Isbedy Stiawan ZS, Mas Bowo/Teraslampung.Com
LAMPUNG TENGAH—Pungutan liar di Terbanggi meresahkan para sopir bus dan truk yang masuk Terminal Betan Subing, Lampung Tengah. Keresahan serupa dialami para pengendara yang memakai mobil pribadi yang melintas jembatan lama Terbanggi Besar.
Sejak kerusakan Jembatan Terbanggi, para "Pak Ogah" mulai beraksi di jalan sekitar jembatan. Pengendara mobil yang melewati jembatan lama Terbanggi Besar harus mengeluarkan uang antara Rp5 hingga 10 ribu sekali jalan.
Syaiful, 52, warga Bandarlampung, mengaku dua kali diminta oleh anak-anak muda di Terbanggi Besar. Dengan alasan, itu adalah jasa "Pak Ogah" mengatur kendaraan yang melintasi jembatan lama agar tidak macet. Mereka memang tidak memaksa: sembari mengatur lalu lintas, sebuah kotak tempat uang disodorkan kepada pemakai jalan.
“Pertama saat kita mau masuk diminta uang, lalu mau keluar diminta lagi,” kata Syaiful yang setiap Jumat dan Senin melintasi jalan lintas Sumatera (Jalinsum) Lampung Tengah.
Menurut Syaiful, memang, dengan adanya para “Pak Ogah” membantu pengendara yang melintas jembatan lama Terbanggi, karena ruas jalan di situ memang kecil.
“Hanya, cara mereka meminta sering memaksa. Bahkan, saya dengar sendiri, ada pengendara yang tidak membayar, Pak Ogah langsung teriak; Kalau tak mau bayar lewat terminal saja!’ Atau ada yang nyeletuk, ‘Kalau tak bayar, lain kali jangan lewat sini.’ Kata-kata seperti itu, sering terdengar,” jelas warga Bandarlampung ini.
Jalan trans Sumatera itu jelas bukan jalan milik nenek moyang para "Pak Ogah". Namun, mereka bisa sangat berkuasa dan terkadang begitu menakutkan bagi sebagian pengguna jalan.
Aktivitas “Pak Ogah” hingga berita ini diturunkan masih berlangsung. Padahal, para pengendara yang melintas jalur lintas tengah Sumatera merasa keberatan. Cara-cara mereka juga sudah sangat meresahkan. Terutama para sopir truk dan bus yang masuk Terminal Betan Subing. Setiap kendaraan diminta antara Rp20 ribu hingga Rp50 ribu. Kalau malam malah lebih besar lagi.
“Kalau kami tak bayar, diteriaki dan diancam,” kata Spriyono, sopir truk yang biasa membawa barang dari Jakarta menuju Palembang.
Supriyono mengaku retribusi ilegal di Terminal Betan Subing sangat memberatkan, dan cenderung meresahkan bagi para supir bus dan truk. Hal sama juga diakui Ujang, sopir bus jurusan Jakarta-Padang.
"Ya....pungutan itu memberatka. Kami seperti dipaksa untuk bayar retribusi ilegal,” kata Ujang.
Menurut Ujang sedikitnya 30-an anak muda menjaga arus lalu lintas di Temrinal Betan Subing. Mereka menyiapkan kotak kardus, dan menyorongkan ke setiap sopir bus dan truk.
Sementara di jembatan lama Terbanggi, diperkirakan sekitar 20 orang. Mereka juga berpenampilan tidak bersahabat, sehingga banyak pengendara mobil pribadi merasa tidak ikhlas saat melempar uang ke kotak.
“Kalau kami tak bayar, mereka akan berteriak dan mencaci. Sebetulnya, mereka mengatur arus lalu lintas di sini, tetap saja macet karena ruas jalan memang kecil,” kata Roki, warga Kotabumi, Lampung Utara.
Roki menduga, polisi sepertinya tutup mata terhadap praktik “Pak Ogah” di sekitar Terbanggi Besar. Pasalnya, di daerah itu ada dua pos polisi. “Tetapi pihak kepolisian seperti tak mau tahu. Jangan-jangan mendapat bagian,” sesal Roki.
Subiyo. Warga Poncowati, mengaku gerah dengan ulah para “Pak Ogah” di sana. Ia berharap pemerintah daerah segera memperbaiki jembatan yang rusak, agar arus lalu lintas di Lintas Tengah Sumatera ini kembali normal.
“Kalau jembatan itu bisa diperbaiki, kan aktivitas para ‘Pak Ogah’ akan berhenti sendiri. Saya dengar, satu hari perorang bisa mengantongi Rp300 ribu. Ini akan membahayakan, mereka menjadi malas bekerja.
Alasan Subiyo, kalau mereka terus dimanjakan jadi keenakan, dan bisa menghambat perbaikan jembatan yang rusak. “Bagaimana cara mereka agar jembatan tidak direnovasi, sehingga menguntungkan bagi mereka,” imbuh dia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar