Muhlis Suhaeri
Akil Mochtar dan buku yang dia tulis (Dok bangakil.blogspot.com) |
Mungkin itulah pertanda, kelak si bocah bakal menjadi orang besar.
“Walaupun tidak jadi orang besar, tapi bisa mengangkat derajat keluarga,” kata Syahril.
Ketika Akil masih kecil, ada sepupu bernama Hamdi Isa, yang kebetulan sedang sekolah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta. Dia pulang ke Putussibau. Akil berusia satu tahun dan belum pandai berdiri. Tapi, sudah sanggup duduk. Bila ada orang datang, dia memberi salam dan mencium tangan orang tersebut.
“Oh, kamu ini pintar ya. Pasti kamu jadi orang besar,” kata Hamdi Isa.
Akil tumbuh di lingkungan keluarga besar. Karenanya, terbiasa hidup kekeluargaan. Secara psikologis, dia mudah menerima siapa saja dalam pergaulan. Selain itu, lingkungan keluarga mendidik anak tidak membedakan orang.
Sebagai keluarga dengan latar belakang pegawai biasa dan anak banyak, orang tua kesulitan menguliahkan semua anaknya. “Keinginan Akil keras untuk kuliah. Pokoknya kalau dia mau, dia harus bisa. Dia tahan menderita,” tutur Murjanah.
Di mata keluarganya, Akil dikenal sebagai sosok yang keras sedari kecil. Kalau belum ketemu dengan apa yang dia mau, dia tidak akan berhenti. Orangnya berani dan tidak mudah putus asa. Maju dan maju lagi. Dia kuat sekali mempertahankan pendiriannya. Keras. Bandel tapi bukan nakal.
Ada-ada saja yang dilakukan Akil. Ketika itu dia duduk di bangku kelas lima SD. Bersama teman-temannya, dia melihat sunatan massal di rumah dinas bupati yang berjarak satu kilo meter. Acara itu diadakan untuk anak di Putussibau dan sekitarnya.
Dulu, di rumah dinas bupati ada semacam pavilion. Dan di tempat itulah acara dilakukan. Ketika mereka tiba di sana, sudah ada puluhan anak menunggu untuk disunat.
Ketika melihat banyak anak sebaya disunat, Akil tergelitik mengikuti ritual itu. Dia memasrahkan dirinya pada pisau sunat yang dipegang sang mantri. Cresshh. Maka, pisahlah ujung kulit itu.
Selesai disunat, Akil jalan kaki ke rumah, sambil memegangi celananya agak ke depan. Keluarganya tentu saja heran, kenapa anak ini berjalan sambil memegangi ujung celananya ke depan. Begitu tahu si bocah telah disunat, keluarga langsung mengadakan selamatan. Padahal, ketika itu waktunya belum dianggap tepat.
Sedari sekolah dasar, Akil menunjukkan sifat kepemimpinan. Dia selalu mengambil inisiatif dan memberi contoh baik. Ketika ada selisih paham di antara temannya, Akil mendamaikan. Dia memberi jalan keluar. Caranya? Dengan memberi nasehat pada temannya.
“Kita kan sama-sama berkawan. Hal-hal kayak begini itukan tidak baik. Di samping melanggar hukum, juga melanggar norma yang berlaku di daerah kita,” kata Rusmadin, menirukan ucapan Akil. Rusmadin kawan Akil sekolah SD di Putussibau.
Sifat khas berkawan, Akil sanggup mengatasi masalah kawan. Kalau ada teman berselisih, dia memberi pengertian. Nasehat tidak menyakitkan, dan teman bisa akur kembali. Akil dianggap sebagai panutan di kelompoknya. “Seingat saya dia tidak pernah mengajak orang untuk tidak berbuat baik,” kata Rusmadin.
Kalau ada teman minta bantu, Akil tidak pernah menolak. Dia pernah bicara, kalau ada keperluan atau kesulitan, dia meminta temannya memberitahu.
Bakat menggeluti dunia politik sudah nampak sedari kecil. Begitu ada pidato di radio, Akil mendengarkannya sampai selesai. Setelah itu baru mandi. Dan kalau ada pidato Bung Karno, dia bersila dan mendengarkan pidato itu. Dia tidak bergerser dari duduknya, meski abang atau kakaknya, memintanya mengambil sesuatu.
Selesai mendengarkan pidato dari radio, Akil akan menyampaikan pada temannya. Caranya? “Ya, kayak orang pidato. Teman-temannya duduk, dia berdiri sambil berpidato,” tutur Dahyani.
Tau Hui, teman Tionghoa semasa sekolah dasar berkomentar tentang Akil, “Orangnya pintar dari kecil dan modelnya slow saja dan tidak nakal.” Sedari kecil, Akil bergaul tidak membedakan suku dan etnis. Dia bergaul dengan orang Melayu, Dayak, Cina, Jawa, atau lainnya. Mereka bergaul tanpa membedakan etnik dan warna kulit.
Ada sikap kebersamaan dimiliki Akil sedari kecil. Untuk mendapatkan sesuatu, mereka mencari dan mengumpulkan botol. Misalnya, botol kecap, bir, dan lainnya. Setelah botol terkumpul, mereka menjual atau menukar dengan kue sagu. Kue sagu termasuk langka. Disuguhkan ketika lebaran saja. Setelah mendapat kue sagu, mereka bagi beberapa potong dan dimakan bersama. Begitulah cara mereka mendapatkan sesuatu.
Namun, kalau ada duit, Akil lebih senang membeli koran untuk dibaca. Terkadang temannya meledek, “Memangnya bisa kenyang beli koran,” kata Imamuddin. Di antara temannya, Akil termasuk suka membaca. Baca buku apa saja. Dan dia mau meminjamkan buku untuk teman.
Ketika SMP, Akil biasa biasa menjadi komandan upacara, komandan regu, membaca Pancasila, membaca UUD 45, dan janji pelajar. Bila anak lain harus membaca teks Pancasila, Akil hafal di luar kepala. Sejak kelas 4 SD, dia biasa melakukan tugas itu. Dia tidak gugup, malu atau segan menjalankan tugas itu. “Pokoknya jago di sekolah, tuh dialah. Di sekolah selalu membaca,” kata Sudirman, teman semasa SMP.
Bila guru tak datang mengajar, kepala sekolah mengantikan. Siswa diberikan soal, dan mengerjakan di kelas. Atau, murid mencatat pelajaran. Tugas itu diberikan pada Akil. Dia duduk di kursi guru dan mendikte pelajaran pada teman di kelas. Bila tidak, dia akan menulis pelajaran itu di papan tulis. Akil biasa mengerjakan tugas ini sejak duduk di bangku kelas 5, kelas 6, sampai SMP.
Sifat khas Akil sedari kecil, dia tidak suka mencampuri urusan orang. Dia punya sikap dalam belajar. Menginjak bangku kelas 3 SMP, Akil pindah ke Singkawang. Dia ikut kakaknya, Dahyani. Suami Dahyani ditugaskan ke Kota Seribu Klenteng. Akil sekolah di SMP Negeri 1 Singkawang. “Saya memang tidak lama hidup dengan keluarga, karena SMP saya sudah pergi dari keluarga untuk sekolah. Setelah sekolah juga jarang pulang ke rumah karena jauh sekali,” kata Akil. Hal itu membuat dirinya tumbuh sebagai manusia mandiri dan terbiasa menangani berbagai masalah.
Ada yang khas dari karakter masyarakat di Kapuas Hulu dalam memperoleh pendidikan. Faktor dan kondisi alam penyebabnya. “Orang di Kapuas Hulu, kalau mau berusaha harus kuat dan keras. Tahan menderitalah,” kata Syahril Mochtar. Kalaupun mereka dikirim sekolah, memperoleh biaya tidak mudah. Sebagian besar orang kurang mampu. Makanya orang berusaha apa saja, asal bisa bertahan hidup, dan melanjutkan sekolah.
Pada 1977, Akil Mochtar masuk SMA Muhammadiyah Pontianak. Karena tak mau merepotkan kelaurga, dia memilih tinggal di asrama pelajar Putussibau yang ada di Gang Belibis, Pontianak.
Akil punya kepedulian dan rasa memiliki. Mereka keliling minta sumbangan pada pada kader Muhammadiyah. Uang yang terkumpul digunakan membangun pagar mengelilingi sekolah. Kepala sekolahnya, Yakim Noor merasa salut dengan usaha anak didiknya. Yakim Noor baru saja meninggal sebulanan yang lalu.
Semasa SMA, Akil selalu jadi ketua kelas. Dia tegas menyelesaikan masalah. Sebagai wakil Budiman Taher. Begitu juga dengan kepengurusan di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Budiman selalu menjadi wakilnya. “Dia itu selalu berusaha membantu teman dalam segala permasalahan,” kata Budiman.
Menurut Budiman, bakat kepemimpinan Akil sudah nampak dari SMA. Hal itu terlihat, ketika jadi ketua kelas maupun di kegiatan pengajian sekolah. Dalam pertemanan, Akil punya solidaritas tinggi dan membela teman. Komunikasi sosial dengan teman berjalan baik. Dia berusaha membantu teman. Ada kepedulian dalam menampung berbagai permasalahan teman. Akil punya semangat belajar tinggi. Ditengah kesibukan sebagai anggota DPR, dia sanggup menyelesaikan pendidikan S2.
Akil juga memberi saran atau ide, bila dilihatnya sistem sekolah dianggap menyimpang atau tidak tegas. Misalnya mengenai kesenian. Namun, ide dan saran tidak terlaksana karena terbentur masalah dana. Meski dalam keseharian selalu mengolok teman, tapi sebagian besar teman menurut pada Akil. Lalu, bagaimana sosok Akil di mata kepala sekolah?
“Anak ini luar biasa. Pertama otaknya luar biasa. IQ bagus. Bertato pula di tangan, kalau tak salah. Gilanya lagi, dia ini kalau ada guru tak disenangi, bakal dikerjekan,” kata Yakim Noor, suatu ketika. “Ape kata die, nurut semue. Itu hebatnya die. Kader kepemimpinan sudah tampak. Dia anaknye tuh, cerdas, kreatif, inovatif dan kritis.”
Semasa sekolah, Akil aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Semacam organisasi intra sekolah (OSIS), dan menjadi pusat kegiatan siswa. Ketika ada penerimaan siswa baru, mereka jadi panitia MABITA (masa orientasi). Akil mempelopori pengajian di sekolah. Pengajian dilakukan secara keliling. Mulai dari Kampung Kapur, Saigon, atau Sungai Raya. Pengajian berisi pengetahuan agama, pembangunan akidah dan prilaku.
Akil juga aktif menulis di Warta Kelas atau Mading (Majalah Dinding). Berbagai karya siswa ditempel di sana. Ada puisi, cerpen, artikel dan lainnya. Akil menulis apa? Puisi cintakah? “Dia tak akan bisa. Karena tidak pernah pacaran semasa SMA,” kata Budiman. Akil senang menulis cerpen. Dia tidak menulis tema cinta, tapi masalah sosial. Dia juga menulis artikel tentang organisasi, kepemimpinan dan kemuhammadiyahan.
Akil pernah mengikuti pelatihan yang diadakan Muhammadiyah selama seminggu. Dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia berangkat bersama, Mirza dan M. Abduh. Acara itu diselenggarakan di Yogyakarta. Ketika duduk di bangku kelas 3, Akil mengikuti Muktamar IPM se-Indonesia di Yogyakarta. Dia bersama Mirza A. Moein dan Upikar Bujang Gofur mewakili Kalimantan Barat.
Muktamar diisi berbagai laporan pertanggungjawaban, laporan dari daerah, dan pemilihan pengurus. Sebagai ketua, Akil melaporkan pertanggungjawaban IPM Kalimantan Barat. Selama Muktamar, mereka mendapat berbagai pembelajaran, seperti masalah organisasi, pengetahuan agama, kajian Al-quran. Mereka sadar diri dan masih awam. Dengan mengikuti muktamar, membantu perspektif mereka dalam melihat suatu masalah.
Ketua Muhammadiyah, KH. AR. Fahruddin, hadir sebagai pembicara. Dia bicara mengenai keimanan, keislaman, dan tausiyah. Yang diuraikan ilmiah, dan tajam analisisnya.
Bagi Akil, kegiatan di Muhammadiyah bukanlah hal baru bagi dirinya. Dia sudah aktif di Ormas ini, sejak SMA. Dia mulai mengenal organisasi dan besar di Muhammadiyah. Loyalitasnya terhadap Muhammadiyah juga sudah terbukti.
Pengacara yang Peduli pada Sesama
AKIL KULIAH di Universitas Panca Bhakti (UPB), jurusan hukum. Dia masuk UPB pada tahun 1980. Sewaktu kuliah di UPB, Akil tinggal di asrama pelajar dan mahasiswa Kapuas Hulu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi loper dan penjual koran. Dia kerja bareng dengan Uri Rahman.
Sekarang ini, Rahman bekerja di Dinas Tenaga Kerja kantor Pemda, Palangkaraya. Mereka punya banyak pelanggan. Pagi sekali, mereka keliling Kota Pontianak dengan sepeda, mulai dari Jeruju, Jalan A Yani hingga Sungai Raya.
Semasa kuliah, Akil aktif di kegiatan mahasiswa. Dia ikut karate, kelompok studi, dan Resimen Mahasiswa. Dalam kejuaraan karate di Untan, Akil dapat medali perak. Di Menwa, Akil pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon (Danyon) Menwa di UPB.
Sikap tegas Akil mendapat tempat di Menwa, juga kegiatan lain. “Setiap ada kegiatan mahasiswa di UPB, Akil selalu menjadi seksi keamanan. Dia punya sifat kepemimpinan di tingkatan kawannya,” kata Buyung Djumaan Rivai, mantan rektor UPB.
Setiap tahun ajaran bagi, Akil menjadi panitia Ospek, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Dengan ospek, mahasiswa baru diberi bekal dan pengetahuan tentang dunia kampus. Ospek berlangsung dua minggu. Namun, Ospek juga jadi ajang mencari pasangan. Yang cantik bakal jadi rebutan.
“Kalau sudah ada Menwa, sudahlah. Tidak ada senyum untuk hari ini. Senyum adalah kegagalan,” kata Ramli Ramlan. Ramlan satu angkatan dengan Akil di UPB. Semua mencari perhatian. Mereka memasang pin, wing, dan berbagai atribut penghargaan di baju seragam. Tapi, kalau Akil datang, semua pada minggir.
“Dia itu raje dari rajenye di kampus,” kata Ramli.
“Biar kita tampil bagaimana, begitu Akil datang dan bicara, akhirnya yunior tidak percaya dengan yang lain. Diplomasinya hebat. Pendekatan secara pribadi bagus,” kata Tugimin.
Di akhir acara Ospek, ada pemilihan panitia. Ada panitia tercantik, terganteng dan terkutuk. Akil pernah terpilih sebagai panitia terganteng dan terbaik.
“Dia termasuk idola mahasiswi dulunya,” kata Ustin Rosma.
0 komentar:
Posting Komentar