Untuk mewujudkan kepedulian dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Lampung telah memformulasikan berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat di beberapa lokasi, khususnya daerah penyangga kawasan konservasi di Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, potensi sumber daya alam yang dimiliki dan dapat dikembangkan, ketersediaan jasa lingkungan potensial, serta kemauan masyarakat untuk berkembang.
Proses pelaksanaannya dilakukan melalui pendekatan partisipatif sesuai dengan hal yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Kegiatan pemberdayaan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengurangi degradasi hutan dan kawasan konservasi, serta dapat memberikan sumber penghasilan alternatif dan pendukung kehidupan bagi masyarakat.
Pada umumnya, program pemberdayaan masyarakat yang digulirkan oleh Balai KSDA Lampung memiliki tiga tahapan proses, yaitu penggalian informasi dan potensi, pembentukan dan penguatan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat, serta dukungan pengembangan usaha produktif masyarakat.
Salah satu sasaran utama program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh BKSDA Lampung adalah masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam dan Cagar Alam Kepulauan Krakatau yang dilakukan di Pulau Sebesi sebagai daerah penyangga kawasan tersebut. Sejak tahun 2011, Pulau Sebesi ditetapkan sebagai Model Desa Konservasi (MDK).
Penetapan ini didasarkan pada keberadaannya sebagai satu-satunya desa penyangga kawasan CA dan CAL Kepulauan Krakatau serta adanya potensi sumber daya alam produktif yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Proses penetapan dilanjutkan dengan penguatan Kelembagaan MDK Pulau sebesi beserta perangkat pendukungnya, serta berbagai stimulan kegiatan pemberdayaan masyarakat juga telah dilakukan.
BKSDA Lampung juga melakukan upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar Kawasan Ekosistem Esensial Lahan Basah Tulang Bawang. Kegiatan dilakukan di dua lokasi, yaitu Kampung Bujung Dewa Kec. Pagar Dewa Kab. Tulang Bawang Barat, dan Kampung Bumi Aji KNPI, Kab. Tulang Bawang.
Kedua lokasi ini dipilih karena tingginya ketergantungan masyarakatnya kepada ekosistem esensial lahan basah tulang bawang, potensi keanekaragaman hayati serta potensi wisata. Selain alasan diatas, pemilihan kampung Bumi Aji KNPI juga berdasarkan ancaman atau kerawanan kawasan lahan basah Tulang Bawang seperti konversi lahan rawa menjadi perkebunan serta sering terjadinya konflik antara satwa dan manusia khususnya jenis buaya (Crocodylus porosus).
Konflik terjadi karena sebagian besar masyarakat Kampung KNPI memenuhi kebutuhan pakan ternaknya dari kawasan Lahan Basah Rawa Tulang Bawang yang notabene habitat buaya muara.
Selain di sekitar CA dan CAL Kepulauan Krakatau dan Kawasan Ekosistem Esensial Lahan Basah Tulang Bawang, masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung juga tidak luput dari sasaran program pemberdayaan yang dilakukan oleh BKSDA Lampung. Kegiatan dilakukan di dua lokasi yang menjadi penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Hutan Lindung Register 39 Kota Agung Utara, yaitu Pekon Tulung Sari dan Pekon Sanggi Kec. Bandar Negeri Semoung Kab. Tanggamus. Kedua desa tersebut tidak memiliki sumber listrik dari PLN karena aksesibilitasnya yang sulit, namun di kedua desa tersebut tersedia potensi jasa lingkungan air Sungai Way Tuba yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik tenaga air mikro (microhydro). Berdasarkan keadaan tersebut dan hasil koordinasi dengan masyarakat setempat, maka Balai KSDA Lampung memutuskan untuk membantu masyarakat dalam penyediaan peralatan pembangkit listrik tenaga mikro hidro.
Terakhir, BKSDA Lampung juga telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program adalah masyarakat Desa Wiyono, Kec. Gedong Tataan, Kab. Pesawaran yang berbatasan langsung dengan Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman.
Program pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. Arah pengembangan ini dinilai tepat karena blok tahura di desa Wiyono ini memiliki potensi wisata berupa hamparan lahan pegunungan gunung betung, air terjun dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Potensi wisata ini dapat dijadikan salah satu destinasi wisata alternatif di Provinsi Lampung mengingat jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ibukota provinsi.
Strategi keterlibatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan, serta sudah saatnya untuk dilembagakan dengan pendekatan partisipatif. Pada masa yang akan datang, Balai KSDA Lampung akan berupaya mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi tersebut melalui pendekatan pendayagunaan potensi masyarakat lokal.
Dengan demikian, kegiatan apapun yang dikembangkan akan memiliki kesesuaian yang tinggi dengan kondisi masyarakat setempat sehingga memungkinkan berkembangnya partisipasi masyarakat dengan kualifikasi objektif, didukung semua pihak, bisa dilaksanakan dengan sumberdaya yang tersedia, terukur, dan berkelanjutan.(W.Hidayat/BKSDA Lampung).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar