Radja Toek sebagai Ahli Bahasa Lapangan di Daerah Lampung (1)


Kees Groeaneboer*

Tulisan ini bercerita mengenai sosok ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk, yang sebagai ahli bahasa lapangan meneliti daerah Lampung pada tahun 1868-1969.  Sudah sejak masa hidupnya Van der Tuuk menjadi sosok legendaris – ilmuwan besar dan mungkin dapat disebut sebagai seorang ahli bahasa terbesar di abad 19, tetapi juga sebagai pribadi yang mengesankan, berbuat sekehendak hatinya, kurang sopan-santun dan eksentrik –, seseorang yang dengan cara yang jelas, ironis, dan terkadang kasar, menentang segala sesuatu yang dianggapnya memuakkan pada masanya. Misalnya dia tidak pernah merahasiakan bahwa dia tidak suka kepada agama Kristen, bahwa dia tidak suka kepada para penginjil, dan tidak suka kepada masyarakat dan pemerintahan Hindia-Belanda. Dia juga tidak merahasiakan rasa jengkelnya terhadap kemajuan agama Islam, terhadap apa yang disebutnya ‘keserakahan‘ pedagang Cina, ‘kebodohan‘ penduduk pribumi, dan sebagainya.

Herman Neubronner van der Tuuk lahir pada tahun 1824 di Malaka, tapi dia tumbuh di Surabaya dan mungkin di masa remajanya dia telah belajar bahasa Melayu, bahasa Jawa, serta bahasa Madura. Barangkali dia bahkan telah belajar bahasa Portugis dari ibunya yang dilahirkan di Malaka dan berbicara semacam bahasa Portugis Kreol. Pada tahun 1837 Herman dikirim ke Belanda untuk pendidikannya. Dia studi di Groningen, kemudian di Leiden dan Delft, dan belajar bahasa Arab, Persia, Portugis, Ibrani dan Inggris. Pada tahun 1846 Van der Tuuk telah mengadakan studi yang mendalam mengenai bahasa Melayu dan mempublikasikan beberapa telaah mengenai naskah-naskah Melayu.  Dia diangkat oleh Persekutuan Alkitab Belanda sebagai ahli bahasa untuk daerah Batak dan berangkat ke Hindia-Belanda pada tahun 1849. Dia tertarik pada pekerjaannya sebagai ahli bahasa lapangan, walaupun sebenarnya dia bukan orang yang saleh dan tidak terlalu tertarik pada Persekutuan Alkitab itu sendiri. Sebenarnya sikapnya agak ateis. Dia menulis kepada temannya:

‘Apakah hidup ini? Tanpa persetujuan, kita memperolehnya dan oleh karena itu kita pun harus berterima kasih dan kita tidak boleh membuangnya tanpa izin Tuhan. Memang sebuah kontrak yang aneh, hubungan antara manusia dan Tuhan. Dia membiarkanmu merasa bosan di dunia tanpa menanyakan apakah kamu suka atau tidak, dan apabila kado itu sudah kamu peroleh, kamu mendapat pilihan ini: neraka atau surga. Kontrak itu pastilah suatu tipuan sebab salah satu pihak tidak memberikan persetujuannya […]. Kita diajarkan dan kebanyakan orang mempercayainya bahwa kehidupan adalah sebuah kado; tetapi orang harus sadar bahwa itu adalah kado yang bersyarat dan tanpa persetujuan dari yang memperolehnya.’ (01-06-1849)

Pada bulan September 1849 Van der Tuuk tiba di Batavia dan pertama-tama menyibukkan dirinya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi dia jatuh sakit parah dan keberangkatannya ke daerah Batak harus ditunda. Dalam masa penyembuhan selama beberapa bulan dia tinggal di Buitenzorg (Bogor) dan di sana dia mendalami bahasa Sunda. Baru pada awal 1851 dia berangkat ke Padang dan kemudian ke Sibolga di daerah Tapanuli. Tahun 1851 dia pindah ke Barus, lima puluh kilometer di sebelah utara Sibolga, karena sebagian besar penduduknya saling berbicara dalam bahasa Batak secara sempurna dan di sana pengaruh bahasa Melayu belum begitu terasa. Pada tahun 1852 dia melakukan perjalanan ke Mandailing, daerah yang sudah berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. 

Dia menempuh jarak yang panjang ke Padang Sidempuan, Sipirok, dan Panyabungan, yang sebagian besar dilakukannya dengan berjalan kaki. Di mana pun dia berada, dia membuat catatan, menulis lagu dan sajak, cerita-cerita, dan menyalin pustaha. Pada tahun 1853 dia menuju Silindung, yang terletak di daerah Batak yang belum berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Perjalanan itu membawanya ke tepi Danau Toba yang suci dan yang belum pernah dilihat oleh orang Eropa. Namun, perjalanan itu hampir mencelakakannya. Perjalanan pulang pada bulan April lebih merupakan suatu pelarian, karena menurut ceritanya, dia dua kali hampir dimakan oleh para penduduk. Barangkali hal itu membuatnya takut sehingga Van der Tuuk kemudian tidak lagi berani pergi ke daerah pedalaman Batak.

Dia sering mengeluh mengenai tugas yang dibebankan kepadanya untuk menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Batak. Dia selalu menekankan betapa pentingnya untuk pertama-tama mengumpulkan bahan untuk menyusun kamus dan tata bahasa, dan dia mengusulkan untuk menunda penerjemahan Alkitab. Penerjemahan yang ditugaskan itu merintangi studi bahasanya. Dia juga sering mengeluhkan masalah-masalah praktis seperti kesulitan untuk mengambil uang di daerah terpencil seperti di Barus, kurangnya penulis Batak yang andal, kurangnya pembantu yang baik sehingga dia tidak diurus dengan benar dan rumahnya selalu saja menjadi seperti ‘kandang binatang‘. Dia mengeluh mengenai biaya hidup di Sumatra yang mahal. Juga tentang cuaca yang tidak sehat dan tentang serangga yang membuatnya berulang kali harus menyalin naskah.

Dia juga mengeluh tentang kurangnya percakapan intelektual dan tentang harus tinggal sendiri di dalam kesepian. Akan tetapi, untuk orang Batak rumah Si Pan Dor Toek atau Radja Toek, seperti itulah orang menyebutnya, selalu terbuka dan sepanjang hari dia berbicara dengan mereka dan membuat catatan, yang pada malam harinya diolahnya. Meskipun dia juga sering merasa terganggu dengan apa yang disebutnya dengan ‘kemalasan, kejorokan, dan keserakahan orang Batak‘. Dalam melaksanakan pekerjaannya dia senantiasa mempergunakan narasumber orang Batak yang sekaligus dia sewa sebagai penulis untuk menyalin naskah cerita. Dengan bantuan mereka, dia membuat kumpulan besar tentang kesusastraan Batak-Toba, Batak-Dairi, dan Batak-Mandailing. Dia juga membuat terjemahan dari berbagai ayat Alkitab yang pada keesokan harinya dibicarakan dengan mereka dan selanjutnya diperbaiki. Tetapi dia ternyata tidak mempercayai para narasumbernya. Dia menulis:

‘Saya sendiri tahu bagaimana sulitnya untuk menerjemahkan Alkitab karena berkonsultasi dengan orang Batak seperti bertanya kepada kucing atau anjing. Dalam membaca terjemahan saya, saya mengalami bahwa komentar mereka pada apa yang sudah saya terjemahkan sama sekali tidak berhubungan dengan yang dibacakan, dan hanya dibuat untuk memberi gagasan bahwa mereka mendengarkan saya [...]. Anda mengerti bahwa saya enggan untuk berkonsultasi dengan mereka, dan pada penerjemahan lebih dapat bermanfaat dari studi yang mendalam tentang naskah-naskah Batak, daripada nasihat mereka, yang masih asing dengan isi dari Alkitab.’ (20-2-1856)

Akhir tahun 1856 Van der Tuuk memutuskan untuk kembali ke Belanda. Dia menempuh perjalanan panjang dari Barus ke Padang dengan berjalan kaki supaya dalam perjalanan itu dia masih dapat memperoleh info mengenai bahasa Batak-Mandailing. Dari Padang dia naik kapal ke Batavia dan kemudian dia berangkat ke Eropa. Pada bulan Oktober 1857 Van der Tuuk tiba di Belanda, dan kali ini dia menetap di Amsterdam, karena kantor Persekutuan Alkitab ada di kota ini. 

Di Amsterdam dia mengolah bahan yang sangat banyak yang telah berhasil dikumpulkannya selama enam tahun di daerah Batak, dan mempublikasikan karyanya tentang bahasa Batak pada periode 1857-1868: diterbitkan tata bahasa dalam dua jilid,  kamus bahasa Batak yang luas,  dan terjemahan Alkitab.  Untuk membuat para penginjil dan pegawai pemerintah dapat mempelajari bahasa Batak, dia menyusun tiga buku bacaan dengan teks kesusastraan Batak yang asli, dilampiri dengan sebuah buku panduan untuk menggunakan teks-teks tersebut. 

*Dr. Kees Groeneboer, Erasmus Taalcentrum Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan