Nusa Putra*
Tragis. Ironis. Umurnya baru duapuluhan, sehat, penuh semangat dan sukses. Ia sedang tenggelam dalam kegembiraan, akan pergi ke Tokyo untuk lanjutkan pendidikan starata dua. Ia lolos seleksi yang sangat ketat untuk dapatkan beasiswa penuh. Sungguh kebahagian meluaplimpah ke mana-mana, tidak hanya dalam keluarga, sampai-sampai teman sewaktu sekolah dasar turut merayakan dengan penuh rasa syukur.
Ada banyak sekali alasan untuk bersyukur. Ayah-ibunya berjualan sarapan sampai jam sepuluh pagi. Jelang siang ayahnya menjadi petugas kebersihan di terminal, sore mengojek, dan jadi penjaga malam pengganti. Sementara ibunya buka warung mie instan di depan rumahnya sampai malam. Ia pun bekerja keras sampai akhirnya dapat selesaikan kuliah. Kesulitan ekonomi yang mendorongnya untuk rajin, giat dan fokus. Karena kebaikan hati dosennya ia diikutkan tes untuk S2 ke Jepang. Kerja kerasnya, dan berkah Tuhan membuat ia terpilih.
Beberapa hari ini ia mondar-mandir mengurusi semua kelengkapan administrasi untuk keberangkatannya. Dengan motor butut melintasi terik dan hujan. Akhirnya semuanya beres. Rencananya, besok ia akan menghantar semua surat itu untuk memastikan keberangkatan. Malamnya ia merasa agak pusing, dan tubuhnya mulai hangat. Ayah-ibunya berfikir pastilah ia keletihan. Dibuatkan mie rebus, teh manis hangat, minum tolak angin ia tertidur.
Bangun pagi badannya malah panas. Ia paksakan pergi mengantar semua surat yang telah diurusnya. Di jalan pulang ia sungguh merasa seakan dunia berputar kencang. Ia hentikan motor dan duduk di bawah pohon. Ia merasa seluruh bandannya sangat nyeri. Ia lemes, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ia sms teman semasa kuliah agar menjemputnya di pinggir jalan ini. Ia semakin lemah. Duduk di jok motor dan bersandar ke pohon. Ia tidak tahu apa yang terjadi, kala sadar ia sudah terbaring di rumah sakit dengan infus di tangan kiri. Agak remeng ia lihat wajah ayah-ibunya yang cemas dan sedih. Ia sungguh tak tahu apa yang menimpanya.
Setengah bulan di rumah sakit dengan biaya gotong royong teman-teman, tetangga dan siapa pun yang mau membantu, setelah pemeriksaan sangat cermat terhadap darah dan sum-sumnya, dokter bilang ia menderita kanker tulang. Oh Tuhan……….
Melewati hari-hari yang pedih, nyeri dan mengerikan, akhirnya ia berpulang. Dia masih sangat muda, kesempatan masih luas terbentang di hadapannya, dan ia beserta keluarganya telah bekerja sangat keras untuk itu, tetapi maut memilihnya. Pasti maut tak salah pilih.
Apakah kita pernah tahu, virus apa yang numpang hidup di usus kita, bakteri macam apa yang ngekost di paru-paru? Apakah kita tahu kondisi seluruh nadi yang mengalirkan darah, lancar atau tersumbat? Tahukah kita apakah denyut jantung kita normal? Apakah kala merasa sehat, kita sungguh-sungguh sehat? Atau sebenarnya dalam kondisi sehat itu, bibit penyakit sedang tumbuh di mana-mana di seluruh tubuh? Rasanya para dokter pun tak tahu kondisi tubuhnya yang sesungguhnya. Bisa jadi tadi pagi kita merasa sangat sehat, rupanya sepanjang siang virus sedang menyiapakan pasukan, sore hari pasukan virus itu memporakhancurkan pertahanan tubuh kita. Dan malamnya penyakit memasung kita, sehingga tak dapat bergerak di tempat tidur. Boleh jadi, tengah malam nafas menguap ke udara, dan kita dapat gelar baru, gelar penuntas kehidupan yaitu almarhum.
Kita makhluk yang sangat rentan. Anak monyet bisa bertahan hidup di dahan pohon kala dingin hujan dan hantaman angin. Bayi tikus merah bisa bertahan di lingkungan yang mengerikan dan penuh bahaya. Kita tak sekuat itu. Sialnya, kita tak pernah tahu apa saja yang nempel di kulit, apa yang sudah masuk ke tubuh melalui semua lubang yang melekat di tubuh. Kita tak pernah tahu, ada bakteri apa dalam makanan yang dihidangkan di meja. Kita tak dapat melihat kuman yang berenang dalam kopi yang kita tenggak di pagi hari. Kita tak bisa mencegah virus yang menerobos melaui udara yang kita hirup. Lantas, adakah alasan untuk sombongkan diri?
Pasukan terlatih bisa terus berjaga di semua sudut istana. Ditambah lagi peralatan digital canggih yang dihubungkan dengan satelit ke pusat pemantauan keamanan di ruang khusus, tentu dilengkapi cctv yang sangat sensitif yang mampu merekam nyamuk yang melintas. Tetapi semuanya seakan tak berdaya menghadapi kuman, virus, bakteri, jamur, parasit, amuba, protozoa yang menyerang tuan presiden. Dalam hal kerentanan terhadap ‘virus and the gank’, tuan presiden dan kita semua tak jauh beda.
Melalui upaya yang sistematis, penelitian yang lama dengan biaya yang sangat mahal, serta melibatkan ahli lintas, multi, dan transdisiplin, manusia berhasil menciptakan teknologi kesehatan yang canggih. Kini kita bisa “melihat” bayi dalam kandungan dengan citra tiga dimensi. Tidak perlu harus merobek perut untuk mengeluarkan batu yang ngendon di ginjal. Cangkok organ tubuh semakin canggih dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Berbagai piranti canggih bisa meneliti otak manusia sehat yang sedang beraktivitas, sesuatu yang mustahil dilakukan pada masa lalu. Teknologi juga bisa sangat membantu membebaskan gen dari warisan penyakit keturunan. NASA bekerjasama dengan sejumlah negara telah berhasil menciptakan teknologi nano berupa piranti ultra kecil yang berfungsi lebih canggih dari sel darah putih untuk menghancurkan semua bentuk kuman di dalam tubuh, juga ada chip yang bisa ditempelkan di bagian belakang leher sebagai pemantau dan penghancur apapun yang asing dalam tubuh manusia. Kecanggihan teknologi kedokteran dan praktik pengobatan sangat revolusioner dan telah berhasil meningkatkan kesehatan dan usia harapan hidup.
Sayangnya, kita tetap tidak dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam tubuh, dan tetap tidak dapat mencegah penyakit menguyah kita bagai buaya menguyah kodok. Kita bisa mempelajari dan mengetahui apa saja, namun tak pernah tahu kenapa tiba-tiba terkena flu atau diare. Meskipun sudah sangat hati-hati menjaga makanan, dan membiasakan hidup sehat.
Inilah fakta menarik tentang dunia manusia yang sesungguhnya. Hal yang paling tidak kita ketahui adalah apa yang sedang terjadi di dalam tubuh kita. Apa isi darah dan jantung kita, bagaimana geriap denyut nadi kita. Tentu saja kita bisa ke rumah sakit dan ke laboratorium untuk mengetahui tinggi rendah kadar gula darah, kolesterol, asam urat, lemak dalam darah, haemoglobin, dan tensi darah. Tetapi setelah meninggalkan rumah sakit dan laboratorium, apakah kondisinya masih tetap sama? Sementara itu di alam terbuka di semesta raya ini berseliweran beragam bibit penyakit yang tak terlihat. Dalam kerentanan ini, siapakah yang menjaga dan menyelamatkan kita?
MESKI MANUSIA BISA MEMPELAJARI APA SAJA, IA TAK PERNAH MENGETAHUI DENGAN PERSIS DAN AKURAT APA YANG SEDANG TERJADI DALAM TUBUHNYA..
* Dr. Nusa Putra, S.Fil., M.Pd., dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Sumber: http://juangtualang.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar