Mundur, Gita Wirjawan Tetap Jalankan Tugas Mendag

Gita Wirjawan (dok straitstime)
JAKARTA, teraslampung.com--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima secara positif pengunduran diri Gita Wirjawan sebagai Menteri Perdagangan. Namun, Presiden meminta Gita tetap menjalankan tugasnya sampai ditetapkan pengganti definitif.

Menteri Sekertaris Negara Sudi Silalahi dan Juri Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menjelaskan hal ini dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Sabtu (1/2) pukul 13.15 WIB.

"Menteri Perdagangan telah mengajukan pengunduran diri per tanggal 31 Januari dan Presiden telah membaca surat pengunduruannya dan memberikan respons positif," kata Sudi Silalahi. "Beliau mengatakan inilah contoh seorang pejabat yang beretika politik. Maksudnya, etika politiknya boleh dicontoh," Sudi menambahkan.

Meski Gita mengajukan diri per 1 Februari, namun, menurut Sudi Silalahi, Presiden SBY meminta Gita untuk tetap melaksanakan tugas sebagai Mendag sampai pengganti definitif secara resmi ditetapkan.

"Dalam waktu dekat Presiden akan menyampaikan secara resmi pengunduruan diri Gita Wirjawan sekaligus memberikan penjelasan mengenai Mendag penggantinya," Sudi menjelaskan.

Sementara itu, Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, saat ditanya wartawan mengenai antisipasi mundurnya menteri-menteri lain yang juga mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat (PD), menjelaskan tidak masalah. Jika ada menteri lain yang turut mundur karena maju dalam proses pemilihan capres, kebijakan kementerian yang bersangkutan akan terus dilaksanakan.

"Kementerian, meski dipimpin oleh seorang menteri, tapi tetap kebijakan yang sudah digariskan berjalan. Bilamana ada kekosongan di pos menteri, akan langsung dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas atau yang langsung ditunjuk oleh Presiden," ujar Julian..

Sebagaimana diketahui, Jumat (31/1) kemarin, Gita Wirjawan menyatakan mundur dari posisi sebagai Mendag karena mengikuti konvensi capres dari PD. Alasannya karena menghindari konflik kepentingan. Presiden SBY sudah menerima surat bdari Gita tersebut.

"Pengunduran diri ini juga didasari oleh kesadaran etis tentang besarnya potensi konflik kepentingan jika saya terlibat penuh dalam proses politik selama konvensi, sementara pada saat yang sama tetap menjalankan tugas dan kepercayaan yang Bapak berikan sebagai Menteri Perdagangan," begitu tulis Gita dalam suratnya kepada Presiden SB

Muri Koes Plus Meninggal


Muri (Dok Tempo)
JAKARTA, teraslampung.com—
Muri, 65, salah satu personel grup legendaris Indonesia, Koes Plus, meninggal dunia, Sabtu pagi sekitar pukul 05.00 WIB. Sebelum meninggal Muri diketahui tidak sakit.

Sebelum meninggal Muri dikabarkan masih sempat meminta kepada anaknya agar pendingin ruangan (AC) dimatikan karena dia merasa kedinginan. Lalu, anaknya membuatkan teh hangat dan memaluri sekuruh tubuhnya dengan minyak kayu putih. Beberapa saat kemudian pria bercambang lebat itu mengembuskan napas terakhirnya. 
Jenazah Muri akan dikebumikan di TPU Pondok Ranggon, Cipayung Jakarta Timur sehabis solat zuhur.

Belakangan, Muri menjadi pengajar senior pada program Workshop Seni dan Film Keliling Indonesia yang diadakan Karya Anak Bangsa.

Koes Plus dibentuk pada 1969 sering dianggap sebagai pelopor musik pop dan rock n roll di Indonesia. Di dalam grup yang personilnya memiliki hubungan bersaudara itu, Murry atau Kasmuri dipercaya memegang intrumen drum dan vokal.

Lagu-lagu Koes Plus sering menjadi hits pada masanya seperti Dara Manisku, Bis Sekolah, Aku Rindu dan masih banyak lagi. Sampai saat ini, keluarga Koes Plus sedang berusaha dihubungi mengenai kabar wafatnya salah satu personil band yang kini dikenal dengan Koes Bersaudara.

Sumber: Tempo/DBS


Nikmatnya Rezeki Resensi

Adian Saputra*

Alhamdulillah, kemarin (31/1/2013, saya mendapat kabar bahagia. Seorang teman penulis asal Lampung, Yandigsa, memberi tahu via pesan di BlackBerry, bahwa saya termasuk di antara 12 penulis yang resensinya menang dalam lomba menulis resensi novel “12 Menit”. Seharian kemarin saya memang tidak membuka internet karena mesti ikut rapat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung soal rencana Uji Kompetensi Jurnalis.

Usai rapat, saya membuka internet dan mengecek Twitter. Benar ternyata, lomba yang diadakan NouraBooks sudah ada pengumumannya. Nama saya teratas. Tentu bukan juara I. Sebab, ke-12 pemenang itu statusnya sama-sama pemenang. Persoalan nama saya paling atas, itu sudah takdir. Maklum, nama awal berabjad “a”, hehehe.

Dibanding menulis artikel lain, semacam opini, saya memang menyukai sekali menulis resensi. Menulis resensi buat saya punya kenikmatan tersendiri. Sebab, ada banyak manfaatnya. Selain usai membaca kita mendapat ilmu, proses menulis resensi juga bisa menjadi ajang belajar yang bagus.

Saya bersyukur sekali bisa beraktivitas ngeblog di Kompasiana yang memberikan ruang selebar-lebarnya untuk menatahkan resensi buku. Di Kompasiana ini saja, ada dua lomba yang pernah saya menangkan. Pertama lomba resensi novel “Rantau 1 Muara” karya A Fuadi, yang kedua lomba menulis resensi buku “Kompasiana Etalase Warga Biasa”. Plus satu dari Indepth Publishing yakni lomba menulis resensi buku “Kami Bukan Superman” karya Kompasianer Ridwan Hardiansyah. Kemenangan dalam lomba menulis resensi novel “12 Menit” ini tentu tahniah buat saya. Apalagi resensi ini saya posting juga di Kompasiana. Sekali lagi, terima kasih yang tulus.

Menurut saya, lomba menulis resensi ini memang sangat bagus jika kuantitasnya ditambah. Selain memberikan manfaat untuk “promosi” buku dari penerbit, ini juga membuka khazanah berpikir setiap penulis untuk memaknai buku yang dibaca. Menulis resensi sederhananya memang menilai konten sebuah buku. Selain menceritakan ulang isi buku dengan gaya bahasa sendiri, juga terbuka peluang untuk menguliti plus-minus karya tersebut.

Dalam dunia literasi, menulis resensi ini tentu sangat baik. Sebab, budaya membaca dan menulis di Indonesia mesti ditingkatkan. Dengan menulis resensi, berarti kita melatih untuk berdemokrasi. Sebab, boleh jadi, apa yang kita sampaikan dalam karya, ditanggapi beragam. Bisa oke, bisa juga tidak oke. Boleh jadi disukai, bisa juga tidak disukai. Sebab, menulis resensi hampir sama dengan menatahkan ide dan gagasan layaknya opini. Bedanya, dalam resensi, objek yang kita tulis itu ada: buku.

Satu hal yang juga sering saya sampaikan jika ada kesempatan berbicara soal kepenulisan ialah supaya kita biasa membeli buku. Meminjam buku tentu boleh-boleh saja. Tapi, membeli buku, membacanya sampai tuntas, kemudian menuliskan resensinya, tentu lebih baik. Seorang teman mengatakan, orang paling bodoh sedunia adalah mereka yang suka meminjamkan bukunya. Rupanya kawan ini kesal, banyak bukunya yang tidak dikembalikan oleh kawan yang meminjam. Ada-ada saja, hahaha.

Tapi dipikir-pikir benar juga. Kalau kita yang mau menjadi penulis dan pemikir, setidaknya penikmat buku, membeli buku itu fardu ain. Wajib hukumnya. Bagaimana kita mau mempunyai perpustakaan pribadi kalau koleksi buku kita sedikit. Bagaimana kita mau membuat perpustakaan dan taman bacaan jika buku kita minim. Supaya tak mengulang pengalaman teman yang bukunya banyak hilang, tentu dibutuhkan manajemen yang rapi jika kita ingin membuka perpustakaan atau taman bacaan.

Toh, saat kita membeli buku, ada banyak pihak yang diuntungkan. Penerbit tentu senang jika bukunya laris dibeli. Dengan begitu, ada banyak orang yang menerima gaji dari penerbitan itu. Para penulis juga senang karena dari penjualan buku ia mendapat royalti. Apalagi buat penulis yang indie, tentu lebih banyak duit yang masuk saat bukunya laris terbeli.

Dengan adanya blog Kompasiana, saya kira setiap penulis mesti memaksimalkan potensi menulisnya, terutama menulis resensi buku. Oh iya, kita juga patut menyambut gembira karena semakin sering tulisan Kompasianer dibukukan oleh penerbit. Yang terakhir bukunya Gustaaf Kusno bertajuk “Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi” dan buku karya Kompasianer Terbaik 2013 Yusran Darmawan berjudul “Kopi Sumatera di Amerika”. yang kontennya soal bahasa. Saya yakin, jika setiap Kompasianer menjaga konsistensi menulisnya, kans untuk punya buku sendiri tentu terbuka. Mungkin salah satunya dimulai dengan rajin menulis resensi buku.

Dalam ranah artikel, menulis resensi, dari pengalaman pribadi, cukup mudah dilakukan. Sebab, kita sudah punya bahan untuk menulis dari hasil pembacaan kita terhadap sebuah karya. Tegasnya, yuk mulai dirajinkan menulis di Kompasiana. Khususnya memulai untuk rajin menulis resensi buku. Kalau saban bulan kita membeli satu buku baru, artinya mesti ada satu karya resensi setiap bulan. Jika setiap pekan kita membeli satu buku baru, tentu itu lebih bagus. Artinya, saban minggu kita mesti menulis satu resensi buku. Belum ditambah menulis reportase atau jenis artikel lainnya.

Sayang jika keaktifan menulis kita tidak dijaga dan dikembangkan. Adanya blog pribadi, juga blog bersama Kompasiana ini, selayaknya bisa menjadi arena belajar dalam menulis. Tersebab ada banyak lomba menulis resensi, juga seharusnya memicu kita untuk semakin rajin dalam menulis. Sayang kalau ada lomba, kita tidak ikut. Soal menang atau kalah, itu persoalan kedua. Yang utama, kita mengikutinya. Selain menambah jam terbang, juga memperbesar peluang untuk menang.

Manfaat utama tentu saja menambah pengetahuan dan menghaluskan cara menulis. Orang tua-tua dulu bilang, alah bisa karena biasa. Sangat boleh jadi, menulis resensi buku menjadi jenis tulisan pertama kita sebelum ke tema-tema lainnya. Semakin mahir menulis, semakin baik karya yang kita buat. Sekali lagi terima kasih untuk Kompasiana yang sudah memberikan ruang untuk Kompasianer menatahkan karya. Yuk menulis dan semakin rajin berkarya di Kompasiana. Bonusnya insya Allah juara, aamiin.

*Jurnalis, blogger, dan penulis buku. Tinggal di Bandarlampung. Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana

Enam Bahaya Buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" Menurut Sunardian Wirodono

Sunardian Wirodono
BANDARLAMPUNG--Pengantar Redaksi: Kolumnis dan budayawan Sunardian Wirodono termasuk sosok yang getol mengkritik masuknya nama ahli survai politik Denny J.A. sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Menurut Sunardian, pemberian label tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh kepada Denny menabrak logika dan membayakan perkembangan sastra Indonesia.   Meskipun mengkritik, Sunardian tidak mendasarkan kritiknya atas kebencian atau tidak suka dengan sosok Denny J.A. Berikut opini kolumnis asal Yogya itu terhadap kontroversi buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh: 

Kontroversi dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh tampak begitu marak di dunia internet akhir-akhir ini. Sontak menenggelamkan kehebohan sebelumnya, yang banyak dihiasi dengan pembicaraan tokoh sastra bernama Sitok Srengenge, berkait kasus pelaporan kekerasan seksual atas mahasiswa sastra Jerman, FIB, UI. Dua keriuhan itu, tetap saja bertumpu pada tokoh sastra, bukan karya sastra. Tulisan ini, ingin mendorong Tim 8, pemrakarsa terbitnya buku kontroversial itu, agar masyarakat pembaca pun bisa diajak serta, dan menjadikan sastra bukan hanya milik kaum sastrawan yang meributkannya.

Karenanya, tulisan ini juga hanya ingin berkonsentrasi pada penilaian atas buku itu, bukan pada hal-hal lainnya. Setidaknya, menurut hemat penulis, ada enam hal berbahaya yang harus dijelaskan pada publik sastra di Indonesia, berkait dengan buku itu.

Enam Bahaya Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh: Pertama, metodologi pemerian 33 tokoh sastra Indonesia dan proses penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, sangat berbahaya. Prosesnya yang tidak transparan dan unfairness (lihat komplain Maman S. Mahayana yang kemudian menolak masuknya nama Denny JA dan bagaimana ceritanya tiket pesawat dari Korea Selatan akan diganti panitia, dll, serta pengakuan Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang mengatakan lembaganya tidak punya inisiatif atas hal itu). Antara kerja intelektual dan kerja tipu-tipu di sana (dalam istilah para penyair) berkelindan.


Dua, istilah 'tokoh sastra' dengan berbagai kriterianya, dan kemudian munculnya istilah 'paling berpengaruh' mengindikasikan ini sebagai proyek yang tendensius (terkait dengan point 1). Sesuatu yang sangat berbahaya, karena istilah yang superlatif itu, dalam pengantar pertanggungjawaban Tim 8 diuraikan secara inkonsisten, utamanya berkait 4 kriteria mereka sendiri tentang kepantasan 'tokoh'. Apalagi mengingat masing-masing dari Tim 8 itu menulis dan memilih tokoh-tokoh pilihannya sendiri, kemudian disunting oleh satu dari delapan orang itu yang semua merupakan kegiatan terpisah, kecuali diskusi yang hanya dua hari meski dikatakan sampai berdarah-darah.

Di sisi lain, istilah 'tokoh sastra' itu sendiri, agaknya dirancang sengaja untuk mereduksi kontroversi (yang toh tetap muncul, karena kita memang juga lebih suka ngomongin 'tokoh sastra' daripada 'karya sastra', dan akan menjadi debat kusir dengan memunculkan ranah ego dan etik).


Tiga,  penerbitan oleh Gramedia dan PDS HB Jassin, juga harus dilihat sebagai proyek yang tidak bertumpu pada ukuran sastra (atau apa pun) secara akademik. Senyatanya, PDS HB Jassin menyatakan merasa tidak dilibatkan. Dalam pengakuan PDS HB Jassin dinyatakan lembaganya tidak pernah memberikan penghargaan sedemikian besar kepada ke-33 tokoh sastra (yang termaktub dalam buku itu). “Kegiatan ini sama seperti kegiatan peluncuran buku pada umumnya. Kami hanya fasilitator tempat kegiatan dan buku-buku yang dibutuhkan oleh tim 8 sebagai bahan riset/penelitian,” seperti dikatakan Aryani Isnamurti. Sementara, masyarakat awam juga harus sadar, bahwa banyak buku dengan label diterbitkan oleh Gramedia (atau penerbit berkelas lainnya) tapi belum tentu berdasar seleksi redaktur mereka. Ada kepentingan bisnis komersial masuk ke sana. Sekarang ini, lazim penerbit bisa dibeli oleh penaja (sponsor) yang punya kepentingan. Praktik ini banyak dilakukan di Indonesia. Banyak buku biografi tokoh yang 'membeli' penerbit berkelas. Gramedia juga tak tabu melakukan hal itu. Ini berbahaya, karena siapa punya uang bisa membeli 'pride'.

Empat, dalam pengantar dan juga promosinya, dikatakan bahwa buku 33 Tokoh Indonesia Paling Berpengaruh juga di-endors sebagai buku teks sejarah sastra paling sahih sepanjang 100 tahun, adalah menunjukkan tendensi sebenarnya. Dan ini berbahaya bagi dunia sastra Indoesia itu sendiri di masa kini dan mendatang. Tampaknya, oknum-oknum yang berada di balik proyek penerbitan buku ini, punya ancas atau tujuan lain, yakni memakai sastra sebagai proyek ekonomi (mereka), semata dengan menumpang 'nilai-nilai sastra', yang juga akan mereka pakai sebagai lobi-lobi ke Kemendiknas sebagai buku wajib sekolahan, bahkan ke festival buku internasional (salah satunya di Munchen tahun depan). Berbahaya bukan hanya untuk dunia sastra, tetapi pada generasi mendatang dan peradaban Indonesia itu sendiri tentunya.

Lima, dua dari 33 tokoh itu (Goenawan Mohamad dan Remy Sylado) menyatakan keberatan, dengan gaya masing-masing. Hal itu menunjukkan persoalan superlatif yang hendak dipaksakan. Maman S. Mahayana yang tetep tidak setuju dengan terpilihnya Denny JA masuk dalam 33 tokoh sastra, juga masuk dalam kriteria ini. Dissenting opinion Maman S. Mahayana, bisa sebagai pintu masuk membongkar skandal proyek "33 Tokoh Sastra,..." itu.

Enam, secara keseluruhan, proyek penerbitan buku ini sangat berbahaya, karena dengan proses yang unfair (munculnya TIM 8 itu mewakili siapa, atas dasar seleksi seperti apa, siapa yang memposisikan mereka). Jika mereka memakai nilai kepantasan yang netral, maka ketika masuk ke ranah publik pun dengan sikap yang mestinya netral juga. Ketika kemudian mereka masuk ke ranah publik dengan istilah-istilah yang penetratif, seperti "paling berpengaruh" dan "paling sahih", maka di sana akan muncul bahaya permanen, yakni pembodohan publik.

Publik diberi doktrin, dogma, tetapi bukan sebuah uraian yang netral, sebagaimana kerja akademis yang mesti berimbang, fair, tidak berpihak, kecuali pada kedalaman analisis dan kejujuran akademis atau intelektualitas. Di samping 33 tokoh sastra itu, disebut tokoh-tokoh lainnya, tetapi Tim 8 mengatakan "pengaruhnya tidak sebesar" 33 tokoh terpilih. Berarti ada pemeringkatan. Siapa nilai pengaruhnya yang paling kuat? Nomor satu, dua, tiga, dst? Apa pengaruh Ayu Utami di Indonesia, dalam bidang apa, seberapa, terus kemudian dibanding pengaruh Seno Gumira Ajidarma lebih besar siapa, atas ukuran apa, kenapa? Apakah pengaruhnya permanen lintas generasi, atau hanya pada jamannya? Apa saja pengaruhnya, bukti empiriknya, dan apakah referensi serta riset mereka meyakinkan? Sementara dalam pengantar buku itu kemudian di-endors (untuk kepentingan-kepentingan berikutnya dalam hal distribusi, penjualan) dengan mengatakan ini buku teks sejarah sastra paling sahih. Atas dasar apa? Mengapa tidak sekalian menyebar pooling ke publik dengan pertanyaan: "Siapa di antara tokoh sastra ini yang paling berpengaruh?"

Perdebatan Dunia Maya dan Monolog Masing-masing Blog


Jika Tim 8 bisa menjelaskan 6 bahaya di atas, saya kira penerbitan buku ini akan melahirkan diskusi yang lebih produktif. Tentu saja dalam sebuah forum yang terhormat, entah dalam bentuk debat atau diskusi terbuka, atau berani membuat forum sebagaimana "Pengadilan Puisi" di Bandung 1974 dulu. Daripada hanya ribut dalam cyber-war (ini lebih sebagai himbauan untuk Tim 8), yang bisa berkembang kemana-mana. Misal, menurut berita terbaru Cecep Syamsul Hari, redaktur sastra Horison, mulai 16 Januari ini resmi mengundurkan diri berkait kasus buku "33 Tokoh Sastra Indonesia,.."

Apa hubungannya coba? Sementara keriuhan di dunia internet, dengan pembaca beragam, bisa memunculkan fanatisme-fanatisme baru yang sama-sama rapuh (mohon kalimat ini dimengerti dalam konteks sistem kerja pola rating/pemeringkatan top issue yang computerized dan updating secara otomatis berdasar volume netting di dunia internet,isadari). Riuh rendah di dunia internet itu, seolah menguatkan pendapat bahwa kehadiran seorang tokoh, bisa ditengarai dari begitu berjibunnya netting tentang hal itu di dunia maya. Karena memang itulah yang dipakai untuk ukuran, atau sistem pemeringkatan, pengguna media siber.

Sementara kita mati-matian membela bahwa dunia sastra lebih menggeluti nilai daripada jumlah. Sedang tak banyak yang mengetahu perbedaan antara nilai dengan jumlah. Dalam konteks ini, tidak ada maksud penulis untuk mengatakan apa yang riuh berlangsung di dunia internet (dunia maya) tidak layak diperhatikan, namun bagaimana menyelesaikan kasus ini, jika hal itu memang dipandang sebagai kasus atau persoalan?

Apa yang dilakukan dalam Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir 1974 di Bandung, meski terasa sebagai 'konyol-konyolan', toh tak kurang HB Jassin sendiri (sebagai tertuduh dalam peristiwa sastra di Bandung itu) mengatakan bahwa pengadilan itu merupakan perangsang untuk menimbulkan kesungguhan dalam mencari kebenaran material.

Bahkan dalam tanggapan acara di Bandung, muncul beberapa makalah penanggap dari MS Hutagalung (Puisi Kita Dewasa Ini), Sapardi Djoko Damono (Catatan Atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Sukirnanto), dan pemikiran-pemikiran lain, yang kemudian semuanya itu dibukukan oleh Pamusuk Eneste dalam "Pengadilan Puisi". Sapardi menganggap keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima, karena keberadaan majalah Horison tidak ditentukan oleh Slamet Sukirnanto. Baginya, Slamet Sukirnanto adalah korban kekocakan Darmanto Jatman. Dan adalah kaitannya langsung, dua bulan setelah peristiwa itu, majalah sastra Horison membuat teks lengkap Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachrie.

Banyaknya pembicaraan dan netting buku kontroversial ini di internet, justru bisa dipakai sebagai bukti standar internasional mengenai top ranking issues itu. Bisa membola-liar dan membola-salju. Apalagi pertengkaran di dunia maya itu toh lebih merupakan soliloqui, karena hanya berbalas pantun dalam blog masing-masing. Bandingkan dengan Pengadilan Puisi yang kemudian mengantar pada fase itu, bagaimana majalah sastra Horison mengalami guncangan dan melakukan sedikit perubahan secara tidak langsung. Diskusi pada masing-masing blog, dengan masing-masing follower-nya, tentu saja tidak cukup sehat. Dan hal itu bisa kontra-produktif, karena siapa yang menengahi kalau masing-masing bicara sendiri-sendiri, tanpa mediasi?

Apresiasi sastra kita, semestinya bukan hanya menjadi urusan kaum sastrawan saja. Intinya, ganyang pembodohan masyarakat dari buku-buku bodoh, yang diterbitkan atas dasar nafsu yang juga bodoh. Baik yang pro dan yang kontra, bertemulah, dan carilah bersama sumber material kebenaran itu.
Pertanyaan terpenting saya cuma: Berapa duit dihabiskan untuk proyek penerbitan buku ini, untuk apa saja, dan darimana duitnya. Namun mendapatkan jawaban atau tidak atas pertanyaan itu: saya tetap menunggu, bagaimana polisi menangani kasus pelaporan kekerasan seksual atas mahasiswa sastra Jerman UI bernama RW, 29 November 2013 lalu, yang sampai kini senyap. Meski pun kalau tokoh sastra mengotori, saya juga belum bisa berharap polisi membersihkannya, apalagi dengan pasal pecemaran nama baik. Ta(b)ik!

Sumber: sunardian.blogspot.com

Penyair Lampung Fitri Yani Raih Hadiah Sastera Rancage 2014

Fitri Yani (Dok Pribadi)
Oyos Saroso HN/Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG--Fitri Yani, perempuan penyair asal Lampung berhasil memperoleh Hadiah Sastera Rancage 2014. Fitri Yani meraih Hadiah Sastera Rancage 2014 untuk kumpulan puisi berbahasa Lampung, Suluh.  Penghargaan sastra bergengsi itu menempatkan Fitriyani sebagai penyair perempuan pertama asal Lampung yang memperoleh Hadiah Sastera Rancage. Fitri berhak atas hadiah uang senilai Rp 5 juta.

Selama ini Hadiah Sastra Rancage diberikan kepada pihak yang memberikan perhatian besar terhadap perkembangan bahasa dan sastera ibu. Pada 2014 ini Hadiah Sastera “Rancage” 2014 diberikan untuk   sastera Sunda (yang  ke-26 kalinya), untuk sastera  Jawa (ke-21 kali), untuk sastera Bali (ke-18 kalinya) dan untuk sastera Lampung (keempat kalinya).

Selain untuk sastera  Lampung  untuk  sastera Sunda, Jawa dan Bali, Hadiah Sastera “Rancagé”  diberikan setiap tahun tanpa lowong. Artinya, Hadiah Sastera Rancage diberikan  setiap  tahun.  Dalam bahasa Lampung tidak setiap  tahun ada buku sastra berbahasa Lampung terbit,  sehingga Hadiah Sastera “Rancagé” tidak  bisa  diberikan setiap tahun.

“Tahun 2013 yang lalu terbit dua judul buku dalam bahasa Lampung, sehingga tahun ini ada Hadiah Sastera “Rancagé” untuk sastera Lampung,” kata Hawe Setiawan, salah satu panitia Hadiah Sastera Rancage 2014, di Bandung, Jumat malam (31/1/2014).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Sunda diberikan untuk buku kumpulan puisi Titimangsa: 68 Sajak Alit Karya Abdullah Mustappa. Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 untuk sastera Jawa diraih oleh Nono Warnono dengan kumpulan cerpen bahasa Jawa (cerkak) berjudul Kluwung. Untuk sastra Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2014 diraih I Wayan Westa untuk karya kumpulan cerita Tutur Bali

Selain Suluh karya Fitriyani, buku berbahasa Lampung terbitan 2013 yang diikutsertakan dalam Hadiah Sastra Rancage 2014 adalah kumpulan cerita berjudul Tumi Mit Kota  karya  Udo Z.Karzi dan Elly Dharmawanti .

Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Rancage, menilai kumpulan puisi bahasa Lampung karya Fitriyani itu memiliki warna lokal Lampung yang begitu mencolok.

“Hal itu membuatnya lebih lengkap sebagai  karya sastera Lampung. Bukan saja karena disajikan dalam bahasa Lampung melainkan   juga membicarakan perkara kelampungan. Tidak ada satu pun sajak yang dimuat dalam Suluh yang tidak mengandung warna lokal  Lampung, utamanya Lampung Barat. Dan warna lokal Lampung itu tidak hanya sekedar témpélan, melainkan sebagai unsur utama.  Judul-judulnya pun banyak yang membuktikan hal itu,” kata Ajip

Sebaliknya, menurut Ajip, kehadiran warna lokal Lampung  itu kurang nampak dalam cerita-cerita yang dimuat dalam Tumi mit Kota. Téma ceritanya banyak yang mengarah pada persoalan yang biasa kita jumpai dalam cerita péndék atau roman sastera Indonésia.

“Di samping itu cerita-cerita dalam Tumi Mit Kota tidak berhasil menggarap kisahannya agar memikat secara naratif. Belum sampai pada upaya bercerita yang bertolak  dari penggarapan konflik dengan memuaskan,” katanya.

Meski begitu, Suluh bukannya tanpa kelemahan. Namun, karena jenisnya puisi, maka penyair agak leluasa memanfaatkan berbagai cara membangun satuan-satuan makna, utamanya bait.

Suluh tersaji dalam banyak pola bait: satu larik sebait, dua, tiga, empat larik sebait, atau lebih.  Lain dari itu Suluh memberikan sejumlah métafora yang unik, barangkali  diambil dari khazanah puisi tradisional Lampung.

Panitia juga memberikan Hadiah Samsudi 2014 untuk  bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda. Di antara 42 judul buku Sunda yang terbit tahun 2013, ada  9 judul buku bacaan kanak-kanak dan remaja.  Peraih Hadiah Samsudi 2014 adalah Popon Saadah dengan karya berjudul Prasasti nu Ngancik na Ati.


Jalan Sanggau atau Kubangan Kerbau: Inilah Cara Anak Muda Menyindir Pemerintah yang Miskin


Bambang Satriaji/Teraslampung.com

JAKARTA--Indonesia sebenarnya kaya raya. Kekayaan alamnya melimpah ruah. Namun, akibat salah urus negara, kemiskinan masih merebak di mana-mana. Salah satu bukti bahwa negara Indonesia miskin adalah gencarnya kampanye anak-anak muda di dunia maya untuk mengumpulkan sumbangan Rp 1000 guna membangun jalan Sanggau, Kalimantan Barat yang kini hancur lebur bak kubangan kerbau.

Selain kampanye lewat instagram yang dilakukan Rohani Sawaliah--yang mentok di dinding Instagram Ibu Negara Ani Yudhoyono--sekelompok anak muda juga gencar kampanye di Twitter, Facebook, dan Kaskus. Dengan cukup kreatif mereka membuat banner dengan tulisan yang menohok, memakai huruf besar: "AYO BANTU PEMERINTAH YANG MISKIN", "PERCUMA BAYAR PAJAK!", "SUMBANGAN 1000 RUPIAH UNTUK PERBAIKAN JALAN KABUPATEN SANGGAU".

Mereka juga merekam lagu  yang menceritakan ironi di negeri ini. Lagu itu kemudian disebar di jejaring media sosial, termasuk di Youtube. Tentu, karena mereka bukan peserta audisi Indonesia Idol, maka jangan nilai kualitas suara vokalisnya. Yang penting pesan mereka sangat gamblang dan mengetuk pintu hati tiap orang yang mendengarnya.

Lagu segar bisa diintip di sini:

Karena Ibu Negara Tipis Telinga?

"Bangga: Dukung Gerakan Rp1.000 untuk Jalan Sanggau Diblock Ibu Negara?"

Oyos Saroso HN/Teraslampung.com

Instagram Ibu Ani Yudhoyono
BANDARLAMPUNG--Subjudul di atas merupakan tindak lanjut dari judul panjang Rohani Sawaliah, salah seorang relawan “Gerakan Rp 1.000 untuk Jalan Sanggau”, yakni sebuah gerakan untuk mengumpulkan sumbangan bagi perbaikan jalan Sanggau, Kalimantan Barat yang kondisinya lebih mirip kubangan kerbau.

Judul yang ‘agak aneh dan lucu’ itu rupanya sengaja dibuat Rohani untuk mempertegas bahwa dia akan terus melakukan gerakan mengumpulkan uang receh meskipun sempat dibuat kecewa oleh ‘ulah’ Ibu Negara Ani Yudhoyono. Judul itu sengaja dibuat seolah ingin ‘mencolok mata’ publik. Setidaknya membuat pembaca di dunia maya penasaran lalu mengikuti isu kampanye yang sedang Rohani dan kawan-kawannya gulirkan.

Teraslampung.com termasuk yang penasaran. Setelah membaca tulisan panjang Rohani, teraslampung.com akhirnya tahu bahwa gerakan mulia yang dilakukan Rohani Sawaliah lewat akun instagram @honeylizious mentok, membentur tembok akun instagram Ibu Negara Ani SBY (aniyudhoyono).

Rupa-rupanya ketika Ibu Negara disodori tulisan faktual berikut gambar-gambar jalan yang menyerupai kubangan kerbau, dengan lumpur kecokelatan, dan ada mobil berendam—Ibu Ani justru mengeblok akun @honeylizious.

Diblok orang sangat penting di negeri ini, Rohani tidak kehabisan akal. Ia mengaku tidak marah. Rohani bukanlah 'sekelas' anak baru gede yang mengumbar curhat di dunia maya. Ia tetap berusaha agar kampanyenya makin luas.Kalaupun membentur tembok keras ya ambil strategi lain. Toh ia merasa yang dia lakukan demi kepentingan publik, utamanya masyarakat Sanggau, Kalimantan Barat.

Maka, Rohani pun tetap berkampanye untuk mengumpulkan uang Rp 1.000 dari dermawan yang peduli. Rohani dan kawan-kawannya kemudian ber-cas-cis-cus di media sosial kaskus.com dan Twitter. Rohani juga berkampanye lewat situs pribadinya (http://www.honeylizious.com). Tidak lupa foto-foto menarik yang menggambarkan kondisi jalan tetap dipasang. Juga ada banner bertuliskan “AYO BANTU PEMERINTAH YANG MISKIN”.

Banner itu tentu saja sindiran keras kepada pemerintah yang selama ini dianggap abai terhadap kepentingan publik, dalam hal ini jalan utama di Sanggau, Kalimantan Barat.

Merespons ajakan Rohani, Anda, para pembaca budiman, bisa menyumbang Rp 1.000. Lebih pun pasti akan diterima dengan baik. Agar lebih jelas, bisa ikuti tulisan menarik Rohani Sawaliyah berikut ini:

"Bangga: Dukung Gerakan Rp1.000 untuk Jalan Sanggau Diblock Ibu Negara?"
Jangan tanyakan mengapa judulnya demikian karena sebenarnya saya sama sekali tak marah beliau yang cantik itu memblokir akun instagram @honeylizious saya. Cerita awalnya sih sederhana. Tidak rumit. Seperti yang teman-teman tahu sejak 2013 kemarin saya selalu mendukung Gerakan Rp1.000 untuk Jalan Sanggau. Entah sudah banyak yang tahu belum tentang jalan di wilayah timur Kalimantan Barat yang pernah mulus 40 tahun lalu. Sekarang sudah bertahun-tahun hancur lebur semakin hancur lagi setiap harinya. Karena tak ada perbaikan tapi kendaraan terus melintas. Kendaraan yang membuat jalannya rusak tentu saja yang mengangkut barang tambang dan hasil perkebunan. Beratnya bisa mencapai puluhan ton.

Jalan lintas negara yang menjadi penghubung negara Indonesia dan negara tetangga Malaysia tak juga diperbaiki setelah sekian tahun rusak parah. Saya jadi kesal melihat berita di televisi yang menayangkan jalan pantura yang rusak. Hanya berlubang sedikit. Macet tak seberapa. Tapi dibahas terus-menerus sampai pemerintah menggelontorkan dana mencapai angka triliyun. Bagai bumi dan langit dengan jalan di wilayah timur Kalimantan Barat yang bertahun-tahun tak juga mulus. Masyarakat sudah sangat bersabar. Truk amblas sudah biasa. Berjam-jam bahkan berhari-hari di perjalanan bukan hal yang baru lagi. Mengalaminya setiap hari. Melihatnya setiap hari.


Wajar jika kemudian masyarakat Kalimantan Barat memutuskan untuk berusaha. Setidaknya mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk memperbaiki jalan tersebut. Jalan lintas negara yang sebenarnya kewajiban negara memperbaikinya. Karena gubernurnya tak kunjung memperbaikinya tentu saja bukan hal keliru untuk menyampaikannya langsung pada presiden. Toh sama-sama penguasa negeri ini bukan? Apalagi mengingat janji gubernur yang pernah mengatakan akan membuat jalan tersebut mulus. Pada kenyataannya jalan itu semakin hancur lebur.


Lalu saya ngetwit untuk menunjukkan pada orang di luar Kalimantan Barat sana mengenai hancurnya jalan lintas negara di provinsi kami. Bahwa jalan kami jauh lebih hancur dari jalan yang baru saja rusak dan tak henti-hentinya diliput di televisi. Kemudian ada saran dari teman untuk mensyen Bapak Negara tercinta kita di twitter. Berkali-kali saya unggah foto-foto jalan di wilayah timur Kalimantan Barat. Tapi teman lain mengingatkan bahwa akun tersebut bukan hanya dipegang oleh Bapak Negara SBY tetapi juga ada admin khususnya. Sehingga belum tentu berita yang saya sampaikan akan terdengar ke telinga beliau.

Jadi pindah ke sosial media yang lebih dekat dengan Ibu Negara kita @aniyudhoyono di instagram. Menggunakan tagar #KepadaIbuNegara saya mengunggah beberapa foto yang harapannya beliau share ke media sosial miliknya. Setidaknya menunjukkan bahwa beliau peduli dengan Kalimantan Barat. Bahwa beliau mengakui Kalimantan Barat itu bagian dari negara kita tercinta ini Indonesia. Alih-alih dibagikan ke akunnya, harapan saya terlalu tinggi jika berharap beliau akan mendukung Gerakan Rp1.000 untuk Jalan Sanggau, saya diblokir padahal belum satu jam mengikuti akun miliknya.

Ngeblokir tanpa kata itu bisa banyak maknanya lo Bunda Ani yang cantik. Bisa seperti ini maknanya.

“Jalan Kalimantan Barat bukan urusan saya.”
“Ibu Gubernur dan Ibu Wakil Gubernur-nya ke mana? Kok saya yang dimarahi?”

Melalui tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya sama sekali tidak marah kepada Bunda Ani yang cantik. Saya hanya berharap Bunda sekali-kali mau mampir ke wilayah timur Kalimantan Barat dan mengambil foto-foto jalan lintas negara di sini. Siapa tahu dengan memasukkannya ke akun instagram bunda, gubernur Kalimantan Barat terketuk hatinya untuk memperbaiki jalan tersebut.

Masyarakat yang tinggal di wilayah timur Kalimantan Barat tidak pernah demo lo Bunda kalau harga BBM dinaikkan. Tidak dinaikkan pun harga BBM di sana sudah selangit. Soalnya mobil pembawa BBM ke wilayah mereka kadang amblas di tengah jalan. Kalau sudah terbalik dan minyak tak tiba di tujuan, dapat dipastikan langkanya BBM mengakibatkan jalan semakin rusak parah. Bahkan tak jarang mereka tak kebagian BBM bersubsidi. Ah jangankan berharap kebagian BBM bersubsidi. BBM tanpa subsidi saja sulit didatangkan ke tempat mereka.
 

Sekalian juga berharap dengan bantuan akun Bunda Ani Yudhoyono yang cantik di instagram bisa mengetuk hati banyak calon presiden yang selalu pasang muka di televisi mau kampanye di Kalimantan Barat dengan mendukung Gerakan Rp1.000 untuk Jalan Sanggau. Karena jalan inilah yang menjadi pintu gerbang negara kita menuju jalan mulus negara tetangga di Malaysia.

Sumber: http://www.honeylizious.com

Soal Pencapresan, Aher Mengaku tak Ambisius

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
JAKARTA, teraslampung.com--Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan (Aher) mengaku tidak akan ambisus dalam mengejar tiket Capres 2014. Namun jika PKS memutuskannya sebagai Capres maka dirinya akan siap bertarung di 2014.

"Kalau ditugaskan ya tentu harus siap. Waktu itu di Pilgub Jabar 2008 ditugaskan juga saya siap. 2013 ditugaskan lagi maju lagi. Ya seperti itu," ujar Heryawan di Kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Jumat (31/1/2014).

Menurutnya, sejak awal dirinya tak pernah mengetahui atau berhasarat maju sebagai Capres. Namun dalam Pemilihan Raya (Pemira) dirinya masuk sebagai tiga besar kandidat Capres PKS.

Aher mengatakan, dalam proses Pemira ini masing-masing kandidat tidak diperbolehkan untuk melakukan kampanye atau melakukan pertemuan dengan kader-kader untuk meminta dukungan di Pemira.

"Saya kira dengan mekanisme seperti itu kan enak. Ambisi kita juga ada tapi dibatasi," imbuhnya.

Dia menjelaskan, dalam proses Pemira ini tak menggangu tanggungjawabnya sebagai Gubernur Jabar, sebab tugas-tugasnya di Jabar tetap dijalankan meski dirinya masuk dalam kandidat Capres.

"Tentu mekanisme pemerintahan di Jawa Barat tidak harus terganggu. Nanti juga tidak akan terganggu. Kalau sampai jadi. Kalau tidak ya balik lagi Jawa Barat. Normal lagi. Aman-aman saja," tandasnya.[rol]

Dua Pencuri Motor Babak Belur Dihajar Massa

Priyo Santoso/Teraslampung.com

LAMPUNG TIMUR—Dua orang terduga pencuri motor babak belur setelah tertangkap dan dihajar warga beramai-ramai di Desa Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur,  Jumat (31/1). Joni, salah seorang di antaranya kini masih dirawat di Puskesmas Labuhan Maringgai. Sementara seorang lagi, Andre, 32, kini ditahan di Polsek Labuhan RSUD Labuhan Maringgai.

Joni, 28 tahun, warga Desa Munjuk, Desa Labuhan Maringgai, Lampung Timur, mengalami luka akibat hantaman benda tumpul dan bacokan senjata tajam sempat dirawat di Puskesmas.  Namun, karena kondisinya kritis, ia kemudian dibawa ke RSUD Lampung Timur.

Andre hanya mengalami luka lebab. Ia berhasil diselamatkan polisi ketika ratusan massa mengepungnya di lokasi kejadian.

Dari keterangan korban Kusnandar, diketahui  dua pelaku pencuri ini berusaha mengambil motor Syahrudin (anak Kusnandar), Jumat dini hari sekitar pukul 02.30 WIB.

Menurut Kusnandar para pelaku mencongkel jendela rumah kemudian berusaha membawa sepeda motor yang ada di ruang tengah. Aksi pencuri itu diketahui saat Kusnandar hendak melakukan solat malam.

Kusnandar kaget melihat pintu rumah terbuka sementara motornya tidak ada. Kusnandar kemudian membangunkan anaknya dan berteriak ada maling. Dibantu warga, korban berusaha mengejar pencuri motornya.

Kapolsek Labuhan Maringgai Komisaris Polisi Zulman Topan mengatakan kedua pelaku ditangkap saat sedang berusaha menghidupkan mesin motor milik korban. Menurut Kompol Zulman pelaku ditangkap warga ketika sedang bersembunyi kebun sawit di perbatasan Desa Sukorahayu dengan Desa Karanganyar.

Polisi kini menyita satu unit sepeda motor korban Yamaha Vixion BE- 4104- NT. Polisi menduga masih ada pelaku lainnya yang kabur.

Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" dan Filosofi Angka 8

Restoe Prawironegoro Ibrahim*

Membaca apa yang terjadi saat ini, yaitu sebuah polemik tentang pengangkatan tokoh “sastrawan” yang kiprahnya sangat berpengaruh di awal tahun 2014 ternyata menghasilkan pro dan kontra yang heboh, sejak munculnya sebuah buku yang bertajuk 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh karya Tim “Delapan”.

Tulisan ini sekiranya – maaf – tidak ingin melangkahi ataupun menggurui, hanya ingin menjembatani saja apa yang saya baca dengan data-data di media sosial maupun cetak. Memahami wacana permasalahannya ini, saya ingin berawal dari tulisan angka “8” yang disebut-sebut sebagai “Tim Sukses” pembuat  peluncuran buku tokoh sastrawan berpengaruh.

Secara filosofis angka 8 (delapan) memiliki banyak arti dan kelebihan sekali. Angka ini diyakini sebagai angka sebuah keberuntungan, tanpa mengesampingkan sang pencipta angka ini. Angka 8 menyimpulkan ada 2 (dua) lingkaran yaitu putih dan hitam dan menyimbolkan 2 (dua) perbedaan pula, antara positif dan negatif.

Tahun 2014 ini keberuntungan ada di tangan Denny JA. Nah, dari Tim 8 akhirnya memilih yang positif dan negatif, ini yang menjadi kontroversial publik di kalangan sastrawan. Keberuntungan yang berada pada nama Denny JA  berakhir negatif,  dalam peluncuran buku tersebut.

“Pemilihan 33 tokoh sastra ini mencoba menjawab pertanyaan  dan keraguan masyarakat umum tentang peranan sastra dalam kehidupan. Semua tokoh yang terpilih di sini  menunjukkan kiprah mereka,” ujar Ketua Tim 8, Jamal D  Rahman. (Media Indonesia, "Menjadi Tokoh Sastra Berpengaruh", 12 Januari 2014, hal. 11).

Dari komentar di atas seharusnya Tim 8 bisa mengangkat sastrawan-sastrawan yang proses kekaryaannya masih mempunyai nilai syarat keorsinalan (baru) yang sampai sekarang ini sangat berpengaruh sekali. Kenapa harus membicarakan lagi karya sastra yang sudah “usang”, seperti Kwee Tek Hoay, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijin Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Rendra, NH Dini, Arifin C Noor. Nama-nama ini kan sudah cukup mapan di mata pelajaran sekolah SMA maupun tingkat tinggi.

Mereka sudah banyak yang tahu kalau karya-karyanya sangat berpengaruh dalam kiprahnya. Bagaimana Arifin C Noor bikin naskah teater dan filmnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya, Pramoedya Ananta Toer dengan novel-novel mutakhirnya yang hebat, itu semua sudah lama sangat berpengaruh dalam kancah pendidikan yang sudah diajarkan di bangku sekolah SMA maupun perkuliahan.

Coba tokoh-tokoh tersebut diganti dengan tokoh sastrawan cukup berpengaruh, misalnya Seno Gumira Ajidarma, Gerson Pyok, Jacob Sumardjo, dan lain-laian. Agar tokoh-tokoh sastrawan muncul kembali di seantero nusantara. Ini proyek yang sangat berani dari penyusun Tim 8 menentukan tokoh sastrawan yang berpengaruh, padahal banyak sekali sastrawan yang hebat di Indonesia ini.

Dwicipta, dengan tiba-tiba namanya nongol kembali, ia menghantam habis lewat opininya mengomentari  tentang soal buku yang beredar awal Januari 2014 itu, ia menuntut keras  penarikan dari peredaran buku 33 Tkoh, agar ditarik saja, tapi juga pertanggungjawaban yang memadai dari Tim 8, tulis Dwicipta. Tindakan Tim 8 ini menciptakan kebohongan publik, juga makin menguatkan sinyalemen tunduknya ideal-ideal sastra pada kekuatan kapital dan ambisi sosial yang kebablasan dari pihak-pihak tertentu yang ingin memaksakan kepentingannya  di dunia sastra Indonesia (Jawa Pos, "Tokoh Sastra Paling Berpengaruh", 12 Januari 2014).

Menurut analisis saya, apa yang ditulis oleh Dwicipta, bahwa lahirnya “para intelektual pengkhianat”, berarti kita jangan menyalahkan sosok Denny JA sebagai korban dalam buku tersebut, yang disebut-sebut sebagai sastrawan berpengaruh. Denny JA sendiri menulis di media sosial mengatakan, “Saya ini cuma seorang pejalan budaya.Tak pernah menetap dan menjadi tuan rumah di satu wilayah budaya. Saya hanya datang berkunjung, belajar sesuatu di sana dan juga 'menyumbangkan sesuatu."

Hal semacam ini mari kita sadari bersama-sama, meskipun Denny JA berperan dalam hal asumsi pendanaan (keuangan), gak mungkinlah dia (Denny JA) akan mengeluarkan sinyalemen yang akan membuat Tim 8 merasa ketakutan agar namanya bisa dimasukkan ke dalam susunan 33 tokoh tersebut. Cobalah kita berpikir secara sehat, Denny JA seorang politikus yang sukses yang tidak pernah publik tahu atas karya-karya sastranya seperti apa. Cuma saya sempat baca puisi esainya yang “Atas Nama Cinta”, itupun bagi saya hanya  “nostalgia” rekuntruksi yang ditulis oleh beliau,  sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 13. Di mana Denny JA merangkaikan permasalahan itu menjadi 5 (lima) kasus dan berakhir dengan angka 13. Peristiwa tentang "Saputangan Fang Yin" ada 13 episode, Romi dan Yuli dari Cikeusik (13 episode), "Bunga Kering Perpisahan" (12 episode), "Minah Tetap Di Pacung" 11 epsiode, dan terakhir "Cinta Tentang Batman dan Robin" ada 13 episode.
  
Membaca dan menyimak puisi-puisi Atas Nama Cinta, sebagai karya sastra saya tidak mendapatkan apa-apa sama sekali dari pemaknaan hasil karya sastra Denny JA yang metamorfosa itu. Saya tidak menemukan kesegaran pandangan yang diorientasikan sebagai subyek terpenting. Hanya sebuah puisi yang mengandung kegelisahan kehidupan saja waktu itu.
    
Mustafa Ismail pun, menilainya gaya puisi Denny JA dari aspek puitikalnya masih perlu dibereskan. Tentang kekuatan puisi bukanlah di catatan kaki yang ditulis oleh Denny JA akhir dari sebuah peristiwa, ini akan mengurangi kosentrasi dan kenikmatan pembaca, tulisnya di media sosial Info Sastra.
  
Bahwa karya sastra (puisi) merupakan totalitas cara bercita rasa, pelembagaan serta pemberian makna terhadap hidup. Maka, sebagai konsekuensi logisnya, semua karya sastra termasuk puisi Denny JA perlu dihayati oleh setiap pencipta dalam melihat realita sehari-hari.
    
Saya tidak tahu bagaimana komentar dari Saut Situmorang yang ditulis oleh Firman Venayaksa, yang tiba-tiba mengatakan bahwa buku itu adalah sampah yang banyak berisi dusta sejarah atau yang bertujuan memanipulasi sejarah harus dibakar dan dilarang (Koran Tempo, "Rekayasa Sastra",  9 Januari 2014). Yang mengejutkan kiprah nama Denny JA dimunculkan dianggap tokoh sastra dan berpengaruh?
  
Mari kita sama-sama menggairahkan kesusastrawan kita tanpa berdunia politik sebagai kekuatan kapitalis dalam bersastra yang sampai saat ini seperti mati tenggelam di masyarakat  penikmat sastra, kalau hal ini terus menjadi kesenjangan di antara para sastrawan Indonesia kapan sastra akan bangkit seperti di zaman-zaman Chairil Anwar, AA Navis dengan karya-karyanya yang sangat megah dan konroversial. Semua orang banyak mengenal nama itu sebagai tokoh  sangat berpengaruh sekali dalam karya sastranya.
  
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan perdebatan ini akan berakhir kalau kita tidak belajar kepada Seno Gumira Ajidarma, lewat karya-karyanya yang sangat luar biasa dan berpengaruh sekali. Kapan kita mau tahu nama  Benny Arnas dengan sangat lugas membongkar peradaban kehidupan zaman sekarang. Dan sederet sastrawan-sastrawan yang muncul di permukaan bumi pertiwi Indonesia ini.
  
Masih banyak sastrawan-sastrawan hebat dan beliau masih hidup dan jangan dipinggirkan oleh kalangan-kalangan tertentu yang seharusnya diangkat ke dunia lebih meluas. Ternyata kehebatan, kepinteran seseorang hanya bisa bertukar dengan nilai kekuatan kapitalisme yang bisa menghancurkan sastra itu sendiri.
  
Kalau sudah begitu, apalagi yang dibutuhkan agar kita tetap bertahan dan berpredikat yang terlanjur dimiliki sastrawan kini sebagai “Tokoh Sastra Yang Berpengaruh di Indonesia”, asal kita jangan “berkiblat” dengan lahirnya rekayasa sastra 2014.***

*Cerpenis, penyair

Mereka Ingin Cepat Menikah

CERITA DARI LAPANGAN

Fernanda Gunsan Putra
Program KKNM (Kuliah Kerja Nyata Mahasiswa) UNPAD 2014 telah memasuki minggu ketiga dari total empat minggu yang diwajibkan bagi mahasiswa untuk melaksanakannya. Sebagai salah seorang mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris, pedoman saya dan kawan-kawan untuk terjun ke desa adalah buku Pedoman KKNM Unpad. Berdasarkan buku tersebut, di lokasi KKNM saya dan kawan-kawan kemudian mengidentifikasi kelayakan fasilitas sekolah, sumber daya pengajarnya, serta akses para pelaku kegiatan belajar mengajar menuju sekolah.

Untuk mendapatkan informasi tersebut, saya dan beberapa rekan dari jurusan lain menemui beberapa kepala sekolah dari tiap sekolah dasar yang ada di Desa Sirnasari, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya.

Beberapa latar belakang pendidikan tenaga pengajar di sini cukup baik. Bahkan, di antaranya ada yang yang lulusan universitas favorit dan lulus S2. Kelas-kelas di sekolah juga semuanya layak pakai. Namun, sayangnya masih banyak prasaran sekolah yang kurang. Salah seorang kepala sekolah SD, misalnya, mengeluhkan fasilitas sekolah seperti perpustakaan yang masih belum tersedia. Juga kurangnya ruangan kelas.  Jumlah ruang kelas tidak sebanding dengan jumlah siswa yang ada, sehingga memaksa pihak sekolah untuk mengadakan jadwal kelas siang hari.

Kami mengajukan cukup banyak pertanyaan kepada para kepala sekolah. Salah satunya adalah tentang tingkat putus sekolah di sini. Mereka mengatakan bahwa semua lulusannya melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA. Sayangnya kami tidak mendapat kesempatan untuk mewawancarai kepala sekolah SMP dan SMA.

Mengingat hal tersebut, di rumah kontrakan tempat saya tinggal terdapat beberapa anak SD di sini yang sering berkunjung untuk diajari bahasa Inggris dan matematika.  Empat orang anak tersebut adalah Andi, Yuza dan si kembar Budi dan Badu (nama disamarkan).  Mereka merupakan teman satu permainan dan berasal dari satu sekolah dasar yang sama, tetapi dari tingkatan kelas yang beda-beda.

Andi siswa kelas 3 SD, Yuza kelas 6, sedangkan Budi dan Badu kelas 5 SD. Saya sedikit heran khususnya pada si kembar Budi dan Badu. Mereka ternyata memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang lebih rendah dibanding dengan Andi. Padahal, Andi masih duduk di bangku kelas 3. Budi dan Badu  juga tidak sepintar Andi ketika belajar matematika.

Begitu pula dengan bahasa Inggris. Kosa kata dan konstruksi kalimat sederhana yang saya berikan sesuai dengan materi pada buku sekolah sangat sulit dipahami siswa kelas 5 tersebut. Mereka berempat sangat sulit untuk menangkap materi pelajaran khususnya bahasa Inggris walaupun materi yang saya berikan sudah sesuai dengan buku sekolah yang mereka bawa. Hal ini saya rasa memang tidak heran mereka alami karena cara mengajar guru mereka dan keadaan budaya di sini.

Sehari-harinya mereka berempat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Lalu bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah dalam kegiatan belajar mengajar, baru kemudian bahasa Inggris. Sebagai bahasa ketiga yang harus mereka pelajari, tak mengherankan jika anak-anak itu mengalami kesulitan. Sebab, para guru mereka di sekolah pun tak jarang menggunakan bahasa Sunda dalam menyampaikan materi pelajaran. Alasannya, menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar memberikan pelajaran di sekolah lebih mudah. Itu pula yang membuat saya dan kawan-kawan sangat sulit mengajari mereka bahasa Inggris.

Ketika saya sudah menerjemahkan sebuah kosa kata ke dalam bahasa Indonesia, mereka belum tentu dapat memahaminya. Saya terpaksa meminta bantuan teman untuk menerjemahkannya bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia agar mereka tahu maksunya.

Di samping mengajar, saya melakukan survai dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mereka tentang jenjang studi setelah lulus SD. Mereka mengaku bahwa akan melanjutkan ke SMP kemudian ke SMA dan langsung menikah setelah lulus. Saya kaget mendengarnya. Soalnya, jawaban itu meluncur dari mulut empat orang anak SD!

Yang membuat saya tambah terkejut, jawaban itu diucapkan secara yakin. Mereka tidak diajari orang tuanya untuk memberikan atau siapa pun untuk punya jawaban seperti itu. Mereka bilang tidak ingin repot-repot kuliah karena mahal dan tidak ada biaya. Toh kalau sudah lulus SMA bisa lebih mudah langsung menikah.

Saya beberapa kali menjelaskan dan membujuk mereka untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke universitas. Maksudnya, biar anak-anak itu kelak bisa mengangkat derajat kesejahteraan keluarganya. Setidaknya cakrawala pandangnya biar lebih terbuka. Namun, saya dibuat tidak berkutik ketika mereka memberikan contoh tetangga-tetangga mereka yang tetap berpenghasilan layak walaupun tidak kuliah. Berbagai tawaran seperti beasiswa dan pemaparan fasilitas gratis di beberapa kampus di Indonesia telah saya berikan kepada mereka. Namu, mereka bergeming: tetap ingin cepat menikah setelah kelak lulus SMA!

Saya rasa pendidikan di Desa Sirnasari, mungkin di Kabupaten Tasikmayala secara umum, harus lebih diperbaiki lagi. Mulai dari kurikulum pelajaran, penggunaan bahasa dalam kegiatan belajar mengajar, dan motivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dengan adanya motivasi diharapkan cakrawala pikir para siswa tingkat lanjutkan itu menjadi lebih baik dan mau melanjutkan ke pendidikan  yang lebih tinggi. Dengan begitu, diharapkan nantinya akan lahir generasi baru yang jauh lebih baik dibanding para orang tua mereka yang rata-rata menikah pada usia dini.


Pelaku Mengaku tidak Hanya Sekali Membuang Pasien

Mbah Edi ditemukan setelah dibuang petugas rumah sakit (dok lampost)
Mas Alina dan Siti Qodratin Aulia/Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG--
Pasca-tertangkapnya lima pelaku pembuang pasien RSUD Dadi Tjokrodipo Bandarlampung, 30/1 lalu, polisi kini fokus mengungkap otak pelaku pembanguan kakek bernama Suparman bin Sariun alias Mbah Edi (67).

Kakek ringkih dan sakit itu dibuang di sebuah pos ronda. Tak lama kemudian Mbah Edi meninggal setelah sempat dirawat di RSU Abdoel Moeloek Bandarlampung.

Polisi kini juga menyelidiki pejabat RSUD Dadi Tjokrodipo, yang diduga memerintahkan lima orang untuk membuang Mbah Edi. Lima ‘orang dalam’ RSU Dadi Tokrodipo dicokok polisi di tempat berbeda. Mereka yang ditangkap di tempat kerja adalah Rika Aryadi, Andi Febrianto, Andika, dan Rudi Hendra Hasan diciduk di RSUDDT Bandarlampung. Sementara Muhaimin, ditangkap polisi di rumahnya di Bandarlampung.

Kelima pelaku pembuang pasien hingga meninggal itu semula bungkam dan tidak mau menyebut orang yang menyuruh membuang pasien. Setelah polisi melakukan pemeriksan intensif akhirnya mereka ‘bernyanyi’ dan mengaku disuruh oleh M.

Kepada polisi Rika Aryadi dan Muhaimin mengaku diperintah M untuk membuang pasien tua yang dinilai merepotkan. Rika Aryadi dan Muhaimin kemudian dua petugas kebersihan rumah sakit dan dan juru parkir untuk mengangkat dan membuangnya ke sebuah gubuk di Jl. Raden Imba Kusuma, Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat, Bandarlampung.

 “Mereka mengaku bukan kali ini saja membuang pasien. Mereka lupa jumlah pasien yang dibuang, namun mereka mengaku baru seorang kakek itulah yang meninggal setelah dibuang,” kata Kepala Satuan Reskrim Polresta Bandarlampung Komisaris Polisi Dery Agung Wijaya,  Jumat (31/1).

Selain menangkap lima pelaku, polisi juga menyita mobil ambulans  BE 2427 AZ yang digunakan membuang Edi. Termasuk menyita rotator yang disembunyikan di gudang.

Mundur, Gita Wirjawan Memang Jantan!

Gita Wirjawan (Dok Kompas)
Bambang Satriaji/Teraslampung.com

JAKARTA--Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan, Jumat (31/1/2014). Gita akan kosentrasi maju sebagai calon presiden dari Partai Demokrat melalui arena konvensi yang digelar partai berlambang mercy itu.

"Saya akan mengundurkan diri dari posisi saya, efekfif  31 Januari 2014. Ini tentu sudah saya sampaikan ke Pak Presiden," kata Gita Wirjawan, Jakarta, Jumat (31/1/2014).

Gita mengaku keputusannya untuk mengundurkan diri sebagai menteri Kabinet Indonesia Bersatu itu sudah mendapat restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepada Presiden SBY, Gita memberi alasan ingin fokus di dunia politik.

Menurut Gita, ia sudah pernah mengajukan pengunduran diri kepada Presiden SBY pada 2013, yaitu setelah dirinya ikut konvensi Partai Demokrat. Saat itu Gita beralasan mau mengundurkan diri agar tidak ada benturan antara jabatan yang disandangnya dan posisi dia sebagai peserta konvensi.

Gita mengaku pengunduran itu didasarkan pada keyakinan dan kesadaran etis karena akan ada benturan kepentingan jika dia tetap menjabat sebagai menteri sementara dia juga maju sebagai peserta konvensi Partai Demokrat.

Pengundurun diri Gita mendapat sambutan positif dari publik. Sejumlah pemilik akun di media sosial menilai sikap Gita sebagai fatsoen politik yang bagus sekaligus menunjukkan pemilik koran Jurnas itu bersikap jantan.

Selain Gita Wirjawan, menteri yang ikut konvensi Partai Demokrat adalah Menteri Negara BUMN Dahlan Ikan.Sejauh ini belum ada sinyal bos media grup Jawa Pos itu akan mundur sebagai menteri.

Kakek Renta Meninggal Setelah Dibuang: Siapa Aktor Utamanya?

Kakek Edi (780 saat ditemukan warga (Dok Lampost)
Siti Qodratin Aulia/Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG--Teka-teki pembuangan kakek di Bandarlampung mulai terkuak. Polisi dari Polsek Tanjungkarang Barat dan Polrestas Bandarlampung, Kamis (30/1) berhasil mencokok lima pelaku biadab yang membuang seorang kakek di sebuah gardu tewas. Seperti kecurigaan publik sebelumnya, para pelaku adalah ‘orang dalam’ RSUD Dadi Tjokrodipo Bandarlampung.

Kelima pelaku adalah Rika (perawat), Andi (petugas kebersihan), Dika (petugas kebersihan), Rudi (tukang parkir), dan Muhaimin (sopir). Mereka ditangkap saat bekerja. Setelah diperiksa, kelimanya ditahan di Polresta Bandarlampung.

Kasus pembuangan kakek terjadi Senin lalu (20/1). Sejumlah saksi mengatakan para pelaku mengendarai mobil ambulans pelat merah bernomor polisi BE 2472 AZ untuk membuang kakek nahas itu. Mobil itu diketahui sebagai milik RSUD Dadi Tjokrodipo. Namun, pejabat Pemkot Bandarlampung sempat membantah bahwa ada mobil inventaris bernomor polisi yang sama dengan mobil yang dipakai membuang kakek malang.

Kakek renta dalam kondisi sakit itu semula sempat dianggap gelandangan. Belakangan diketahui bahwa kakek berusia 78 tahun itu adalah Edi Suparman bin Sariun alias Mbah Edi atau Mbah Darmo. Belum jelas kenapa Mbah Edi dibuang.

Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Bandarlampung Komisaris Polisi Derry Agung Wijaya mengatakan pihaknya masih mendalami kemungkinan adanya ‘aktor lain’ yang menyuruh pelaku membuang kakek malang itu. Menurut Derry saat dibuang di sebuah gardu du daerah perbukitan Sukadanaham Bandarlampung, kakek tersebut mash hidup tetapi keadaannya mengenaskan. Dua hari kemudian kakek tersebut meninggal.

Saat ditemukan, Mbah Edi dalam kondisi sangat lemah dan tidak bisa bicara. Di lengannya masih ada bekas tusukan jarum infus. Kakinya masih terlilit perban putih.

Humas RSUD Dadi Tjokrodipo, Heriansyah, tidak membantah bahwa Mbah Edi adalah salah satu pasien rumah sakit milik Pemkot Bandarlampung itu. Namun Heriansyah mengaku tidak ada perintah dari petugas atau pemimpin rumah sakit untuk membuang pasien itu.

Menurut Heriansyah pada malam sebelum kejadian pihak rumah sakit sudah merujuk Mbah Edi untuk dirawat di RSU Abdoel Moeloek (RS milik Pemprov Lampung). Alasannya, Mbah Edi mengalami gangguan kejiwaan sementara pihak RS Dadi Tjokrodipo tidak memiliki dokter ahli jiwa.

Lomba Menulis Opini Tingkat SMA se-Lampung tanpa Ada Juara

WAY KANAN—Dewan juri lomba menulis opini "Menuju Masyarakat Melek Anggaran" bagi pelajar SMA sederajat di Provinsi Lampung memutuskan tidak ada dalam perlombaan tersebut. Lomba yang diselenggarakan PC GP Ansor Kabupaten Waykanan dan Komisi Informasi Lampung itu diharapkan mendorong transparansi anggaran itu.

"Semua peserta belum paham bagaimana mengungkapkan pikiran untuk tulisan opini atau karya ilmiah populer. Hampir seluruh peserta melakukan copy paste bahan dari Google," ujar Ketua Dewan Juri lomba bertema "Perlunya APBN/APBD Terbuka untuk Publik" itu, Oyos Saroso HN, di Bandarlampung, Jumat (31/1).

Namun demikian, Oyos mengatakan para siswa SMA yang menjadi peserta lomba tidak bisa disalahkan. Sebab, kata dia, sistem pendidikan kita memang tidak memberikan kesempatan para siswa SMA sederajat untuk merangsang siswa mengungkapkan gagasan.

“Mungkin juga karena siswa SMA tidak pernah mendapatkan pelajaran atau contoh menulis yang baik dari gurunya," katanya.

Menurut Oyos banyak peserta yang hanya merangkum pendapat orang lain atau merangkum berita yang sudah diketahui umum.

"Tidak ada hal baru. Tidak ada pemikiran atau ide baru yang dituangkan dalam bentuk tulisan," kata dia.

Juri lainnya, Juniardi, Ketua Komisi Informasi Lampung, menyatakan karya-karya yang dikirim tidak ada yang sempurna memenuhi kriteria sebagai sebuah opini.   Sebagian besar peserta hanya mengumpulkan pendapat-pendapat dan merangkumnya menjadi sebuah artikel.

“Jujur, saya kesulitan menilainya dari kriteria ditetapkan, seperti relevansi karya dengan tema, kesatuan, pemakaian bahasa dan kedalaman isi," ujar Juniardi, yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung itu.

Juri lain, Ketua AJI Bandarlampung Yoso Muliawan, juga menyatakan karya-karya peserta yang dikirim oleh sejumlah pelajar dari sekolah di Provinsi Lampung masih copy paste.

"Beberapa karya dikirim menyadur dari google sekitar 30 hingga 50 persen tanpa menyebutkan sumber. Ada juga model penyaduran dengan copy paste tanpa mengubah redaksional," kata Yoso.

Ketiga juri sepakat tidak ada peserta yang layak menjadi pemenang lomba. Namun demikian, untuk menghargai semangat pelajar mendorong transparansi anggaran, panitia sepakat memberi setiap peserta sertifikat dan buku.

"Sertifikat dan buku yang Insya Allah nominalnya lebih dari uang pendaftaran sebagai apresiasi panitia dan penyelenggara atas semangat peserta bisa diambil di Komisi Informasi Provinsi Lampung, jalan Basuki Rahmat nomor 29, Telukbetung Utara, Senin 10 Februari 2014," kata Gatot Arifianto, ketua panitia lomba. (RLS)

Gola Gong: Dunia Ada di Genggaman Tangannya

Oyos Saroso H.N.


"Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.“

Kalimat yang dilontarkan oleh pengarang besar W. Somerset Maugham itu seolah menjadi “mantra” bagi Heri Hendrayana Harris alias Gola Gong. Kang Gola—begitu ia akrab disebut—ketika masih duduk di bangku SMA pada tahun awal 1980-an menjalankan “mantra” W. Somerset Maughum dengan banyak membaca, terutama buku-buku tentang kisah petualangan.

Sejak masih duduk di bangku SD, Gola Gong sudah membaca berbagai buku-buku berkelas, seperti Tom Sawyer, Petualangan Huckleberry, Oliver Twist, Guliver di Negeri Liliput, Moby Dick, Don Quizote, serta berbagai dongeng klasik dunia lainnya. Tak mengherankan jika ketika masih kelas enam SD, Gola sudah bisa menulis naskah drama.

Saat kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung, novel berjudul Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari karya Jules Verne begitu mencekoki pikiran Hendrayana. Buku itu membuat Hendrayana terobsesi untuk mengunjungi delapan keajaiban dunia. Antara lain Candi Borobudur Magelang, di Jawa Tengah (Indonesia), Menara Eifel, Menara Pisa, Tembok Cina, Bendungan Niagara, Piramida-Sphinx, Istana Taj Mahal.

Pada semester lima, pemuda yang kemudian terkenal dengan nama Gola Gong itu pun benar-benar meninggalkan bangku kuliahnya. Cita-citanya hanya satu: mengunjungi delapan keajaiban dunia dengan bersepeda!  Maka, delapan keajaiban dunia pun akhirnya benar-benar dikunjungi Gola Gong. Dia juga mengunjungi Pagoda di Thailand, Golden Temple di Sikh, Amritsar, (India), Gunung Himalaya, dan Sungai Nil (Mesir).

Hasil petualangan itu pun benar-benar luar biasa. Yaitu dengan lahirnya karya-karya fiksi  karya Gola Gong dalam bentuk cerita bersambung di majalah remaja yang kemudian dibukukan dalam bentuk novel. Salah satu novel berseri yang menjadi best seller dan digandrungi para remaja tahun 1990-an adalah Balada Si Roy, yang terjual hingga 100 ribu eksemplar. Bersamaan dengan kesibukannya sebagai tim kreatif di RCTI, Gola Gong tetap kreatif menulis novel dan skenario. Tak kurang dari 40 novel dan puluhan skenario sinetron dan film telah ditulisnya.

Kini, di usianya yang menginjak angka 50, Gola Gong tidak lagi berpetualang jauh ke negeri orang. Dia kini membangun rumah di kampung Ciloang, Banten, sembari tetap bekerja di Jakarta. Kini Gola Gong telah menciptakan dunia petualangan sendiri, yaitu dengan terus menciptakan karya-karya novel petualangan dan skenario. Nama Gola Gong pun muncul sebagai ikon novel remaja. Gola Gong kini menularkan kepiawaiannya menulis kepada mahasiswa dan anak jalanan di Pustaka Rumah Dunia, di kampung Ciloang, Serang, Banten. Di komunitas itu Kang Gola bukan hanya guru, tetapi juga inspirator, motivator, dan kawan yang hangat.

Setiap Minggu sore, setelah seminggu penuh bekerja sebagai tim kreatif di RCTI, Gola Gong mengajar di Kelas Menulis di Pustaka Rumah Dunia kepada para pelajar dan mahasiswa yang ingin bisa menulis berita dan feature (wartawan), menulis fiksi; cerita pendek dan novel (pengarang), serta skenario TV (script writer). Ada lima puluhan mahasiswa dan pelajar yang aktif menjadi murid Gola Gong di Pustaka Rumah Dunia. Ia didampingi istrinya yang setia yang juga pengarang dan pengajar: Tias Tantaka.

Menurut  Kang Gola tidak hanya membaca di perpustakaan, para aktivis Rumah Dunia juga dibekali keterampilan internet, membuat brosur, membuat koran, dan radio sehingga diharapkan mereka terampil berkomunikasi dengan menuangkan gagasan dalam bentuk lisan dan tulisan. Kini Rumah Dunia juga memiliki gedung pertunjukan seni yang megah.Bukan hadiah dari pemerintah, tetapi hasil keras Kang Gola, semua penghuni Rumah Dunia, dan para simpatisan.

“Rumah Dunia merupakan sebuah ‘proyek kebudayaan’. Kepada semua yang masuk Rumah Dunia, saya bertanggung jawab atas pertumbuhan karakter mereka. Rumah Dunia merupakan pusat belajar. Saya tidak mengajarkan bagaimana membuat proposal, tetapi berbagi pengalaman bagaimana mengatasi rasa takut dan  keluar dari kesulitan,”  kata pengarang yang pernah menolak penghargaan dari Komite Nasional Pembaharuan Indonesia (KNPI) Banten ini

“Saya ingin mengubah paradigma lama yang mengatakan bahwa perpustakaan adalah tempat membaca. Kini paradigma itu saya ubah menjadi ‘perpustakaan adalah tempat membaca dan menulis’” tambahnya.

Kepiawaiannya menularkan keterampilan menulis lewat pengelolaan perpustakaan dan belajar itu membuat Kelompok Kompas-Gramedia tertarik mengajak Gola Gong untuk mengampanyekan pentingnya pengelolaan perpustakaan. Maka, beberapa waktu lalu, Gola Gong pun keliling ke beberapa kota di Indonesia atas undangan Gramedia untuk menjadi pembicara pada seminar “Membaca Cepat dan Seni Mengelola Perpustakaan”.

Bagi para pelajar dan mahasiswa yang menjadi murid di sekolah Pustaka Rumah Dunia, Gola Gong adalah guru sekaligus inspirator. Guru, karena Gola Gong memberikan keteladanan bagaimana menjadi seorang penulis yang baik. Inspirator, karena keterbatasan Gola Gong—yang hanya menulis dengan tangan satu karena tangan kirinya putus hingga lengan—telah menjadi motivasi bagi para murid-muridnya untuk menjadi penulis hebat.

“Saya selalu mengajarkan kepada para murid pentingnya persiapan dalam menulis. Saya katakan kepada mereka, janganlah duduk di tempat komputer dengan kepala kosong karena itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Ketika hendak menulis, persiapkanlah dulu semuanya. Bahan-bahannya; sinopsisnya. Syukur-syukur jika sanggup secara detail; alur cerita, konflik, latar tempat, dan karakter para tokoh,” ujar mantan juara bulutangkis tangan satu untuk penyandang cacat dalam Pesta Olahraga Cacat se-Asia Pasicif (Fespic Games) tahun 1990-an ini.

Menurut Gola Gong, menulis bukan hanya sekadar menyalurkan hobi. Menulis cerita juga sebuah proses produksi. “Ketika menulis, berarti saya sedang berproduksi. Menulis cerita pendek atau novel, bagi saya tetap harus ada nilai ekonomisnya, karena itu bagian dari industri,” kata ayah tiga orang anak ini.

Meskipun memahami menulis sebagai proses produksi, Gola Gong tidak menjadikan dirinya serupa mesin. Itulah sebabnya, sebagian dari hasil jerih payahnya sebagai karyawan RCTI dan royalti beberapa bukunya dia investasikan untuk membangun Pustaka Rumah Dunia. Yaitu sebuah sanggar tempak belajar para mahasiswa, pelajar, dan pengamen jalanan untuk belajar menulis gratis. Menurut Gola Gong, Pustaka Rumah Dunia, merupakan sebentuk upaya untuk membangun keberaksaraan (melek huruf) di Banten sekaligus sebagai 'perlawanan' terhadap modernisasi yang begitu deras merangsek budaya tradisi.

“Banyak peninggalan bersejarah di Banten yang hancur karena digusur untuk pusat perbelanjaan modern. Sementara citra Banten sebagai daerah jawara tetap melekat. Itu harus diubah. Salah satunya adalah dengan mengajak anak-anak muda Banten untuk gigih belajar menulis. Kita tidak mungkin bisa ‘menggenggam dunia’ jika tidak bekerja keras dengan membaca dan menulis,” ujar penulis buku Menggenggam Dunia itu.

Boim Lebon, pengarang dan produser di RCTI yang pernah satu kos dengan Gola Gong, mengakui Gola Gong memiliki  semangat berkarya yang luar biasa. “Dia pernah dua hari dua malam mengetik, dengan tangan satu pula, tanpa berhenti. Suara mesin tiknya, waktu itu belum ada komputer, menjadi  musik pengantar tidur kami. Terus terang, selama kos bareng itu, semangat kerjanya telah banyak menularkan semangat ke saya dan seluruh penghuni kos lainnya yang kebetulan bekerja di media cetak,” ujar Boim.


 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan