Firman Seponada
Seorang kawan berkirim SMS, “Apa kabar Bang? Mau pesan kopi luwak gak?”. Dia aktivis LSM yang sekarang tinggal di Lampung Barat. Setahu saya rekan tersebut selama ini menjual madu asli. Rupanya sekarang sudah merambah bisnis lain yang sedang naik daun: kopi luwak.
“Alhamdulillah sehat, Lih. Sekilonya berapa duit?” balas saya. “500 ribu Bang. Saya ada yang masih asli kotoran luwak dari hutan,” sahut anak muda yang saya tahu cukup gigih itu.
“Wow! Mahal banget! Nanti kalau minat akan saya kontak Galih ya,” saya menjawab.
Hati saya sebetulnya tergerak hendak membeli kopi luwak itu. Bukan karena ingin mencicipi kopi tahi musang yang konon bercita-rasa khas. Melainkan hendak membantu kawan yang coba berbisnis. Selama ini saya juga beberapa kali membeli madu asli yang dia jual. Tetapi kopi luwak, saya berpikir panjang membelinya. Terlalu mahal buat kantong saya. Apalagi harga berbagai barang kebutuhan pokok sedang menggila. Anggaran yang terbatas terpaksa dihemat dan dialokasikan untuk yang mendesak saja. Kopi luwak biarlah dibeli oleh mereka yang kelebihan duit saja.
Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan kopi luwak halal dikonsumsi orang Islam. Asalkan, sebelum diproses menjadi kopi bubuk terlebih dulu dicuci bersih. Kopi, menurut MUI, bukan barang najis melainkan mutanajis (barang yang terkena najis). Maka, barang itu menjadi halal kalau najis yang menempel sudah dijamin hilang.
Bagi saya, halal atau haram kopi luwak itu tidak ada pengaruhnya. Sama sekali tak terpikir untuk coba-coba membelinya, karena mahal tadi. Padahal, di Lampung cukup mudah memperoleh kopi luwak. Baik yang dihasilkan musang liar maupun dari kotoran luwak piaraan.
Lampung Barat tentu saja menjadi sentra kopi luwak di provinsi kami. Kabupaten ini memang produsen utama kopi Lampung, 70 persen di antaranya dari jenis robusta dan sisanya arabika. Di daerah ini banyak warga yang memelihara musang, satu keluarga bisa punya 30 ekor hewan omnivora itu.
Musang-musang itu dipelihara dalam kandang berdinding kawat anyam. Setiap hari, berkilo-kilo kopi petik merah disuguhkan ke satwa bermoncong panjang itu. Setiap hari pula peternak (petani kopi?) mengumpulkan kotoran musang yang berupa biji-biji kopi. Karena pengusahanya banyak, kopi luwak di Lampung Barat tergolong murah. Yang sudah menjadi kopi bubuk cuma Rp500 ribu per kilo. Ini harga di tingkat peternak. Sedangkan kalau sudah di toko penjual oleh-oleh mencapai Rp1,5 juta sekilo.
Sejak kecil saya sudah tahu ada kopi luwak. Di dekat rumah, zaman saya anak-anak, terdapat kebun kopi yang luas. Warga sering mencari kotoran musang untuk mendapatkan biji kopi kelas satu. Musang memang hanya memakan biji kopi yang sudah masak. Tetapi, sejauh ini, belum satu tegukpun saya meminum kopi dari feses musang itu. Saya sungguh pengopi berat. Bisa meminum minimal 4 cangkir sehari. Untuk hobi yang satu ini, saya hanya butuh kafeinnya agar menyegarkan syaraf.
Cita rasa menjadi nomor kesekian, yang penting adalah kandungan zatnya yang mampu menstimulasi sistem syaraf pusat dan menghasilkan efek relaks. Ini bisa diperoleh dari meminum sembarang jenis kopi. Jadi, buat apa minum kopi luwak. Sudah mahal, dari feses hewan pula. Mending duitnya untuk membeli seragam sekolah anak. Hehehehehe...
Baca juga heboh-kopi-luwak-karena-persaingan.html
0 komentar:
Posting Komentar