Marhalim Zaini*
Adalah Denny JA, yang lebih kurang setahun silam, menggaungkan sebutan “puisi esai” untuk bukunya berjudul Atas Nama Cinta. Belakangan kian tenar namanya, ketika cogan “Indonesia Tanpa Diskriminasi” meramaikan iklan di televisi. Satu lagi, yang seolah bersebati dengan nama Denny JA adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI), sebab ia Direktur Eksekutifnya.
Awal kemunculan “puisi esai” memang mengundang cukup ramai perbincangan. Tokoh-tokoh sastra, seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, D. Zawawi Imron, Maman S. Mahayana, Leon Agusta, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, dan beberapa yang lain, turut menulis, merespons dengan cara mereka masing-masing. Tulisan-tulisan mereka telah dibukukan dalam Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia, yang dieditori Acep Zamzam Noor.
Ketika saya jadi juri baca puisi di TIM, bulan puasa silam, buku itu saya beli. Saya baca, meski tidak semua esai. Maka berbagai argumentasi lalu-lalang, dengan berbagai teori dan pendekatan. Mantap. Saya merasa para tokoh sastra kita itu guyup. Siap menyambut dengan tangan terbuka setiap (yang dianggap) “kemungkinan baru” kreativitas dalam dunia penciptaan sastra, penciptaan puisi. Dan malah, pentingnya buku ini bagi saya adalah (justru) mengingatkan kembali betapa sesungguhnya sejarah perjalanan sastra kita demikian panjang, demikian kompleks.
Namun, dengan diingatkan begitu, saya kemudian harus kembali bersepakat (sambil mengingat mendiang HJ) bahwa memang “tak ada yang baru di bawah matahari ini.” Karena, setelah membaca ulasan-ulasan para tokoh sastra itu, bagi saya, justru kembali menegaskan dan membuat apa yang disebut “puisi esai” itu menjadi sebuah “pengulangan” saja. Hanya berubah nama, misalnya dari “puisi prosaik”, “puisi panflet”, “puisi naratif”, “prosa liris”, dll.
Banyak tokoh pelopornya (sebagaimana diurai Maman dengan baik dalam esainya di buku itu). Malah saya merasa, puisi “model” semacam ini, kok sudah “selesai” digarap dengan apik oleh Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem. Saya merasakan benar, prosa liris itu mengalir, dalam liukan sungai sejarah Jawa, mitos, identitas budaya, karena saya sempat menyaksikan si penyairnya membacakan di Jogja. Merinding saya. Kepekaan sosial saya bangkit. Tak pun ada catatan kaki yang panjang lebar di sana, saya sih sudah terang merasakan dan memahami kontekstualitasnya dengan realitas, dengan fakta-data.
Maka, soal catatan kaki dalam puisi, sudah bukan barang baru sebenarnya. Sapardi menjawab itu (dalam esainya). Catatan kaki dalam puisi, kata Sapardi, “tidak jarang diperlukan untuk memberi penjelasan mengenai berbagai hal seperti nama, peristiwa, bahasa asing, dan berbagai hal lain yang diharapkan bisa membantu pemahaman pembaca.” Lalu apa bedanya dengan catatan kaki dalam “puisi esai” Denny JA?
Tapi, untuk bahan diskusi lebih lanjut, penting rasanya saya ketik ulang, apa yang jadi kriteria “puisi esai” yang dimaksud Denny JA itu (hal. 36):
(1) Ia harus menyentuh hati dengan cara mengeksplor sisi batin, dan mengekspresikan interior psikologi manusia kongkret; (2) Ia harus memotret manusia kongkret itu dalam suatu ivent sosial, sebuah realitas kongkret juga yang terjadi dalam sejarah. Tak terhindari sebuah riset dibutuhkan untuk memahami realitas sosial itu. Tak terhindari juga catatan kaki menjadi sentral dalam medium itu; (3) ia harus dituliskan dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas, tapi tersusun indah; (4) ia harus menggambar suatu dinamika sosial atau dinamika karakter pelaku. Tak terhindari medium itu menjadi panjang dan berbabak.
Bagi saya—dan sepakat dengan Maman—bukankah memang demikian itulah kerja sastra selama ini? Sudah dari sononya begitu, taken for granted. Saya, justru melihatnya, yang utama dari upaya “puisi esai” ini adalah point ketiga, “dituliskan dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas.” Dan di sinilah problemnya. Kalimat semacam itu, justru sedang menggiring kita (penyair dan juga pembaca) untuk tidak percaya pada kekuatan “kata” dalam puisi. Sehingga, puisi harus “dijelas-jelaskan” kembali dengan membuat catatan kaki sebagaimana layaknya sebuah esai (ilmiah). Sehingga puisi tidak lagi “mandiri” sebagai “kata-kata” yang (boleh jadi, suturut Tardji) terbebas dari makna.
Bahwa kelak, fakta-data yang ada dalam puisi, tidak lagi “diupayakan” dengan berdarah-darah oleh sang penyairnya, untuk menemukan “bahasa” puisi, yang khas milik penyairnya, sebab sudah tersandra oleh “cara baca” yang diseragamkan: dimengerti publik luas. Maka, kekuatan “peristiwa” (sebagai cerita) akan mengalahkan kekuatan “kata” (sebagai citra). Dan kelak, kita akan temukan kata-kata yang pejal, tak berdaya, tak lagi liar, terseok-seok dalam dunia industri, gampang lenyap dalam sekejap, bagai berita, bagai sinetron, bagai iklan, bagai hiburan belaka...
*Penyair, tinggal di Riau
Tulisan ini pernah dimuat di Riau Pos
0 komentar:
Posting Komentar