam film Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir (1976–1977).

Cintaku di Kampus Biru adalah film drama percintaan Indonesia yang diproduksi pada tahun 1976 dan disutradarai oleh Ami Prijono. Film Kugapai Cintamu merupakan film remaja yang disutradarai oleh Wim Umboh berdasarkan novel  yang juga ditulis oleh Ashadi Siregar. Kugapai Cintamu merupakan film terlaris kelima di Jakarta pada tahun 1977 dengan jumlah penonton 128.409, menurut data Perfin (Perindustrian Film Indonesia).

Film Terminal Cinta Terakhir adalah film Indonesia yang dirilis pada tahun 1977 yang mengangkat dari novel Ashadi Siregar berjudul sama dengan disutradarai oleh Abrar Siregar. Film ini dibintangi antara lain oleh WS Rendra dan Marini.

Film yang muncul pada era 1980 hingga 1990-an diantaranya ialah Serpihan Mutiara Retak karya Nina Pane, kemudian film Lupus yang di layarputihkan dari novel karya Hilman Hariwijaya yang disutradarai oleh Achiel Nasrun pada tahun 1987. Selanjutnya film Taksi yang di layarputihkan dari karya sastra Edi Suhendro pada tahun 1990.

Setelah larisnya film Laskar Pelangi yang dilayarputihkan berdasarkan novel Andrea Hirata, muncul film yang diangkat dari novel Habiburahman El-Shirazy: Ayat-Ayat Cinta dan Sajadah Cinta yang keduanya disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Ada juga Perempuan Berkalung Sorban yang dikarang oleh Abidah El Khalieqy dan disutradarai pula oleh Hanung Bramantyo. Selanjutnya pada 2013 film bertema percintaan dengan judul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Kedua novel tersebut karya lama Buya Hamka.

Pelayarputihan novel memiliki sejarah yang cukup panjang. Pelayarputihan ini menarik tidak saja untuk menjadi bahan bacaan tetapi dapat menjadi tontonan dan tuntunan. Dalam perjalanan film Indonesia, pelayarputihan novel Indonesia dimulai dari tahun 1972 dan berkembang terus bahkan tidak menutup kemungkinan di masa-masa yang akan datang.


*) Penulis adalah mahasiswi semester 4 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan