Oyos Saroso H.N.
Kampanye hitam sudah tua usianya. Kalau dia manusia, pastilah ia jalannya sudah tertatih-tatih seperti Mbah Suro Gatho. Meski tua, atau apalah namanya, kampanye hitam tetap dilestarikan sampai sekarang, terutama menjelang pilkada, pemilu, dan pemilihan presiden. Lebih sip lagi kalau kampanye hitam itu dibumbui cap agama dan asal-usul suku. Makin markosip kalau ditambah analisis pakai otak mengsol.
Apa itu kampanye hitam? Tidak perlu bertanya kepada doktor ilmu politik jebolan universitas luar negeri. Orang kampung seperti Mat Nduletak atau Mat Nduletik yang tidak pernah makan bangku sekolah pun tahu: kampanye hitam ialah menyebarluaskan informasi yang tidak sesuaai dengan kenyataan dengan maksud agar pihak yang menjadi sasaran dinilai masyarakat seperti yang disampaikan oleh si pelaku.
Dulu, ketika Caca Marica Hehe masih muda dan belum tahu tentang bol bengkong-nya pemilu, dia sering ikut-ikutan menyebarluaskan informasi yang salah tentang partai tertentu. Misalnya, partai yang gambarnya pohon besar dengan akar berjuntai adalah parpol yang tidak layak dipilih karena menjadi sarang genderuwo.
Pernah pula Caca Marica Hehe ikut-ikutan menyebarluaskan infomarsi bahwa partai bergambar banteng ngamuk itu haram karena isinya orang Kristen.Biar selamat dunia akherat, kata Caca Marica Hehe (menirukan tetangganya yang jago kampanye hitam) pilihlah partai yang ada gambar Kakbahnya.
Itu dulu. Zaman ketika belum ada internet. Era ketika kaum cerdik pandai menjadi anutan dan tempat bertanya. Kini zaman sudah berubah. Era globalisasi, kata jenatnya Mbah Harto dan Pak Dhe Harmoko.
Di zaman globalisasi, ketika dunia bisa dilipat dalam sebuah alat elektronik ukuran segenggaman tangan, komunikasi adalah segala-galanya. Dunia berada dalam genggaman siapa pun yang punya uang untuk membeli telepon genggam canggih dan bisa main internet. Sopir taksi tiba-tiba punya analisis politik cerdas. Tukang sate seperti Mat Dra'i pun bisa menulis status Facebook panjang-panjang, meskipun isinya seragam.
Pemilu zaman pesawat televisi layar hitam putih dan dunia nir-internet tentu beda dengan pemilu zaman kiwari. Dulu orang cuma berani bisik-bisik untuk tidak memilih Golkar. Sekarang orang memaki calon presiden bisa bisa seenak jidatnya sendiri. Kalau makian itu berdasarkan fakta--atau setidaknya orang ramai pernah melihat bukti dan dampak perbuatan si calon pemimpin A, B, dan X atau Y-- sih enggak apa-apa. Namun, kalau yang jadi bahan makian kelas terminal cuma desas-desus, rumor, kecap basi, dan kisah bohong, lalu apa bedanya dengan tukang obat di pasar tradisional di kampung-kampung yang jualan obat sambil ngecap dengan maksud menipu calon pembeli? Apa bedanya dengan preman Blok M yang jualan obat palsu pemutih kulit sambil menarik calon pembeli dan memaksa korbannya membeli dagangannya?
Sikap kritis dan memakai otak waras. Itulah mestinya yang jadi dasar kaum cerdik pandai yang disebut sebagai dosen, pengamat politik, akademikus dll itu untuk memberikan pencerahan kepada publik. Kalau cerdik pandai sudah tidak bisa membedakan antara nalar dan syahwat, antara nafsu pribadi dengan kesadaran memberikan pencerahan kepada publik, dan cara braokannya sama dengan cara Suto Blawong, ya.... mestinya berhenti saja jadi cerdik pandai. Tidak perlu mengajar. Lebih baik mencangkul di sawah dan tidak menambah dosa dengan mengumbar syahwatnya ke mana-mana.
Sebulan menjelang pemilu presiden, yang kita butuhkan bukanlah kehebatan cara cerdik pandai bercoletah tentang calon yang dia bela dan akan dipilih. Yang dibutuhkan adalah kesadaran banyak orang --terutama kaum cerdik pandai, apalagi jebolan universitas luar negeri-- untuk memberikan pendidikan politik yang baik. Itulah barang langka yang sudah lama dibuang ke tong sampah oleh para politikus sesat dan kini diam-diam ditinggalkan pula oleh aktivis NGO karena ditinggal lari Tuan Funding.
Orang bodoh bin dungu seperti Mat Nduletak dan Mak Nduletik tidak perlu diajari cara menyebarluaskan kampanye hitam. Mereka perlu diajak ramai-ramai kampanye putih....
0 komentar:
Posting Komentar