Bersenang-senang Dahulu, Bersakit-sakit Kemudian

Indrawan Rahardja

Anda mungkin menyangka terjadi salah penulisan judul di atas dalam mengutip peribahasa. Bukankah yang benar harusnya “Bersakit-sakit dahulu, Bersenang-senang kemudian" ?  Memang kalau bicara mengenai peribahasa, maka judul di atas tidak tepat, namun bila bicara soal perilaku kebanyakan masyarakat di Indonesia saat ini, maka pernyataan di atas yang lebih tepat terjadi.

Ingin bukti ? Ayo coba kita lihat pesan singkat di telepon selular kita, atau lihat brosur dari kebanyakan perbankan yang menawarkan fasilitas kemudahan. Kemudahan ? Ya, kemudahan untuk mendapatkan fasilitas kredit tunai tanpa anggunan dengan bunga ‘kecil’ perbulannya, atau penawaran untuk menggunakan kartu kredit anda untuk mendapatkan angsuran 0% sampai 12-24 bulan. Pesan ini bisa kita temui 5 kali dan bahkan lebih dalam seharinya.

Mari kita bahas satu persatu. Secara logika, bila suatu institusi ingin memberikan uang kepada Anda maka tentu si pemberi pinjaman tidak ingin menanggung risiko kerugian bila Anda tidak bisa mengembalikan pinjamannya, karenanya pemberi pinjaman akan meminta jaminan. Nah, bagaimana kalau pemberi pinjaman tidak meminta jaminan ? Sudah pasti bunga yang dikenakan lebih tinggi dari pinjaman biasa. Loh, kalau begitu bagaimana dengan pernyataan bunganya kecil? Hal itu karena yang diperbandingkan adalah bunga pinjaman tanpa anggunan yang saat ini berkisar di 1% perbulan dengan bunga kartu kredit yang berkisar di 2.5–3 % perbulan. Tahukah Anda, berapa yang sebenarnya Anda bayar ? Bunga 1% perbulan itu setara dengan 12.68% setahun dan 2.5–3% sebulan itu setara dengan 34.49-42.58% setahunnya. Nah, kalau sudah seperti ini, apakah Anda masih menyebut bunganya kecil ?

Lalu bagaimana dengan angsuran 0% dari kartu kredit ? Pertama-tama harus disadari bahwa angsuran yang diberikan biasanya berpatokan pada harga standar, dengan kata lain, bila kita memilih untuk membayar secara tunai, maka kita bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Selanjutnya apakah untuk kartu kredit yang gunakan, iuran tahunannya harus Anda bayar ? 

Biasanya program bebas iuran tahunan hanya diberlakukan untuk tahun pertama, selanjutnya Anda harus membayar sejumlah tertentu sesuai dengan tipe kartu yang Anda miliki. Sehingga harus Anda sadari, bahwa dengan membeli suatu barang dengan menggunakan angsuran 12 bulan atau lebih, Anda akan dipaksa untuk memperpanjang kartu kredit Anda, sehingga iuran tahunan harus dibayar. Lebih lanjut, apakah Anda termasuk tipe nasabah yang selalu membayar penuh semua tagihan setiap bulannya ? Bila bukan, maka Anda akan dibebani dengan bunga kartu kredit yang perhitungannya sudah dijelaskan di atas.

Dari penjelasan ini, maka dapat disebut Anda menikmati kesenangan memiliki barang, namun dibarengi dengan kewajiban sesudahnya. Nah, kalau begitu, bukankan pernyataan “Bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian” ada benarnya ? Lalu bagaimana kita harus menyikapinya ?

Untuk menentukan apakah suatu barang harus kita beli, coba Anda jawab pertanyaan berikut : 
  • Apakah ini kebutuhan atau keinginan ?
  • Apakah harus sekarang atau bisa ditunda ?
  • Apakah harganya sesuai budget dan terjangkau atau bisa didapatkan di tempat lain ?


Dengan menjawab pertanyaan di atas, kita dapat menentukan prioritas barang mana yang harus kita beli. Di sisi lain bila kita mau mengikuti peribahasa, maka untuk membeli suatu barang sebaiknya dilakukan dengan cara ‘Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Caranya adalah dengan menentukan barang yang ingin dibeli, lalu dilakukan penyisihan sejumlah uang tertentu dari penghasilan Anda. Pada saat uang yang terkumpul sudah mencukupi maka Anda bisa membeli barang tersebut dan saya yakin perasaan Anda pada saat membeli dan menggunakannya akan jauh lebih tenang dan senang. 

Lalu di mana kita mengumpulkan uang kita ? Kebanyakan orang mungkin berpikir tabungan. Benar untuk tujuan jangka waktu pendek, hal ini bisa dilakukan dan sebaiknya Anda mempunyai tabungan terpisah untuk maksud ini. Namun untuk jangka waktu yang lebih panjang, mengumpulkan dana di tabungan bukan merupakan pilihan yang bijaksana, karena harus diingat harga barang cenderung mengalami kenaikan yang biasa dikenal dengan istilah inflasi. Kalau begitu apa yang bisa kita lakukan ? Untuk jangka waktunya lebih panjang, Anda harus berinvestasi. Salah satu kendaraan investasi yang bisa digunakan adalah reksa dana.

Apa itu reksa dana ? Reksa dana adalah kendaraan untuk berinvestasi ke pasar modal. Imbal hasil yang diperoleh dari reksa dana ini dalam jangka panjang berpotensi untuk dapat mengalahkan inflasi. Artinya uang yang kita sisihkan melalui reksa dana bisa mengimbangi kenaikan harga barang yang ingin dibeli akibat inflasi dan tidak seperti jenis investasi lainnya, Anda bisa berinvestasi di reksa dana meskipun hanya bisa menyisihkan uang sebesar Lima ratus ribu rupiah saja.

Maka bila ingin membeli barang dengan perasaan senang, mulailah dengan membentuk perilaku yang baik. Selamat berinvestasi. 

Polisi Diminta Tertibkan Preman di Terbanggi




Isbedy Stiawan ZS, Mas Bowo/Teraslampung.Com



Simpang jembatanTerbanggi pada 21/02 (isb)
Gunungsugih—Polisi diminta membubarkan premanisme di sekitar Jembatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Aksi premanisme yang memanfaatkan jembatan rusak itu, benar-benar telah meresahkan.

Sejak kerusakan jembatan Terbanggi akibat tak kuat menahan beban kendaraan, telah dimanfaatkan warga setempat menarik retribusi ilegal kepada pengendara yang melintas di sana. Lintas tengah Sumatera ini merupakan jalan antarkota-antarprovinsi.

Warga meminta kepada pengguna jalan pengendara yang lewat kampung tua Terbanggi, antara Rp2 ribu hingga Rp25 ribu. “Semula mereka yang dijuluki 'Pak Ogah' hanya meminta seikhlasnya kepada pengendara, tapi belakangan dibarengi ancaman,” kata Okta Wijaya, warga Branti yang baru melintas di Terbanggi, Jumat (28/02) sore.

Okta menambahkan, para preman itu tak segan-segan menodong pengendara yang melewati kampung tua Terbanggi. Dia menyesalkan pihak kepolisian yang berada di sana tidak berkutik melihat aksi premanisme. “Jangan-jangan polisi mendapat bagian, makanya tidak mau tahu,” katanya.

Menurut Okta, para preman menarik uang kepada pengguna jalan dengan nilai bervariasi. Mobil pribadi dikenai Rp20 ribu, tetapi terkadang harus bayar Rp300 ribu. Mobil box minimal Rp50 ribu, dan ditambah Rp20 ribu dengan alasan untuk mengawal.

Retribusi ilegal lainnya, sebelum tikungan para pengendara mobil ditarik Rp2 ribu, di jembatan diminta Rp2 ribu, selepas jembatan ditarik lagi Rp2 ribu. Belum berhenti sampai di situ, pada tikungan pertama setelah jembatan para preman itu meminta Rp2 ribu, dan di tikungan kedua diminta oleh preman lainnya sebesar Rp10 ribu.

“Sampai di ujung jalan, eh diminta lagi Rp10 ribu. Bahkan, rata-rata pengguna jalan yang masuk di kampung tua Terbanggi, ditodong pula. Mereka sengaja membagi-bagi wilayah supaya dapat semua. Pengendara mobil hanya pasrah, karena kalau melawan bisa dikeroyok,” kata Okta.

Okta menilai mereka bukan lagi “Pak Ogah” yang ikhlas diberi uang berapapun untuk melancarkan arus lalu lintas. “Cara memintanya memaksa, dibarenagi ancaman dan menodong. Saya menyesalkan, pihak keamanan yang ada di situ seperti tutup mata.”

Warga lain yang melewati Terbanggi juga menyesalkan adanya premanisme. Karena itu, dia meminta Polda Lampung segera turun tangan menertibkan premanisme di sana. “Para preman itu sudah sangat meresahkan, main ancam dan todong,” kata Edi Kurniawan, warga Menggala, Tulangbawang.

Edi mengatakan, kalau malam hari para preman di situ semakin banyak. Mereka juga menjaga di jembatan yang rusak, yang biasa dilalui kendaraan roda dua. “\Kalau malam, pengendara motor juga diminta uang antara Rp5 ribu sampai Rp20 ribu,” katanya.

Maraknya premanisme di Terbanggi pasca-rusaknya jembatan di sana, tersebar sesama pemilik black berry messenger (BBM), berisi imbauan agar hati-hati melintasi Terbanggi, dan mendesak Kapolda Lampung agar menertibkan premanisme yang sangat meresahkan masyarakat, terutama pengguna jalan.

“Mohon sebarkan broadcas (BC) ini supaya keluarga kita aman. BC ini supaya kita hati-hati lewat Terbanggi,” dalam BC yang menyebar antarpengguna BBM.


AJI Indonesia Tolak Permen tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital


Jakarta, teraslampung.com--AJI Indonesia menolak pemberlakuan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 32/13 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestria. Permen tersebut, menurut AJI Indonesia harus ditolak karena secara substansial sama dengan Permen Kominfo Nomor 22/2011 yang telah dibatalkan Mahkamah Agung. Aturan itu hanya akan menimbulkan monopoli dan menguntungkan pemodal besar.

Alasan penolakan AJI Indonesia terhadap Permen tersebut adalah: pertama, migrasi dari siaran televisi analog ke digital seharusnya menjadi program prioritas pemerintah atau antardepartemen dan Komisi I DPR-RI.


Kedua, distribusi kanal digital harus dilakukan secara bertahap sesuai skala ekonomi suatu daerah dan harus dibarengi syarat yang ketat tentang keragaman isi siaran dan konsistensi isi siaran sebagaimana yang diajukan melalui proposal program dari lembaga penyelenggara siaran, baik LPS, LPP, LPL, mapun LPK.

Ketiga, Distribusi kanal digital harus mempertimbangkan reputasi dan rekam jejak (track record) para pemegang izin frekuensi pada era analog. Mereka yang terbukti kerap menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, tidak patut mendapatkan mandat untuk mengelola domain publik dalam era penyiaran digital.


Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, mengatakan dalam migrasi dari siaran televisi analog ke digital seharusnya pemerintah menata ulang distribusi frekuensi yang sejak kekuasaan otoriter Orde Baru hanya  dibagi-bagi kepada kroni lalu diperjualbelikan begitu saja diantara sesama pemodal (industri penyiaran) besar.

“Seharusnya pemerintah juga menjamin peningkatan kualitas isi siaran yang lebih kreatif dan bermanfaat bagi publik dengan memberikan jaminan dan proteksi kepada lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran lokal, dan penyiaran komunitas, serta tidak menyerahkan distribusi kanal (digital) kepada mekanisme pasar,” kata Eko.

Selain itu, pemerintah seharusnya memberikan peluang bagi munculnya pemain-pemain penyiaran (lokal) baru dan tidak boleh melanjutkan apalagi melanggengkan oligopoli atau pemusatan kepemilikan di tangan segelintir orang atau kelompok usaha (nasional), hanya semata-mata karena kesiapan modal dan infrastruktur.


Sebagaimana yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, untuk menjawab tuntutan zaman dan meningkatkan kualitas penyiaran, pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan rencana perpindahan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke teknologi digital.

Dengan teknologi digital, satu kanal frekuensi dapat digunakan oleh enam hingga dua belas saluran program siaran. Sedangkan dalam teknologi analog, satu kanal hanya bisa digunakan oleh satu stasiun penyiaran. Setelah pemberlakuan teknologi digital, diperkirakan ada sekitar 1.000 kanal televisi dengan kualitas gambar dan suara lebih baik dibanding teknologi analog.

Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No. 22 tahun 2011 tentang penyelenggaraan siaran TV digital terestrial tak berbayar (free to air).

Peraturan tersebut pada intinya: (1) Membagi industri penyiaran menjadi dua, yakni penyelenggara multipleksing (penyedia infrastruktur siaran digital), dan penyelenggara isi siaran (content provider) ; (2) Membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada pihak swasta dengan jaminan pemerintah (penyelenggara multipleksing); dan (3) Semua lembaga penyiaran (swasta) yang telah memperoleh izin di analog, otomatis mendapat izin siaran digital, meskipun tidak semua lembaga penyiaran (swasta) dapat menjadi penyelenggara multipleksing.

Sejak Permen Kominfo Nomor 22/2011 dikeluarkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan komunitas penyiaran telah menyuarakan penolakan seraya mengingatkan bahaya di balik aturan tersebut. Bahaya terbesar ialah Permen Kominfo tersebut hanya melanjutkan sistem penyiaran (digital) yang monopolistis, oligarkis, Jakarta sentris, dan jauh dari kepentingan rakyat Indonesia secara umum.

Dengan aturan tersebut, semua kanal digital yang jumlahnya banyak itu dapat diberikan pemerintah kepada pemodal yang kuat atau pemenang tender, tanpa ada perlindungan yang proposional untuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Lokal (LPL), Lembaga Penyiaran Berjaringan (LBJ), maupun Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK).

Menurut AJI, hal itu, terbukti kemudian yang memenangi tender dan memiliki kanal TV digital akhirnya Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang selama ini mendominasi sistem penyiaran analog, dengan segala problematika dan perilakunya yang mengecewakan publik.

“Yang terparah, Permen Kominfo Nomor 22/2011 tidak memiliki dasar hukum dalam Undang Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran. Apalagi UU Penyiaran belum meletakkan dasar norma bagi diselenggarakannya siaran digital, sehingga pemain TV digital tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk beroperasi,” kata Eko Maryadi.

“Terbukti kemudian, pada 2013, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Permen Kominfo Nomor 22/2011 karena tidak memiliki dasar yuridis dan sandaran Undang Undang yang berlaku,” Eko menambahkan.

Menurut Eko putusan MA juga membatalkan klausul switch-off tahun 2018, dan menganggap pembagian pemain penyelenggara multipleksing dan lembaga penyiaran tidak berlaku karena tidak memiliki dasar hukum.

Ironisnya, kata Eko, putusan Mahkamah Agung tersebut dijawab Kementrian Kominfo dengan menerbitkan aturan baru, yakni Permen Kominfo 32/2013 yang secara substansi sama, dan hanya menghilangkan istilah-istilah teknis yang tidak terdapat dalam UU Penyiaran. Kemenkominfo juga menganggap putusan MA tidak berlaku surut, sehingga hasil-hasil tender di lima zona yang telah dikuasai pihak swasta nasional, tetap diakui dan dilanjutkan.

“AJI mempertanyakan pandangan non-retroaktif atau tidak berlaku surut dari Kominfo, sekaligus mendukung putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Permen tersebut. Bagaimana mungkin sebuah aturan (Permen Kominfo Nomor 22/2011) yang tidak punya basis hukum dan telah dibatalkan MA justru diteruskan (Permen Kominfo Nomor 32/2013) implementasinya di lapangan?"ujar Eko Maryadi.

Koordinator Divisi Penyiaran AJI Indonesia Dandhy Dwi Laksono bahkan menilai Menteri Kominfo Tifatul Sembiring melakukan blunder politik yang bisa menjatuhkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata publik. AJI melihat, revisi UU Penyiaran yang mestinya bisa menjadi payung hukum dalam mengatur tata cara migrasi siaran analog ke digital, belum tuntas dan tidak diberikan prioritas.

"Pemerintah terlihat tidak sungguh-sungguh merespon hak inisiatif DPR yang telah menyusun Rancangan UU Penyiaran yang lebih tegas dan demokratis dalam menjamin keberagaman isi siaran dan keberagaman kepemilikan lembaga siaran", kata Koordinator Divisi Penyiaran AJI Indonesia, Dandhy Dwi Laksono. (RL)


Risma Mendapat Dukungan Masyarakat Indonesia Timur





 
Tri Rismaharini (google)
Surabaya, Teraslampung.Com—Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang akan mundur dari jabatan orang nomor satu di Kota Pahlawan itu, mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat.

Dukungan untuk Risma, panggilan Walikota Terbaik Dunia ini, terus berdatangan. Selain dari masyarakat Surbaya, dukungan juga datang dari paguyuban warga Papua, Ambon, dan Flores.

Komunitas masyarakat Indonesia Timur mendatangi Balai Kota Surabaya, Jumat (28/02) siang. Kedatangan mereka untuk bertemu langsung dan berdialog dengan walikota Surabaya.

Tujuannya hanya satu, yakni memberikan dukungan agar Tri Rismaharini tidak mengundurkan diri sekaligus ingin menanyakan kebenaran perihal kabar pengunduran diri dari kursi Walikota Surabaya.

Kedatangan mereka disambut oleh Yayuk Eko Agustin, asisten satu Pemerintah Kota Surabaya dan Sumarno, kepala Bakesbang Pemerintah Kota Surabaya, di ruang sidang Balai Kota Surabaya.

Albert Turestun, perwakilan warga Papua mengatakan, tujuan kedatangan mereka untuk memberikan dukungan sekaligus menanyakan perihal pengunduran diri Tri Rismaharini, seperti yang ramai diberitakan media.

Sementara Ispono, ketua Badan Kerjasama Organisasi  Kepercayaan Surabaya, berharap agar Tri Rismaharini jangan sampai mundur dari jabatannya. Menurut dia, berkat kerja kerasnya, Kota Ssurabaya menjadi kota yang bersih, tentram, dan aman.

Perwakilan elemen maryarakat yang ada di Kota Surabaya ini akhirnya tidak bisa bertemu dengan Tri Rismaharini secara langsung, karena walikota saat ini tengah menjalankan tugas.

Tri Rismaharini didesak oleh sebagian anggota Dewan Kota Surabaya agar mundur dari jabatan. Sementara beberapa politisi dari partai yang mengusungnya, PDI-P, menyilakan Risma hengkang dari partai tersebut.

Tri Risamaharini adalah salah satu wali kota di Indonesia yang mendapat desakan dan intimiasi dari poltisi yang ada di gedung dewan, karena dianggap keputusannya tentang pajak iklan baleho sangat mahal.

Namun, masyarakat Surabaya justru sebaliknya. Risma didukung agar tidak mundur, karena kebijakannya untuk membangun kota itu sangat kuat dan telah terbukti.(isb)

Surat Suara Pileg 2014 Sudah Tiba di Pringsewu



PRINGSEWU, teraslampung.com--Surat suara untuk Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Pringsewu tiba di KPU Pringsewu pukul 10.30 WIB, Jumat (28/2) dengan menggunakan dua armada kendaraan yang dikirim melalui Jasa Pos Indonesia.

Kehadiran armada yang mengangkut surat suara tersebut disambut oleh jajaran KPU Pringsewu, disaksikan Panwas Pringsewu, serta dari Kepolisian Polres 

Tanggamus. Surat suara langsung di angkut ke dalam Gudang Logistik KPU Pringsewu dengan pengawasan ketat baik dari Panwas maupun dari pihak Kepolisian jajaran Polsek Pringsewu.

 \Jenis surat suara yang ada terdiri dari Surat suara anggota DPD Dapil Lampung, 312.184 lembar dan Surat suara anggota DPRD Kabupaten/Kota, untuk dapil 1 hingga dapil 5 ditambah dengan surat suara pemilu ulang berjumlah, 317.184 lembar.

Juga, surat suara anggota DPR Dapil Lampung 1 berjumlah, 312.184 lembar, Surat suara dan surat suara anggota DPRD Provinsi Dapil Lampung III , 312.184 lembar, kesemuanya dikemas dalam 1258 boks. Ketua KPU Pringsewu, H. Warsito. ST mengatakan, langkah selanjutnya adalah pelipatan kertas suara yang diawali dengan pelatihan pelipatan kertas suara. (Andoyo)

Pegawai Honorer K-2 akan Diangkat Bertahap



Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com



Herman H.N (hipmi-google)
Bandarlampung—Pegawai Honorer Kategori 2 (K-2) yang tidak lulus seleksi CPNS pada November 2013 akan diangkat secara bertahap. Karena itu, diimbau jangan panik dan berkecil hati.

Hal itu dikatakan Walikota Herman H.N. menyikapi maraknya aksi demo pegawai honorer K-2 di berbagai daerah di Tanah Air.

Dikatakan Herman H.N., aksi demo yang dilakukan para pegawai honorer K-2 yang tidak lulus pada tes CPNS tahun lalu, mendapat tanggapan dari pemerintah pusat. Pemerintah, melalui Kemendagri dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara RI berjanji akan mengangkat semua tenga honorer K-2 yang tidak lulus CPNS/

Menurut orang nomor satu di Bandarlampung, di sela-sela pemantauan penilaian lomba gerak PKK-KB-Kesehatan Tingkat Nasional di Kelurahan Rajabasa Jaya, Jumat (28/02) pagi, mengimbau para tanaga honorer K-2 agar tidak melakukan aksi yang cenderung anarkis.

Sebab, kata calon gubernur Lampung ini, pemerintah pusat telah memastikan akan mengangkat semua tenaga honorer kategari 2 menjadi pegawai negri sipil. “Namun karena banyaknya tenagan honorer di Indonesia, pengangkatan dilakukan  secara bertahap. Diperkirakan pada 2015 akan diangkat semua,” katanya.

Di Pemerintah Kota Bandarlampung saat ini masih ada 1000 lebih tenaga honorer K-2 dengan masa kerja berbeda.

Radja Toek sebagai Ahli Bahasa Lapangan di Daerah Lampung (4)

Kees Groeneboer*

Sudah sejak di perjalanan kembali dari Tarabanggi ke Teluk Betung pada bulan Juni Van der Tuuk mengeluhkan serangan demam yang terus-menerus, dan kemudian ditambah lagi dengan disentri yang parah. Pada akhir Agustus dia benar-benar tak berdaya, dibawa dengan kapal dari Teluk Betung ke Batavia. Dia langsung meneruskan perjalanan ke Bogor untuk memulihkan kekuatannya. 

Dia menekuni studi bahasa Sunda dan mengerjakan beberapa publikasi mengenai bahasa Lampung, yang dikirimkannya pada bulan November 1869 ke Batavia. Karya itu mengenai dialek-dialek Lampung yang akan diterbitkan pada tahun 1872,  serta bagian pertama dari buku bacaan bahasa Lampung yang selanjutnya tidak dipublikasikan karena tidak adanya huruf cetak yang tepat - cetakan percobaannya ditolak oleh Van der Tuuk.  Dia juga mempublikasikan sembilan belas inskripsi (piagem), karena hanya dari piagem-piagem ini dapat kita ketahui sesuatu mengenai sejarah daerah Lampung. Apalagi hanyalah teks-teks macam ini yang merupakan teks prosa tidak bersajak. Publikasi mengenai piagem-piagem ini baru pada tahun 1884 akan dicetak.

Desember 1869 Van der Tuuk kembali bekerja untuk Persekutuan Alkitab, berangkat ke Surabaya dan beberapa bulan kemudian ke Buleleng (Singaraja), bagian utara Bali yang berada di bawah kekuasaan Belanda. Van der Tuuk membangun rumah beberapa kilometer di sebelah selatan Singaraja di Kampung Baratan. Dia menulis:

‘Saya membangun rumah di suatu tempat yang terpencil, dengan maksud agar saya dapat sesedikit mungkin berhubungan dengan orang Eropa yang lain. Bila tidak begitu saya tidak melihat kesempatan untuk mempelajari bahasa Bali secara mendasar. [...]. Keadaan saya di sini tidaklah terlalu menyenangkan sebab sama sekali tidak ada percakapan intelektual, tetapi saya akan terhibur bila saja ada kemajuan dalam pekerjaan saya. Untuk bersenang-senang di Hindia-Belanda, orang tidak dapat pergi ke sana sebagai seorang ahli bahasa sebab sepenuhnya dia akan terisolasi. Kebanyakan orang Eropa di sini sama sekali tidak berminat terhadap studi apa pun. Pegawai dengan gaji cukup besar menganggap orang yang memiliki kegemaran meneliti bahasa-bahasa dan puas dengan gaji yang minim sebagai orang gila.‘ (31-07-1870)

Dia mulai tinggal di Bali dan dengan cepat dia terikat pada kehidupan barunya:

‘Hidup di sini cukup membosankan, meskipun demikian, saya tidak ingin meninggalkan tempat ini lagi. Saya sudah terikat dengan rumah saya, anjing saya (empat), monyet (tiga), ayam (tidak pernah dihitung jumlahnya) dan hal-hal remeh lainnya yang ternyata merupakan inti dari kehidupan. (Saya mempunyai sepuluh ekor bebek). Anda sekarang dapat membayangkan kehidupan saya di sini. Percakapan yang ada di sini tidak terlalu menggairahkan. Kebanyakan saya mengobrol dengan orang Bali. [...]. Mereka tidak lebih beradab dibandingkan orang Batak [...] dan mereka agak lebih buruk tabiatnya. Sebuah contoh dari kurangnya moral di sini adalah popularitas gandrung (penari laki-laki yang berpakaian seperti perempuan) yang dapat diajak menari, bercanda, dan sebagainya. Apabila di suatu tempat ada gandrung, maka penari perempuan tidak akan mendapat uang! Memuakkan melihatnya, bagaimana mereka itu diciumi dan dijamah oleh publik.‘ (09-11-1871)

Seperti sebelumnya di daerah Batak, di Bali dia lagi-lagi terusik oleh penindasan terhadap penduduk yang dilakukan oleh raja-raja Bali, oleh ketidakberdayaan pemerintah Hindia-Belanda terhadap hal tersebut, dan oleh tingkah laku para penginjil. Dia juga mengeluhkan kembali mengenai ‘keserakahan‘ orang Cina dan Arab. [...]. Meskipun demikian, dia lebih tertarik pada kehidupan di Bali dibandingkan Sumatra sebab dia menganggap orang Bali lebih berbudaya dan lebih halus perangainya, juga ada kesusastraan yang lebih berkembang.

Dia bekerja giat untuk menyusun kamus bahasa Bali dan menentukan bahwa bahasa Bali tidak akan dapat dimengerti tanpa bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno), karena seluruh kesusastraan Bali sebenarnya merupakan lanjutan dari kesusastraan Kawi. Dia bermaksud untuk memasukkan kata-kata Kawi dalam kamusnya, dan karena itu kamus itu tentu saja akan lebih luas. Sudah jelas baginya bahwa pekerjaan itu harus dilakukan sebelum menerjemahkan Alkitab. 

Pada tahun 1871 dia menulis bahwa Persekutuan Alkitab tidak boleh berkhayal mengenai cepatnya penerbitan terjemahan Alkitab dalam bahasa Bali, dan bahwa secara keseluruhan orang Bali belum cukup matang untuk agama Kristen. Dia juga menanyakan apakah Persekutuan Alkitab bersedia menerbitkan kamus bahasa Kawi-Bali-Belanda, tetapi ketika mereka ingin mengetahui seberapa luas kamus itu, dia menganggap hal itu sebagai suatu penolakan. Barangkali karena itu dia merasa terdorong untuk mulai berdinas bagi pemerintah Hindia-Belanda. Dia juga menganggap kebijakan Persekutuan Alkitab untuk mempelajari suatu bahasa dan pada saat yang bersamaan menerjemahkan Alkitab dalam bahasa tersebut, adalah suatu kekeliruan.

Pada April 1873, pada usia empat puluh sembilan tahun, akhirnya dia diangkat oleh permerintah menjadi ‘pegawai untuk mempelajari bahasa-bahasa Nusantara‘. Dia merasa lega dapat mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari bahasa Bali,  tanpa perlu menerjemahkan Alkitab, suatu kesibukan yang selalu tidak disukainya: ‘Apabila Anda menerjemahkan berdasarkan kehendak bahasa, maka seorang penginjil akan menyalahkan Anda karena Anda telah memperkosa sabda Tuhan. Apabila Anda mengorbankan bahasa untuk Alkitab, maka para pakar bahasa akan meributkannya‘. (31-07-1870)

Sejak tahun 1873 sampai dia meninggal dunia di tahun 1894, dia hidup ‘seperti orang Bali‘ di sebuah rumah kecil terbuat dari bambu dan kayu. Mengenai cara hidupnya, tetapi juga mengenai tingkah lakunya yang eksentrik, beredar berbagai cerita. Misalnya dia mandi di antara orang Bali di pancuran dekat rumahnya. Dia berjalan-jalan hanya dengan mengenakan sarung, setengah telanjang, dan selalu membawa sebuah pentungan besar. Rumahnya makin lama makin kotor dan lebih menyerupai sebuah gudang buku dan naskah. Sebaliknya dia memiliki makanan Eropa yang paling lezat di Bali dan mempunyai persediaan minuman anggur terbaik. Bagi orang Eropa di Bali rumahnya menjadi semacam objek wisata untuk dapat mengamati sosok yang aneh itu dari dekat. Hal itu sama sekali tidak disukai olehnya. Namun, rumah Van der Tuuk selalu terbuka untuk penduduk pribumi dan dia selalu dimintai pendapatnya mengenai berbagai hal oleh banyak orang Bali terkemuka. Bahkan, salah satu dari raja Bali mengatakan: ‘Hanya ada satu orang di seluruh Bali yang mengenal dan memahami bahasa Bali, dan orang itu adalah Goesti Dertik (Van der Tuuk)‘.

Pada tanggal 17 Agustus 1894 Van der Tuuk, yang berusia tujuh puluh tahun, meninggal di Rumah Sakit Militer di Surabaya – dia dengan segera dilarikan dari Buleleng ke sana – karena penyakit disentri. Kamus bahasa Kawi-Bali-Belandanya, mahkota dari seluruh karyanya, saat itu belum selesai dan baru diterbitkan setelah kematiannya dalam empat jilid yang tebal, dengan jumlah 3.600 halaman.***

* Dr. Kees Groeneboer, 
Kepala Erasmus Taalcentrum Jakarta


Radja Toek sebagai Ahli Bahasa Lapangan di Daerah Lampung (3)

Kees Groeneboer*

Dia mengalami kesulitan untuk mempelajari dialek Aboeng, karena semua yang dikatakan oleh penduduk setempat harus dia catat, tanpa dia dapat mengacu ke teks-teks tertulis. Dia hanya memiliki sejumlah puisi yang dikumpulkannya, yang dalam dialek Aboeng disebut bandoeng dan dalam bahasa Teluk Betung sagata. Bandoeng ini merupakan surat-surat cinta bersajak, lagu-lagu ratapan dan cerita-cerita, tetapi menurut Van der Tuuk semua ini sering tidak dapat dimengerti, karena banyak kata yang digunakan bukan kata sehari-hari. Selebihnya menurutnya tidak ditemukan sumber tertulis yang dapat digunakan:

‘Buku-buku tua yang terbuat dari kulit pohon, hanyalah berhubungan dengan kepercayaan pada takhayul, dan ditulis dalam bahasa campuran Jawa dan Melayu yang memuakkan. Bahkan orang Lampung sendiri tidak dapat mengerti isinya. Yang penting untuk mereka hanyalah iramanya dan mereka memang tidak dapat disalahkan: ada banyak negara yang beradab yang membayangkan dirinya akan ke surga bila mereka membaca cerita-cerita takhayul.’ [...].

Mengenai penduduk Aboeng: mereka masih sangat primitif tetapi masih berbicara bahasa Lampung yang sempurna. Bahasa itu kadang-kadang naif dan seringkali orang menggunakan cara yang lucu untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya mereka belum lama kenal. Misalnya orang menyebut potlot dawat tjelit, dengan kata lain tinta yang dikenakan ke lidah yang dilujurkan (untuk membuat potlot basah dan kemudian dapat dipakai untuk menulis). Lentera dinamakan damar koeroeng, sebuah lampu yang terkurung. Dialek Aboeng memiliki banyak kata asli, yang di dalam bahasa Lampoeng paminggir, dari daerah pesisir, diambil dari sebuah bahasa yang lain [...]. 

Seberapa naif penduduk di sini, terbukti antara lain dari penjelasan tentang bendera Belanda. Menurut mereka merah sebagai warna yang paling atas, karena bangsa Ingris berwarna merah. Putih melambangkan orang Belanda, sedangkan hitam merupakan warna kulit orang pribumi sendiri. Jika mereka membalik bendera tersebut, mereka khawatir, bahwa hal tersebut akan diartikan bahwa mereka menentang pemerintah Hindia-Belanda, karena warna hitam akan berada di bagian atas.’ (03-03-1869)

Kekurangan akan sumber-sumber tertulis memaksa Van der Tuuk untuk juga mengumpulkan surat-surat dalam bahasa Lampung dari berbagai daerah yang pernah disinggahinya. Tetapi banyak dari surat-surat tersebut yang menurut dia tidak berguna untuk studi bahasa. Untuk Van der Tuuk berbagai kitab-kitab hukum Lampung yang masih dipakai secara umum, yang ditulis dalam tulisan Arab, cukup aneh. Berikut contoh-contoh yang dia berikan:

‘Jika seorang laki-laki bertemu seorang wanita yang sedang mandi atau sedang buang hajat di sungai (tanpa memberitahu seperti yang seharusnya laki-laki itu lakukan) maka dia akan dikenakan denda sebesar 5000 pitis. Itu disebut sikarabaja. [...]. Jika seorang laki-laki mengambil anak dari gendongan seorang wanita yang menggunakan cadar atau mencium anak itu, maka dia akan dikenakan denda 6000 pitis. Itu namanya anjamarbaja.’ (03-03-1869)


Tanda anak panah adalah tempat yang disinggahi Van der Tuuk 
Pada bulan April 1869 dia berjalan lebih jauh ke arah barat dari Tarabanggi lewat Kotaboemi dan Tjoebalak menuju Boemi Agoeng dan terus sampai ke Moearadoea. Akhir bulan Mei dia berangkat dari sana ke arah timur menuju Menggala, dan pada bulan Juni 1869 dia mengarah ke selatan lewat Tarabanggi menuju Teluk Betung. Kecuali beberapa bagian perjalanan dengan kapal, jarak yang panjang lainnya ditempuhnya dengan berjalan kaki. Dan selama perjalanan dia hanya tiga kali bertemu orang Belanda, pegawai pemerintahan di daerah Lampung yang menurutnya melalui bahasa Melayu mereka yang kacau telah memberi pengaruh buruk pada dialek Aboeng yang murni. Tetapi justru karena dia hampir hanya berhubungan dengan orang pribumi, dia dapat mengumpulkan banyak bahan untuk kamusnya. 

Dalam perjalanan dia menyusun kamus bahasa Lampung. Namun, kamus yang terdiri dari enam ratus halaman itu tidak jadi dipublikasikan. Barangkali karena dia belum dapat cukup banyak waktu untuk membandingkan kumpulan kata Lampung itu dengan bahasa-bahasa Nusantara yang lain. Barangkali juga karena dia kurang percaya diri mengenai kosa katanya, karena kurangnya sumber tertulis dan dia harus mendasari pada bahasa pergaulan sehari-hari. Dan barangkali juga karena pada saat itu belum ada cetakan huruf bahasa Lampung yang cocok. Pada saat perjalanannya dia sudah mengirimkan beberapa laporan ke Batavia mengenai penelitiannya terhadap bahasa Lampung, yang kemudian dipublikasikan. 

Bulan Juni 1869 padanya dijajaki apakah untuk selamanya mau bekerja untuk pemerintah Hindia-Belanda. Namun, mengenai hal itu sebenarnya Van der Tuuk ragu-ragu. Memang pemerintah menawarkan gaji yang lebih tinggi, tetapi bekerja untuk Persekutuan Alkitab sudah pasti dia memiliki lebih banyak kebebasan. Oleh karena pada saat itu dia sudah merasa jenuh dengan distrik Lampung, dia menyatakan bahwa dia hanya mau bekerja untuk pemerintah apabila dia dikirim ke Bali, tempat dia mengharapkan kehidupan yang lebih menyenangkan.

* Dr. Kees Groeneboer adalah Kepala Erasmus Taalcentrum Jakarta

Radja Toek sebagai Ahli Bahasa Lapangan di Daerah Lampung (2)

Kees Groeneboer*

Dari banyak perbandingan bahasa dalam semua publikasinya terbukti bahwa Van der Tuuk juga sudah memiliki pengetahuan mengenai berbagai bahasa lagi, seperti bahasa Nias, Aceh, Rejang, Mentawai dan Melayu-Minangkabau, bahasa-bahasa Filipina seperti bahasa Tagalog dan Visaya, bahasa Hindustan, bahasa Favorlang dan bahasa-bahasa lain dari Taiwan, juga mengenai bahasa Cina, Vietnam, dan bahasa Siam. Melalui publikasi-publikasi dari rekannya, yang juga bekerja sebagai ahli bahasa untuk Persekutuan Alkitab, dia memperoleh pengetahuan tentang bahasa Dayak, Bugis dan Makasar.

Persekutuan Alkitab Belanda pada tahun 1862 sudah mendesak Van der Tuuk untuk menyelesaikan pekerjaannya mengenai bahasa Batak, dan memintanya untuk berangkat ke Hindia-Belanda lagi, kali ini untuk menyusun kamus dan menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Bali. Namun, dia senantiasa menunda keberangkatannya untuk dapat menyelesaikan berbagai publikasi yang lain dahulu. Dia misalnya menyusun beberapa buku bacaan dalam bahasa Melayu untuk anak sekolah di Hindia-Belanda,  menerbitkan studi mengenai bahasa Melayu-Batavia,  dan suatu uraian mengenai koleksi naskah berbahasa Lampung.  Baru pada bulan Mei 1868 dia berangkat lagi ke Hindia-Belanda.

Pada saat kedatangannya di Batavia pada bulan Juli 1868 Van der Tuuk mendapat berita bahwa untuk sementara waktu dia tidak dapat pergi ke Bali karena terjadi pemberontakan di distrik Buleleng. Dia mendapat tawaran untuk selama lima bulan melakukan studi bahasa di daerah Lampung atas biaya pemerintah Hindia-Belanda.

Akhir Agustus 1868 dia berangkat ke Teluk Betung, dan menginap selama hampir empat bulan di rumah Daniel W. Schiff, yang pada periode 1868-1870 menjabat sebagai residen di daerah Lampung. Dia sangat cocok dengannya dan bahkan darinya dia mendapat dua pemuda Lampung – Sandi dan Abdullah – untuk membantunya belajar bahasa Lampung yang dipakai di Teluk Betung. Rumah residen terletak di bukit Talang di mana udaranya sejuk dan bahkan jauh lebih sehat daripada di Teluk Betung sendiri yang berada di kawasan berawa.

Dia sangat positif mengenai penduduk setempat: ‘mereka terbebas dari sikap penjilat orang Jawa, dan mereka mengingatkan saya pada orang Batak yang jika memungkinkan ingin saya kunjungi lagi’ (15-11-1868). Dia memang mengeluhkan tentang kurangnya percakapan intelektual, seperti yang terjadi di mana-mana di Hindia-Belanda: ‘Kelompok terbesar dari penduduk berkulit putih lahir di Hindia-Belanda dengan ibu pribumi dan ayah orang Eropa, dan hiburan terbesar mereka di sini adalah: bermain kartu dan berdansa. Oleh karena saya tidak berpartisipasi dalam kedua hal tersebut, di sini saya kadang-kadang merasa terasing dan tersendiri, terutama pada malam hari (15-11-1868).

Pendapatnya mengenai kedua gurunya – Sandi dan Abdullah – sangat baik, mereka pintar dan dalam waktu satu setengah bulan dia sudah lumayan dapat mengerti dan berbicara bahasa Lampung. Memang menurutnya sangatlah sulit untuk mempelajari bahasa Lampung karena hampir tidak ada teks-teks tertulis: ‘Oleh karena itu setiap frasa, yang diucapkan oleh guru-guru saya, saya tulis, dan dari situ saya belajar mengenal arti dan penggunaan semua kata. Dengan cara ini saya dapat belajar bahasa Lampung dengan baik, seperti bila saya belajar dengan menggunakan teks-teks bahasa Lampung yang tertulis.

Melalui cara ini kosa kata saya bertambah setiap hari, dan saya baru akan mulai mempelajari dialek lainnya saat saya sudah menguasai bahasa ini dengan baik, dan saya sudah dapat mengerti sebagian besar apa yang dikatakan kepada saya’ (17-12-1868). Pada bulan November 1868 dia melaporkan bahwa untuk studi bahasa dia akhirnya dapat memakai dua cerita epik: Tjarita Anag Dalom dan Tjarita Dajang Rindoe. 

Kedua cerita ini terkenal di seluruh masyarakat Lampung, bahkan tokoh-tokoh yang ada didalamnya dipakai di berbagai sajak. Dia tetapi mengalami kesulitan menggunakannya untuk mempelajari bahasa Lampung, karena walaupun tertulis dengan huruf bahasa Lampung, teks-teks ini mengandung campuran dari bahasa Jawa dan Melayu dengan di sana-sini menggunakan sebuah kata dari bahasa Lampung atau sejenisnya.  ‘Kadang-kadang saya putus asa saat mencari sumber tertulis yang cocok untuk meneliti bahasa Lampung, karena di dalamnya ada banyak hal yang tidak dapat dimengerti, ataukah karena kecerobohan saat menyalin, ataukah karena di dalamnya terselip kata-kata yang berasal dari bahasa-bahasa lain.’ (20-03-1869). Oleh sebab itu Van der Tuuk merasa terpaksa mendalami bahasa lisan. Setelah tiga bulan tinggal di Teluk Betung Van der Tuuk sudah mengirim sebuah daftar kata bahasa Lampung ke Batavia untuk diterbitkan.

Pada akhir 1868 dia meminta kepada Pemerintah untuk dapat tinggal lebih lama di daerah Lampung sehingga dia dapat mengetahui lebih banyak lagi mengenai berbagai dialek. Dia mendapat perpanjangan enam bulan dan dia memberi tahu kepada Persekutuan Alkitab bahwa situasi di Bali belum memungkinkannya untuk pergi ke sana. Selain gejolak yang belum mereda, di sana juga muncul epidemi kolera.


Pada akhir bulan November dengan berjalan kaki dia pergi ke daerah pedalaman dan selama beberapa saat tinggal di Lehan di pinggir Sungai Seputih (tidak jauh dari Tarabanggi), kurang lebih seratus kilometer di sebelah utara Teluk Betung. Dia mendalami bahasa Aboeng, dialek terpenting dari bahasa Lampung, yang dipakai di daerah dataran tinggi. Bahasa Aboeng itu agak banyak berbeda dengan dialek yang dipakai di Teluk Betung. Untuk dapat mempelajari dialek ini, dia tinggal di tengah-tengah penduduk setempat untuk dapat sebanyak mungkin  menyusun sebuah daftar kata yang berguna. Dia menulis:

‘Saya duduk di sini, di sebuah ruang terbuka di seberang Sungai Seputih dan dikelilingi hutan belantara. Tempat tinggal saya adalah sebuah rumah tanpa pintu depan dan belakang. Di bagian tengah rumah yang memisahkan dua ruangan yang suram, yang saya tinggali bersama dua pembantu saya, menyala sebuah pipa yang terbuat dari daun pisang dan damar. Lampu itu menjaga agar harimau tidak menghampiri kami. Dengan penerangan lampu minyak tanah saya menulis surat ini, dan saya merokok seperti kapal uap untuk mengusir serangga yang pada musim hujan mengerubungi orang. [...].

Saya berada sepenuhnya di antara orang Lampung dan belajar banyak sekali. Keberadaan saya di sini penting untuk Persekutuan Alkitab karena saya sudah belajar hidup terisolasi. Saya berencana, nanti di Bali juga akan mengasingkan diri dari masyarakat Indo-Eropa yang gemar bermain kartu, yang menyita begitu banyak waktu dan tidak memberikan kepuasan apa pun. Waktu saya di sini mungkin akan sedikit diperpanjang; dan bila tidak, maka saya dengan senang hati akan meninggalkan tanah ini yang berhutan belantara, dengan buaya, rawa-rawa, dan harimau. Saya tidak ingin tinggal lama di sini sebab di tempat ini hampir-hampir tidak ada kesusastraan, sehingga saya harus menangkap semuanya dari mulut penduduk pribumi.‘ (17-12-1868)


Radja Toek sebagai Ahli Bahasa Lapangan di Daerah Lampung (1)


Kees Groeaneboer*

Tulisan ini bercerita mengenai sosok ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk, yang sebagai ahli bahasa lapangan meneliti daerah Lampung pada tahun 1868-1969.  Sudah sejak masa hidupnya Van der Tuuk menjadi sosok legendaris – ilmuwan besar dan mungkin dapat disebut sebagai seorang ahli bahasa terbesar di abad 19, tetapi juga sebagai pribadi yang mengesankan, berbuat sekehendak hatinya, kurang sopan-santun dan eksentrik –, seseorang yang dengan cara yang jelas, ironis, dan terkadang kasar, menentang segala sesuatu yang dianggapnya memuakkan pada masanya. Misalnya dia tidak pernah merahasiakan bahwa dia tidak suka kepada agama Kristen, bahwa dia tidak suka kepada para penginjil, dan tidak suka kepada masyarakat dan pemerintahan Hindia-Belanda. Dia juga tidak merahasiakan rasa jengkelnya terhadap kemajuan agama Islam, terhadap apa yang disebutnya ‘keserakahan‘ pedagang Cina, ‘kebodohan‘ penduduk pribumi, dan sebagainya.

Herman Neubronner van der Tuuk lahir pada tahun 1824 di Malaka, tapi dia tumbuh di Surabaya dan mungkin di masa remajanya dia telah belajar bahasa Melayu, bahasa Jawa, serta bahasa Madura. Barangkali dia bahkan telah belajar bahasa Portugis dari ibunya yang dilahirkan di Malaka dan berbicara semacam bahasa Portugis Kreol. Pada tahun 1837 Herman dikirim ke Belanda untuk pendidikannya. Dia studi di Groningen, kemudian di Leiden dan Delft, dan belajar bahasa Arab, Persia, Portugis, Ibrani dan Inggris. Pada tahun 1846 Van der Tuuk telah mengadakan studi yang mendalam mengenai bahasa Melayu dan mempublikasikan beberapa telaah mengenai naskah-naskah Melayu.  Dia diangkat oleh Persekutuan Alkitab Belanda sebagai ahli bahasa untuk daerah Batak dan berangkat ke Hindia-Belanda pada tahun 1849. Dia tertarik pada pekerjaannya sebagai ahli bahasa lapangan, walaupun sebenarnya dia bukan orang yang saleh dan tidak terlalu tertarik pada Persekutuan Alkitab itu sendiri. Sebenarnya sikapnya agak ateis. Dia menulis kepada temannya:

‘Apakah hidup ini? Tanpa persetujuan, kita memperolehnya dan oleh karena itu kita pun harus berterima kasih dan kita tidak boleh membuangnya tanpa izin Tuhan. Memang sebuah kontrak yang aneh, hubungan antara manusia dan Tuhan. Dia membiarkanmu merasa bosan di dunia tanpa menanyakan apakah kamu suka atau tidak, dan apabila kado itu sudah kamu peroleh, kamu mendapat pilihan ini: neraka atau surga. Kontrak itu pastilah suatu tipuan sebab salah satu pihak tidak memberikan persetujuannya […]. Kita diajarkan dan kebanyakan orang mempercayainya bahwa kehidupan adalah sebuah kado; tetapi orang harus sadar bahwa itu adalah kado yang bersyarat dan tanpa persetujuan dari yang memperolehnya.’ (01-06-1849)

Pada bulan September 1849 Van der Tuuk tiba di Batavia dan pertama-tama menyibukkan dirinya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi dia jatuh sakit parah dan keberangkatannya ke daerah Batak harus ditunda. Dalam masa penyembuhan selama beberapa bulan dia tinggal di Buitenzorg (Bogor) dan di sana dia mendalami bahasa Sunda. Baru pada awal 1851 dia berangkat ke Padang dan kemudian ke Sibolga di daerah Tapanuli. Tahun 1851 dia pindah ke Barus, lima puluh kilometer di sebelah utara Sibolga, karena sebagian besar penduduknya saling berbicara dalam bahasa Batak secara sempurna dan di sana pengaruh bahasa Melayu belum begitu terasa. Pada tahun 1852 dia melakukan perjalanan ke Mandailing, daerah yang sudah berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. 

Dia menempuh jarak yang panjang ke Padang Sidempuan, Sipirok, dan Panyabungan, yang sebagian besar dilakukannya dengan berjalan kaki. Di mana pun dia berada, dia membuat catatan, menulis lagu dan sajak, cerita-cerita, dan menyalin pustaha. Pada tahun 1853 dia menuju Silindung, yang terletak di daerah Batak yang belum berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Perjalanan itu membawanya ke tepi Danau Toba yang suci dan yang belum pernah dilihat oleh orang Eropa. Namun, perjalanan itu hampir mencelakakannya. Perjalanan pulang pada bulan April lebih merupakan suatu pelarian, karena menurut ceritanya, dia dua kali hampir dimakan oleh para penduduk. Barangkali hal itu membuatnya takut sehingga Van der Tuuk kemudian tidak lagi berani pergi ke daerah pedalaman Batak.

Dia sering mengeluh mengenai tugas yang dibebankan kepadanya untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Batak. Dia selalu menekankan betapa pentingnya untuk pertama-tama mengumpulkan bahan untuk menyusun kamus dan tata bahasa, dan dia mengusulkan untuk menunda penerjemahan Alkitab. Penerjemahan yang ditugaskan itu merintangi studi bahasanya. Dia juga sering mengeluhkan masalah-masalah praktis seperti kesulitan untuk mengambil uang di daerah terpencil seperti di Barus, kurangnya penulis Batak yang andal, kurangnya pembantu yang baik sehingga dia tidak diurus dengan benar dan rumahnya selalu saja menjadi seperti ‘kandang binatang‘. Dia mengeluh mengenai biaya hidup di Sumatra yang mahal. Juga tentang cuaca yang tidak sehat dan tentang serangga yang membuatnya berulang kali harus menyalin naskah.

Dia juga mengeluh tentang kurangnya percakapan intelektual dan tentang harus tinggal sendiri di dalam kesepian. Akan tetapi, untuk orang Batak rumah Si Pan Dor Toek atau Radja Toek, seperti itulah orang menyebutnya, selalu terbuka dan sepanjang hari dia berbicara dengan mereka dan membuat catatan, yang pada malam harinya diolahnya. Meskipun dia juga sering merasa terganggu dengan apa yang disebutnya dengan ‘kemalasan, kejorokan, dan keserakahan orang Batak‘. Dalam melaksanakan pekerjaannya dia senantiasa mempergunakan narasumber orang Batak yang sekaligus dia sewa sebagai penulis untuk menyalin naskah cerita. Dengan bantuan mereka, dia membuat kumpulan besar tentang kesusastraan Batak-Toba, Batak-Dairi, dan Batak-Mandailing. Dia juga membuat terjemahan dari berbagai ayat Alkitab yang pada keesokan harinya dibicarakan dengan mereka dan selanjutnya diperbaiki. Tetapi dia ternyata tidak mempercayai para narasumbernya. Dia menulis:

‘Saya sendiri tahu bagaimana sulitnya untuk menerjemahkan Alkitab karena berkonsultasi dengan orang Batak seperti bertanya kepada kucing atau anjing. Dalam membaca terjemahan saya, saya mengalami bahwa komentar mereka pada apa yang sudah saya terjemahkan sama sekali tidak berhubungan dengan yang dibacakan, dan hanya dibuat untuk memberi gagasan bahwa mereka mendengarkan saya [...]. Anda mengerti bahwa saya enggan untuk berkonsultasi dengan mereka, dan pada penerjemahan lebih dapat bermanfaat dari studi yang mendalam tentang naskah-naskah Batak, daripada nasihat mereka, yang masih asing dengan isi dari Alkitab.’ (20-2-1856)

Akhir tahun 1856 Van der Tuuk memutuskan untuk kembali ke Belanda. Dia menempuh perjalanan panjang dari Barus ke Padang dengan berjalan kaki supaya dalam perjalanan itu dia masih dapat memperoleh info mengenai bahasa Batak-Mandailing. Dari Padang dia naik kapal ke Batavia dan kemudian dia berangkat ke Eropa. Pada bulan Oktober 1857 Van der Tuuk tiba di Belanda, dan kali ini dia menetap di Amsterdam, karena kantor Persekutuan Alkitab ada di kota ini. 

Di Amsterdam dia mengolah bahan yang sangat banyak yang telah berhasil dikumpulkannya selama enam tahun di daerah Batak, dan mempublikasikan karyanya tentang bahasa Batak pada periode 1857-1868: diterbitkan tata bahasa dalam dua jilid,  kamus bahasa Batak yang luas,  dan terjemahan Alkitab.  Untuk membuat para penginjil dan pegawai pemerintah dapat mempelajari bahasa Batak, dia menyusun tiga buku bacaan dengan teks kesusastraan Batak yang asli, dilampiri dengan sebuah buku panduan untuk menggunakan teks-teks tersebut. 

*Dr. Kees Groeneboer, Erasmus Taalcentrum Jakarta

Selayang Pandang Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak: H. Pangeran Suhaimi sebagai Sai Batin Raja Adat


Novan Saliwa*

Pangeran Suhaimi (dok Novan Saliwa)
H. Pangeran Suhaimi  adalah profil seorang pemimpin yang semasa hidupnya sebagai Sai Batin Raja Adat dan pejuang kemerdekaan dengan tanda jasa bintang gerilya serta satya lencana perang kemerdekaan 1 dan 2. Beliau adalah pensiunan Bupati di Kantor Gubernur Lampung. Istri Pangeran Suhaimi adalah Hj. Ratu Lela Amrin gelar Ratu Mas Ria Intan Ghalangan Dalom Ratu Paksi Buay Pernong yang merupakan sosok wanita yang lembut dan sholehah, mendampingi perjuangan Pangeran Suhaimi dengan setia.  Alhmarhum disemayamkan di Makam Pahlawan Tanjung Karang Bandar Lampung pada tanggan 6 Februari 1986 dengan meninggalkan 7 orang putra putri.

Pangeran Suhaimi gelar Sultan Lela Muda Raja Selalau Sangon Guru Dengian Paksi, selain sebagai Sultan Kepaksian Pernong juga Wedana yang kemudian menjadi Pejabat Tinggi Bupati Kantor Gubernur di Tanjung Karang. Sebelum memangku jabatan itu, Pangeran Suhaimi juga pernah terlibat dalam pertempuran melawan penjajah dalam dinas militer.

Tercatat dalam sejarah beliau pernah menjadi  Bupati Perang Lampung Tengah, Wedana Perang Pimpinan perlawanan Rakyat Bukit Kemuning Front Utara dan pada masa revolusi membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia ) dan masuk TNI sebagai wedana perang di Lampung Utara, beliau juga sebagai Bupati Perang di daerah Lampung Tengah serta bergerilya di Lampung Selatan. Di tengah segala perjuangan dan pengabdiannya, namun Pangeran Suhaimi tidak pernah meninggalkan fungsi dan kewajibannya sebagai pemuka masyarakat adat, pemimpin (Sultan) Kepaksian Pernong dan pemangku adat Sai Batin.

Pangeran Suhaimi merupakan silsilah ke XXI sebagai saibatin atau sultan turunan lurus tak terputus dari garis Ratu yang memimpin masyarakat adat Kepaksian Pernong yang merupakan salah satu dari empat Paksi dalam Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak. Beliau meneruskan amanah dari nenek moyangnya Pendiri Kepaksian Pernong yaitu Umpu Pernong bersama tiga saudaranya yang lain yakni Umpu Belunguh, Umpu Nyerupa dan Umpu Bejalan Diway. 

Baik sebagai sultan maupun sebagai pejabat pemerintah, kepiawian Pangeran Suhaimi tak perlu diragukan lagi. Setiap masalah bisa diselesaikannya dengan baik. Dalam menyelesaikan masalah, Pangeran Suhaimi menggunakan kewibawaannya. “Biasanya, Pangeran Suhaimi memanggil para pihak, mendengar permasalahan. Kalau sudah jelas, Pangeran Suhaimi akan bilang ini begini, kamu begini ... yang lain begini ... begini dan selesai. Pangeran Suhaimi sangat cepat dan tangkas ambil kesimpulan dan putusan melalui kata-kata yang tepat dan mengena. Sudah itu, problem selesai ....,” urai Pangeran Edward yang merupakan cucu Pangeran Suhaimi.

Selain kepiawaian dalam memecahkan persoalan, pengetahuan Pangeran Suahaimi dikenal cukup luas. Pangeran Suhaimi menguasai bahasa Arab, bahasa agama. Apabila sedang bicara agama, bahasa Arab yang dituturkan atau disebut kawan bicaranya, oleh Pangeran Suhaimi langsung diterjemahkan. Bahkan, kalau kawan bicaranya mengajak omong dengan bahasa Arab pun, Pangeran Suhaimi langsung fasih bercakap dalam bahasa itu. Mungkin kemampuannya ini terasah dalam pergaulan dekatnya dengan orang-orang Al Irsyad.

Selain bahasa Arab, Pangeran Suhaimi juga menguasai bahasa Belanda.“Terus terang, figur Pangeran Suhaimi sangat saya kagumi. Saya tidak tahu, bagaimana bisa, Pangeran Suhaimi apa-apa tahu. Dari masalah agama, adat, sampai sejarah nenek moyang hingga sejarah pergerakan kebangsaan. Kalau sedang bicara, wibawa dan pengaruhnya luar biasa. Bukan karena apa-apa, tetapi karena yang diomongkan selalu pas, tepat sasaran. Bahasanya sangat efisien, langsung mengena. Bahkan gaya dan ekspresi Pangeran Suhaimi waktu berhadap-hadapan bicara dengan orang-orang, begitu membekas dalam ingatan saya,” katanya sambil menambahkan, postur dan wajah Pangeran Suhaimi mirip keturunan orang Cina. “Pangeran Suhaimi itu tahu apa yang dikatakannya sekaligus mampu bagaimana mengatakannya,” sambung Pangeran Edward menyimpulkan sosok Pangeran Suhaimi.

Saat ini Pangeran Suhaimi telah meninggalkan jejak dan nama baiknya, namun perjuangan dan pengabdiannya tak pernah  berhenti. Tempaan pendidikan yang  beliau berikan semasa hidup kepada anak anaknya juga sebagai lantaran kesuksesan seluruh anak keturunannya serta sekaligus doa dan munajat beliau kehadirat Alloh SWT agar kelak anak keturunannya mampu  berbakti dan mengabdi pada ibu pertiwi. Saat ini keturunan beliau selaku abdi Negara di antaranya adalah Pangeran ( Brigjend. Pol.) Edward Syah Pernong SH. MH., Brigjen. Pol. Ike Edwin SH, MH., Kombes. Pol. Ulung Sampurna Jaya, Letkol. CHK Zulkifli SH., Letkol. Topri Tohir Balaw SE, S.Sos.

Di bidang kesehatan diantaranya dr. Chairul Muluk, dr. Emilia SPPk, MKes., di bidang jurnalistik Hj. Syamsiar Sifarolla BA, sedangkan di bidang keilmuan di antaranya DR. Erlina Rufaidah M.Si dan DR. Muhammad Harya Ramdhoni Julizaryah. Seluruh anak keturunan beliau adalah penerus perjuangan untuk mengabdi pada masyarakat dan negara serta tak lupa pada Bumi Sekala Brak tanoh Asal Usul Lampung.  

Catatan : Jika terdapat kekurangan dalam tulisan ini dapat disempurnakan dalam laman komentar dibawah tulisan ini, Tabik...

* Putra asli Lampung. Pegiat seni-budaya Lampung. Tinggal di Yogyakarta. Penulis mempersilakan pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang Kerajaan Skala Brak di blog pribadinya aliwanovanadiputra.blogspot.com


Pedagang Diminta Pasang Lampu d Tiap Toko




Mas Bowo, Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com

 

Megah tapi rawan pencurian (Mas Bowo)
Lampung Tengah—Pedagang Bandarjaya Plaza diminta memasang lampu 5 watt pada malam hari di setiap kios ataupun toko.

Imbauan Wakil Bupati Lampung Tengah Mustafa ini, menyusul pasar terbesar di Lampung Tengah belakangan ini sering terjadi pencurian.

Rabu (26.02) puluhan pedagang Bandarjaya Plaza mendatangi rumah wakil Bupati Mustafa. Mereka mengadukan ketidaknyamanan dan keamanan berdagang di pasar modern itu. Pasalnya, belakangan ini sering terjadi pencurian. Selain itu, pasar ini dinilai semrawut.

Menanggapi keluhan itu, Mustafa meminta para pedagang bersabar. Pihaknya akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyelesaikan masalah di Pasar Bandarjaya Plaza tersebut.

Mustafa mengatakan, dengan dipasangnya lampu di setiap kios dan toko pada malam hari, minimal dapat mengantisipasi pencurian yang belakangan ini sering terjadi di sana.

Bahkan orang nomor 2 di Lamteng ini, juga mendesak kepala Dinas Pertambangan untuk memfasilitasi para pedangg agar tidak dibebankan iuran lampu jalan yang berada di Banarjaya Plaza.

Lisa (32) pedagang kain, menyambut baik imbauan Wakil Bupati Lampung Tengah. Dirinya akan segera memasang lampu di tokonya. Selain itu, dia berharap, para pedagang lain juga menyamhut permintaan pemerintah agar measang lampu pada malam hari di masing~masing toko.

“Asalkan dari pihak pedagang tidak lagi ditarik iuran lampu,” kata Lisa.

Sementara Uda (40 ), pedagang lain di Bandarjaya Plaza, meminta pemerintah dapat memfasilitasi segera pertemuan para pedagang seperti dijanjikan Wakil Bupati Mustafa. Karena kalau sampai kelamaan, dia khawatir pertemuan pedadang dan pemerintah tidak terlaksana.

“Kami siap kapan saja untuk berembuk antara pedagang dan pihak keamanan pasar, maupun lembaga dan instansi terkait. Baik mengenai kebersihan, kenyamanan, ataupun keamanan,” ujarnya.

Rohimat Aslan Buka Musrenbang 2014







Rohimat Aslan (detiklampung/google)
Kotabumi, Teraslampung.Com—Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Lampung Utara merekomendasikan 3 komponen pembangunan yang harus dilaksanakan. Ketiga komponen itu adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

“Pembangunan tidak akan bergerak maju jika salah satu dari tiga komponen pelaku pembangunan, tidak optimal dalam melaksanakan peran dan fungsinya,” kata Wakil Bupati Lampung Utara Rohimat Aslan pada pembukaan Musrenbang 2015 di aula pemda setempat, Kamis (27/02).

Lebih lanjut Rohomat mengatakan, perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. “Untuk itu perlu disusun satu perencanaan pembangunan yang terpadu dan menyeluruh. Sehingga menjamin kegiatan pembangunan dapat berjalan efektif,  efisien, dan mempunyai sasaran yang jelas.”

Musrenbang Kab. Lampung Utara ini digelar Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Musrenbang ini dihadiri seluruh Forkompinda, satuan kerja perangkat daerah, dan pihak Bappeda Provinsi Lampung.

Wakil Bupati Rohomat Aslan menerima matrik alokasi kegiatan APBD dan APBN Kabupaten Lampung Utara tahun 2014 dari Kepala Bapeda Provinsi Lampung.

Musrenbangkab ini untuk menyusun rancangan rencana kerja pemerintah daerah, seperti rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan, rencana kerja, serta rencana pembiayaannya. (isbedy stiawan zs)




Tak Lulus CPNS, Honorer K-2 Ditambah Rp850 Ribu





Bersatulah guru honor (jabarprov.go.id)
Bantul, Teraslampung.Com—Berita gembira bagi tenaga honorer kategori 2 (K-2) yang tidak lolos seleksi CPNS. Pasalnya, lebih dari 700 tenaga honorer K-2 di Bantul, Yogyakarta, yang tidak lolos seleksi CPBS akan ditambah intensifnya hingga Rp850 ribu perorang, Selain itu, dijanjikan akan disertakan dalam pengangkatan CPNS di tahun-tahun mendatang.

Koordinator Tenaga Honorer K-2 Subardi mengatakan, ia bersama pengurus Forum Komunikasi Guru dan Pegawai Honorer K-2 baru saja dari kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara di Jakarta.

Dikatakan Subardi, dari petemuan itu Menpan meminta agar daerah melalui bupati menyerahkan data sekitar 774 guru honorer K-2 yang tidak lolos seleksi CPN untuk diverifikasi.

“Data tersebut harus detil menggambarkan seberapa besar tugas dan beban kerja yang dilakukan para guru dan pegawai honorer tersebut,” kata Subardi, tenaga honorer K-2 di Bantul, yang juga tak lolos seleksi CPNS.

Subardi menyampaikan, Kemenpan menjanjikan akan memberikan tambahan insentif bagi  para guru dan pegawai honorer bantul sebesar Rp850 ribu perorang. Namun, katanya lagi, tidak dijelaskan  kapan tambahan insentif tersebut mulai diberikan.

Enam hari sebelum para wakilnya berangkat mendatangi Kemenpan, ratusan guru dan pegawai honorer K-2 se-Bantul mengadakan pertemuan di rumah dinas bupati bantul.

Pada pertemuan itu, disepakati bahwa perwakilan mereka akan segera ke Jakarta untuk menanyakan kejelasan nasib para guru dan pegawai honorer K-2. Umumnya mereka sudah mengabdi di bidangnya selama 17 hingga 30 tahun, namun tidak lolos dalam seleksi CPNS yang baru lalu.(isbedy stiawan zs)














Mawardi Harirama: Nilai-Nilai Lampung akan Tetap Hidup

Mawardi Harirama
Bandarlampung, teraslampung.com—Masyarakat Lampung tidak perlu khawatir bahasa Lampung akan terkikis atau punah. Budaya Lampung akan tetap hidup karena mengandung nilai-nilai luhur yang menyatu dalam diri orang Lampung.

“Nilai-nilai itulah yang ada dalam konsep pi’il pesinggiri. Orang luar seperti Van der Tuuk bisa menjadi ahli dalam menyusun bahasa Lampung pada abad 19. Namun, dipastikan tidak akan bisa menyerap semua nilai budaya yang mewujud dalam bahasa Lampung,” kata budayawan Lampung, Mawardi Harirama, dalam Dialog “Mengembalikan Harga Diri Lampung” di Hotel Emersia Bandarlampung, Kamis (27/2).

Mawardi mengaku tidak begitu risau dengan adanya fakta makin terdesaknya bahasa Lampung dalam praktik berbahasa sehari-hari di Lampung. Mawardi juga meyakini bahwa bahasa Lampung akan tetap eksis sepanjang masyarakat pemiliknya masih mau menggunakan bahasa Lampung.

“Sebab, bicara soal bahasa dan budaya berarti bicara soal nilai-nilai. Nenek moyang orang Lampung itu benar-benar hebat, mereka memiliki kearifan untuk mewariskan nilai-nilai luhur. Salah satunya dengan peninggalan aksara Lampung. Di Nusantara ini, hanya sedikit suku yang memiliki aksara sendiri. Dan Lampung punya itu,” kata dia.

Terkait dengan manuskrip kamus bahasa Lampung yang disusun HN Van der Tuuk, meskipun sempat mengritik Van der Tuuk sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda yang memiliki misi tertentu, Mawardi Harirama mengaku tetap memberikan apresiasi yang tinggi.

“Terlepas dari motif dia, peninggalan manuskrip kamus bahasa Lampung itu  sangat penting artinya bagi kita. Meski begitu, kita tidak bisa menjadikan karya Van der Tuuk sebagai acuan tunggal, karena Van der Tuuk tidak lama di Lampung dan hanya sempat tinggal di Abung dan Teluk Betung,” kata dia.

Mawardi mengaku tidak heran Van der Tuuk tidak bisa menyerap semua ilmu tentang budaya dan bahasa Lampung. Sebab, kata dia, nenek moyang orang Lampung pada zaman dulu sudah cukup cerdas sehingga tidak memberikan semua data yang dimilikinya.

"Maka itu, ketika mendengar seni bebandung yang menggunakan bahasa Lampung Van der Tuuk bingung dan mengaku seni itu aneh," ujarnya.   (oyos saroso hn)

Pupuk Langka, Petani di Lampung Utara Resah




Naquib Revolusi, Isbedy Stiawan ZS/Teraslampung.Com



Pupuk phonska (google)
Kotabumi—Pupuk Phonska hilang dari pasaran di Lampung Utara hampir sebulan ini. Langkanya pupuk ini membuat resah sejumlah petani di sana, karena hasil produksi dipastikan menurun drastis..

Sejumlah petani menduga langkanya pupuk ini diduga ulah distributor untuk memicu harga juga menjadi naik.

Terutama petani padi dan palawija di Kecamatan Abdung Semuli dan Abung Timur hampir sebulan ini kesulitan mendapatkan pupuk subsidi jenis Phonska.

Menurut salah seorang petani sawah,  pupuk phonska sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan padi,  singkong dan jagung agar hasil produksi maksimal. “Sejak pupuk subsidi ini menghilang produksi petani berkurang hingga 25 persen,” kata Teguh, Kamis (27/02).

Para petani padi sawah di dua kecamatan itu meminta pemerintah segera mengawasi distribusi penyaluran pupuk phonska. Kelangkaan pupuk ini diduga ulah distributor yang menahan pupuk subsidi untuk kemudian menaikkan harga secara sepihak.

Sementara sejumlah agen penyalur pupuk subsidi mengaku hampir sebulan tidak memiliki pupuk subsisi jenis Phonska. Hal itu disebabkan terlambatnya pengiriman.

Para agen dan distributor pupuk mengatakan tidak memiliki persedian pupuk jenis Phonska. Meski harga jual masih stabil, namun pedagang sulit memenuhi permintaan petani karena pengiriman pupuk dari distributor hingga saat ini belum juga datang.

Mereka berdalih kelangkaan pupuk akibat distribusi pupuk terhambar mulai dari kapal, karena tingginya gelombang dan kerusakan jalan lintas.

Karena langkanya pupuk jenis ini, para petani singkong dan padi kini menggunakan stok lama agar hasil produksi maksimal.







Empat Rekomendasi Dialog "Mengembalikan Harga Diri Lampung"

Tajudin Nur wakl Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL)
Oyos Saroso H.N,/Teraslampung.com

Bandarlampung—Dialog “Mengembalikan Harga Diri Lampung” untuk menyambut pulangnya kamus bahasa Lampung karya HN Van der Tuuk di Hotel Emersia Bandarlampung, melahirkan empat rekomendasi penting. Rekomendasi tersebut tidak hanya berkaitan dengan kamus pertama bahasa Lampung yang disusun Van der Tuuk, tetapi berhubungan dengan pengembangan dan pemasyaratan bahasa Lampung sebagai identitas daerah pada masa kini dan masa depan.

Empat rekomendasi itu adalah: pertama, perlu adanya tindak lanjut berupa pertemuan yang melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengembangkan dan memasyarakatkan bahasa Lampung. Kedua, perlu dibukanya kembali program studi Bahasa Lampung atau Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Lampung. 

Ketiga,mendesak pemeritah daerah (provinsi, kabupaten/kota) untuk mewujudkan budaya Lampung sebagai identitas lokal. Keempat, perlu penerbitan dan sosialisasi kamus bahasa Lampung karya Van der Tuuk dan berbagai manuskrip Lampung kuno yang saat ini tersebar di berbagai tempat.

Para peserta dialog sepakat bahwa pengembangan bahasa Lampung merupakan kerja besar dan berat yang tidak bisa dilakukan satu pihak saja. 

Penentu kebijakan pada akhirnya adalah pejabat eksekutif. Jadi, kehadiran kamus ini selayaknya juga disambut dengan kerja-kerja konkret yang dilakukan banyak pihak dan didukung pemeritah daerah,” kata Dr. Farida Ariyani, ahli bahasa Lampung dari FKIP Universitas Lampung.

Pada kesempatan itu Farida mengungkapkan bagaimana beratnya merintis dibukanya program Pendidikan Bahasa Lampung di Unila. Sayangnya, kata Farida, program itu kemudian ditutup karena tidak adanya dukungan biaya operasional dari Pemda.

"Padahal peminat calon mahasiswa yang mau mengambil program studi bahasa Lampung sangat banyak.Sattu angkatan bisa 700-an orang," kata dia.

Kamus Van der Tuuk Bisa Jadi Acuan Pembelajaran Bahasa Lampung

Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com

Kees Groenberg mewakilo Duta Besar Belanda menyerahkan manuskrip kamus bahasa Lampung karya HN Van der Tuuk kepada masyarakat Lampung, yang secara simbolis diwakili Direktur LAZ Lampung Peduli Juperta Panji Utama, di Bandarlampung, Kamis (27/2).  Foto: Tri Sujarwo
Bandarlampung--Setelah lebih dari satu abad berada di Universitas Leiden, Belanda, kamus pertama bahasa Lampung yang karya HN Van der Tuuk diserahkan secara resmi diserahkan kepada masyarakat melalui Lampung Peduli. Penyerahan secara simbolis dilakukan di Hotel Emersia Bandarlampung, Kamis (27/2), dihadiri sejumlah pemangku kepentingan.

Dari 16 kepala daerah yang diundang panitia, hanya Bupati Tulangbawang Barat yang mengirimkan wakilnya. Acara penyerahan kamus bahasa Lampung itu dirangkaikan dengan pemutaran film “Risalah Van der Tuuk” dan dialog terbatas.

“Kami senang jika masyarakat Lampung sebagai penutur bahasa Lampung mempelajari dan mengembangkan kamus yang disusun Van de Tuuk,” kata Kees Groenberg,  mewakili Duta Besar Belanda untuk Indonesia, saat menyerahkan manuskrip kamus.

Penulis biografi Van der Tuuk itu  memberikan apresiasi kepada masyarakat Lampung yang peduli terhadap kamus bahasa Lampung karya Van der Tuuk.

“Tentu kami senang kamus pertama bahasa Lampung berada di tengah-tengah masyarakat Lampung,” kata Kees.

Beberapa peserta dialog juga menaruh harapan besar terhadap kehadiran kamus tersebut. Apalagi, Perpustakaan Universitas Leiden, sebagaimana diungkapkan Kees Groenberg, tidak akan menarik royalti seandainya kamus itu dicetak dan disebarluaskan.

Dr. Junaiyah H.M., linguis asli Lampung yang kini bekerja sebagai tenaga ahli di DPR RI, mengungkapkan kegembiraannya begitu mendengar salinan manuskrip kamus bahasa Lampung karya Van der Tuuk sudah berada di Lampung. Menurut Junaiyah,kamus karya Van der Tuuk bisa jadi bahan pembelajaran pengembangan bahasa Lampung, karena kamus tersebut merupakan kamus pertama berbahasa Lampung yang ditulis oleh orang asing.

“Apa pun latar belakang Van der Tuuk menyusun kamus itu, kita layak berterima kasih. Nah, sekarang ketika manuskrip kamus itu sudah ada di Lampung, pertanyaan besarnya adalah mau diapakan kamus ini? Kini bukan saatnya berdebat lagi, tetapi waktunya bekerja. Mari kita bekerja bersama-sama menyelamatkan dan mengembangkan bahasa Lampung,” kata dia.

Pensiunan Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu mengakui kamus Van der Tuuk hanyalah sebagian kecil dari kekayaan budaya Lampung pada masa lalu. Menurut dia masih banyak manuskrip Lampung yang masih tercecer.

“Itu semua perlu didokumentasikan dan disebarluaskan kepada masyarakat Lampung. Sebagai orang Lampung asli saya sering miris ketika menghadapi kenyataan bahasa Lampung kurang mendapatkan tempat di Lampung. Dari Sumatera Barat hingga Lampung, hanya masyarakat Lampung yang tidak menggunakan bahasa Lampung dalam praktik berbahasa sehari-hari,” kata ahli bahasa Lampung dan staf ahli DPR RI yang sudah menyusun kamus bahasa Lampung itu.

Pilih Dua Caleg Dianggap Sah

Dewira/Teraslampung.com

Jakarta--
KPU Pusat membuat aturan yang menguntungkan calon legislatif dalam Pemilu 9 April 2014 mendatang. Kalau dalam pemilu sebelumnya pemilih hanya boleh mencoblos salah satu nama atau tanda gambar pilihannya, kini pemilh boleh mencoblos dua nama asal partai calegnya sama.

Pencoblosan itu tidak mengurangi jumlah suara yang tidak sah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat terobosan baru. Yakni pemilih diperbolehkan mencoblos dua caleg dalam satu kertas suara. Tapi ada syaratnya.

Syaratnya, dua caleg yang dicoblos tersebut harus satu partai. Tidak boleh berlainan partai. Jika pemilih mencoblos satu caleg dari partai lain dan mencoblos caleg dari partai lain lagi, maka suara termasuk tidak sah.

“Kalau masih dalam satu kotak partai, harus disahkan. Kecuali kalau caleg ada di dua kotak partai, itu tidak sah,” kata komisioner KPU Pusat, Ferry Kurnia Riziyansyah, di Jakarta, Kamis (27/2/2014).

Ferry mencontohkan, jika pemilih mencoblos caleg A dan caleg B dan mencoblos lambang partai politik yang sama, suara akan tetap sah.”Tapi jika pemilih mencoblos caleg A dan caleg B dari partai yang berbeda, dan mencoblos lambang partai yang berbeda, maka suara dianggap tidak sah. Intinya, pencoblosan harus pada kotak partai yang sama,” ujarnya.

Menurut Ferry sistem proporsional dan open list sekarang itu mencoblos partai dan caleg. Mekanismenya diatur dalam undang-undang.  Ferry mengklaim langkah sebagai terobosan baru KPU yang bertujuan mengurangi jumlah suara yang tidak sah karena pemilih mencoblos partai dan caleg yang berbeda. Hal seperti ini sering ditemukan pada Pemilu sebelumnya.

Selain itu, KPU juga akan mengesahkan suara dari pemilih yang mencoblos tidak tembus, pencoblosan di antara dua caleg atau di garis antara  dua nama caleg berbeda tapi separtai. Pemilih yang mencoblos banyak caleg dalam satu partai pun, sekarang akan disahkan.

“Kami tidak ingin menyia-nyiakan suara, karena bisa jadi si pemilih kurang paham cara mencoblos. Meski sudah disosialisasikan, kadang ada pula pemilih yang masih tidak paham,”
 ujarnya.


Adik Tiri Ratu Atut Jadi Tersangka Korupsi di Lebak

Lilis Karwawati (thebantenjpournal)
Serang, teraslampung.com--Polda Banten secara telah resmi menetapkan Lilis Karyawati, ketua DPRD Kota Serang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada proyek pembangunan turap sungai Cibinuangeoun di Kabupaten Lebak.

Lilis yang tak lain adalah adik tiri Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah dan adik kandung Walikota Serang Tb. Chaerul Jaman ditetapkan sebagai tersangka bersama Memed, seorang pengusaha dalam kasus korupsi proyek senilai Rp 19 miliar yang dibiayai dari APBN 2011 tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Banten Kombes. Pol. Wahyu Widada mengatakan bahwa Lilis ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik dari Subdit III Ditreskrimsus Polda Banten memeriksa dua orang tersangka lainnya, yakni Dedi Mashudi selaku PPK proyek di Balai Besar Wilayah Sungai Cisadane-Ciujung-Cidurian (BBWSC3) dan Yayan Suryana selaku Direktur Delima Agung Utama (DAU) perusahaan pemenang tender.

Wahyu mengatakan bahwa penyidik saat ini sedang menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi-saksi untuk berkas kedua tersangka.

"Kita akan jadwalkan pemanggilan saksi-saksi lagi, karena tidak mungkin menggunakan berkas pemeriksaan saksi untuk dua tersangka sebelumnya," kata Wahyu, menambahkan bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) telah dikirim ke kejaksaan Senin kemarin (24/02).
Keterlibatan kedua tersangka dalam proyek penurapan sungai Cibinuangeun,  telah keuangan negara sebesar Rp 3.5 milir.

Sumber: www.thebantenjournal.com
 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan