Hendardi dan para aktivis Koalisi Menolak Lupa. (foto VOA Indonesia) |
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi di Jakarta, Selasa (27/5) mengatakan koalisi ini berkepentingan untuk mendesak agar dokumen DKP dibuka kembali mengingat realitas politik bahwa Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai calon presiden.
Sidang DKP menurut Hendardi merekomendasikan untuk dilakukan peradilan militer kepada Prabowo, tapi hingga kini belum dilakukan. "Kami berkepentingan untuk mendesak agar dokumen (DKP) tersebut dibuka kembali, karena pada dasarnya satu realitas politik dimana Prabowo sendiri sudah mencalonkan diri menjadi Presiden. Dan kita akan punya Panglima tertinggi TNI nantinya yang akan dipegang Prabowo jika dia terpilih. Bagaimana seorang tentara dengan gelap masa lalunya menjadi seorang Panglima tertinggi. Apakah ini bukan merupakan suatu problem?," jelas Hendardi.
Hendardi menambahkan, beberapa hal lain selain keputusan DKP menyangkut Prabowo, Koalisi Menolak Lupa dan Korban Pelanggaran HAM juga meminta kepada Pepabri agar memanggil mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen tekait informasi keberadaan nasib dari 13 aktivis korban penculikan yang belum kembali.
"Soal Kivlan Zen. Kami berharap kepada Pepabri setidak-tidaknya kami bisa mendiskusikan terkait dengan keterangan dari Kivlan soal 13 orang aktivis yang belum kembali. Seharusnya Pepabri meminta keterangan anggotanya terkait hal itu. Ini bukan hanya sekedar masalah penculikan atau penghilangan paksa, bukan pula sekedar masalah penegakan hukum, tapi juga hak dari keluarga korban untuk tau informasi itu," tambah Hendrardi.
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (kontraS) Haris Azhar mengatakan Koalisi Menolak Lupa dan Korban Pelanggaran HAM ingin melakukan audiensi dengan Ketua Umum Pepabri Agum Gumelar selaku mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk memastikan keputusan yang pernah dikeluarkan DKP terhadap Prabowo.
"Tujuan kami sebetulnya awalnya adalah ingin memastikan ke pak Agum (Gumelar Ketua Umum Pepabri), sebagai salah seorang mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira. Terkait dengan keputusan yang dibuat terhadap Prabowo. Ini terkait dengan persyaratan untuk maju sebagai calon presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kami juga akan menindaklanjutinya ke Mabes TNI untuk minta klarifikasi terkait dengan keputusan yang tertulis di surat keputusan Dewan Perwira," kata haris Azhar.
Sementara itu Sumarsih dari perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM berharap negera segera mempertanggung jawabkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Kami menginginkan masa depan Indonesia lebih baik. Dan kami juga menginginkan agar kasus pelanggaran HAM bisa segera diselesaikan. Jangan kemudian ada perkataan bahwa kami ini seolah-olah mengada-ada suara kami lima tahun sekali. Padahal kenyataannya setiap saat kami selalu menginginkan selalu memperjuangkan agar negara segera mempertanggungjawabkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya yang sudah diselidiki Komnas HAM," kata Sumarsih.
Sebelumnya beberapa LSM pegiat HAM dan korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam Koalisi Melawan Lupa berencana melakukan audiensi dengan Ketua Pepabri Agum Gumelar Senin (26/5). Namun, audiensi batal dilakukan karena Agum dikabarkan ada urusan mendadak.
Dari penelusuran VOA, hasil keputusan Dewan Kehormatan Perwira pada 24 Agustus 1998, memberhentikan Letjen Prabowo Subianto dari dinas aktif militer dan memberhentikan Mayjen Muchdi Purwopranjono sebagai Danjen Kopassus.
Dewan Kehormatan Perwira dibentuk pada 3 Agustus 1998 oleh Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto. Dewan Kehormatan Perwira ini dibentuk untuk menyelidiki kasus penculikan aktivis dan kekerasan Mei 1998.
Dewan Kehormatan Perwira dipimpin oleh KSAD Jenderal TNI Subagyo HS dengan anggota pada waktu itu diantaranya Kassospol ABRI Letjen TNI Soesilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Lemhanas Letjen TNI Agum Gumelar. Penyelidikan Dewan Kehormatan Perwira pada waktu itu berlangsung secara tertutup.
Sumber: voaindonesia
0 komentar:
Posting Komentar