Kisah Lain: Cerita tentang Akil Mochtar (5)

KISAH LAIN

Muhlis Suhaeri

Akil Mochtar (Dok Kompas)
Akil pernah jadi Komandan Batalyon (Danyon). Dia bahkan pernah mengikuti pertukaran Menwa ke Malaysia, pada 1986. Setelah aktif di Menwa, kurang lebih empat tahun, dia sering mendapat kesempatan memimpin acara seremonial.

”Kalau acara pengambilan baret atau cara lain, dia selalu diberi kepercayaan sebagai komandan,” kata Tugimin. Bahkan, ketika tidak aktif lagi di Menwa, Akil sering diminta menyumbang berbagai pemikiran, atau tenaga. Akil juga pernah terpilih sebagai ketua alumni Menwa se-Kalbar. Dia memimpin selama lima tahun. Alasan orang memilih, karena dia selalu mengembangkan sikap kebersamaan. Tidak hanya dalam lingkup Menwa, juga di mahasiswa dan masyarakat. Akil punya prinsip mengayomi. Kalau bisa membantu, akan dilakukan.

“Akil tidak pernah membedakan,” kata Ramli. Orang dari golongan apa saja diterima, dan diperlakukan sama. “Dia punya sifat pengayom.”

Akil piawai membantu orang lain. Dia tak segan membantu warga miskin perjuangkan keadilan. Tingkat diplomasi juga tinggi. “Dan kepada siapa pun dia melayani. Apalagi pada orang kecil. Dia juga orang yang terbuka terhadap permasalahan,” kata Sabran.

Ada satu peristiwa dapat dilihat dari karakter dan sifat kepemimpinannya. Peristiwa itu terkenal dengan nama Kagulaga. Isi peraturan, jika pengendara sepeda motor boncengan, harus memakai dua helm. Peraturan menggunakan dua helm berlaku efektif pada 4 Agustus 1983. Tapi, pada 1 Agustus 1983, mahasiswa mulai demo dan minta peraturan dicabut.

Mahasiswa menolak peraturan itu. Alasannya, helm standar tidak ada, dan ekonomi masih kacau. Pemberlakuan satu helm, baru dua tahun. Selain itu, ada indikasi kolusi, antara produsen helm dengan (polisi). Ketika itu pemilik sepeda motor masih sedikit. Mahasiswa harus menumpang pada teman. Kalau peraturan diberlakukan, banyak mahasiswa kesulitan kuliah.

Mahasiswa bentrok dengan pihak keamanan di lapangan. Dandim 1207, Daud Monten, memerintahkan anak buah melempar gas air mata ke mahasiswa. Pada pukul 14.00, satu mahasiswa UPB terkena bayonet. Namun, bentrokan tak juga berhenti. Aparat keamanan memberi ultmatum. Bila demo tidak berhenti pada pukul 16.00, pihak keamanan akan bertindak.

Seluruh wakil perguruan tinggi kumpul di Rektorat Untan (rektorat lama). Mereka rapat. Suasana tegang. Rektor Hadari dan Mahmud Akil, Purek II, juga hadir. Rapat berjalan alot. Semua ingin menyampaikan aspirasi. Intinya, mahasiswa ingin Kapolda hadir di ruang rapat, dan peraturan dua helm ditunda.

Akil menolak usulan mahasiswa. Alasannya, faktor keamanan dan situasi tidak memungkinkan untuk menghadirkan Kapolda. Dia memberi usulan, “Bagaimana kalau kita bawa seluruh usulan ini, perwakilan menghadap bapak Kapolda.”

Mahasiswa sepakat. Mereka mengirim Akil, Eddy Setiawan, dan seorang mahasiswa, menemui Kapolda. Kebetulan Kapolda tak ada. Tapi, pelaksanaan helm ganda ditunda. Mahasiswa membubarkan diri.

“Dari situlah orang melihat kepemimpinan dan kepiawaian Akil, selama dia menjadi mahasiswa,” kata Sabran. Dalam masalah Kagulaga, Akil mempertemukan keinginan pemerintah, pihak kampus dan mahasiswa. Dia menawarkan solusi-solusi baru dan tidak otoriter.

Meski sudah jadi pejabat dan menyelesaikan pendidikan, Akil selalu bersikap rendah hati. Bila pulang ke Pontianak dan ketemu kawan, dia tanya kesulitan teman. Kalau bisa membantu, bakal dilakukan. Dia ingat dengan teman.

“Yang jelas, di mata saya, dia low profile,” kata Sabran.

Kalau temperamennya? “Itu sih memang sudah modelnya. Gayanya dari dulu memang seperti itu,” kata Ramli. Kalau orang tak mengenal, pasti menyumpah. Padahal dia sedang bergurau. Di mata kawan, Akil termasuk tipe tidak melupakan orang atau lingkungan yang pernah membesarkannya.

“Akil punya kepedulian sosial tinggi terhadap masyarakat,” kata Sabran.

Pada tahun ketiga kuliah, Akil mulai membantu dosennya, MB Panggabean, sebagai pengacara praktek. Dia mengerjakan banyak hal. Akil meniti karir sebagai pengacara dari nol. Mulai dari menyupir, mengetik, membuat konsep, membacakan berkas perkara, hingga jadi asisten pengacara dan menangani kasus. Yang berkesan bagi Panggabean, Akil tidak pernah menolak diminta mengerjakan sesuatu. Dia segera melakukan pekerjaan itu. Seringkali Akil mengerjakan pekerjaan hingga larut malam. Kalau sudah demikian, dia menginap di rumah Panggabean. Ketika itu Panggabean masih bujangan.

“Disamping pekerjaan cepat selesai dan ada laporan, Akil juga tanggap. Dalam masalah keuangan tidak terlalu perhitungan. Ada tugas pokoknya dikerjakan dulu,” kata Panggabean. Begitu pun ketika kerja, tidak perhitungan melakukan pekerjaan. Dia tidak menanyakan, bakal dapat berapa menangani suatu kasus. Pada 1986, Akil membuka kantor sendiri di Jalan Merdeka. Namanya Muhammad Akil Mochtar dan Rekan.

Pada awal Oktober 1992, Vincent Julipin, wartawan rubrik hukum dan kriminalitas harian Akcaya (sekarang bernama Pontianak Post) melakukan investigasi dan masuk ke penjara Ketapang. Dia menyelidiki kasus salah vonis yang menimpa Lingah, Pacah dan Sumir. Tiga orang ini dituduh membunuh Pamor. Mereka sudah menjalani hukuman selama 7 tahun, dari 12 tahun yang harus dijalani. Padahal, ketiganya tidak melakukan pembunuhan. Pembunuh sebenarnya adalah Asun.

Julipin mendatangi Akil di kantor pengacaranya. Dia ingin ketiga terpidana bebas.
“Bisa tidak mendampingi ketiga orang ini? Kalau tidak didampingi oleh orang yang punya kepedulian kuat, ketiganya akan terus berada di penjara,” kata Julipin. Akil langsung menyatakan kesediaannya. Tapi dia juga berpikir taktis. Ini kasus besar. Harus waspada dengan berbagai tekanan. Kasus juga berpotensi menimbulkan ketegangan. Akil menyarankan, kasus mesti ditangani suatu tim.

Julipin kebagian cari pengacara lain. Bergabunglah Tamsil Sjoekoer dan Alamuddin. Empat pengacara lain yang dihubungi Julipin, menolak secara halus. Selanjutnya, tiga pengacara tersebut mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut. Kasus ini terkenal hingga tingkat nasional, bahkan internasional. Berbagai koran nasional seperti, Kompas, Jawa Post, Suara Pembaruan, dan lainnya, memberitakan kasus ini. Bahkan, Radio BBC London membahas kasus ini dalam rubrik hukumnya.

Sebagai pengacara, ketiganya tidak bisa dibilang kaya. Karenanya, mereka patungan uang buat ikuti acara persidangan. Uang Julipin kadang dipakai juga. Maklum, jarak Pontianak ke Ketapang lumayan jauh dan sarana transportasi belum memadai. Naik kapal Ekspress Rp 75 ribu sekali jalan. Naik pesawat kecil berpenumpang 5-6 orang, Rp 300 ribu per tiket. Ketika itu, jumlah uang transpor itu termasuk besar. Jalan darat melalui Sandai, Tayap dan Tanjung, penuh lumpur. Apalagi kalau hujan. Mereka juga harus menyiapkan uang makan dan penginapan.

“Saya tidak dibayar dan tidak mendapatkan satu rupiah pun dari kasus itu,” kata Akil. Mengapa Akil mau membantu kasus ini?

“Ini komitmen kemanusiaan. Keluarga saya miskin. Ketika saya kecil, saya melihat banyak hak-hak orang desa dilanggar. Mereka tidak punya daya untuk melawan. Saya sungguh sakit melihat kejadian itu. Kalau sekarang keadaan saya lebih baik, apa salahnya kalau saya membantu orang. Lingah itu orang miskin, orang bodoh, orang yang tidak tahu hukum. Mereka pantas ditolong. Begitu saya mendengar kasus itu, saya langsung terpanggil untuk menolongnya. Kalau tidak ada orang yang mendampingi mereka, siapa lagi,” ucap Akil Mochtar, dalam wawancara dengan Kompas, 23 Desember 1994.

Selain Lingah, Pacah dan Sumir, Akil juga membantu banyak kasus pidana. Orang yang tidak bersalah, dimasukkan bui. Zaman Orde Baru memang lagi kuat-kuatnya sistem militeristik, sehingga orang bisa langsung ditangkap tanpa proses pemeriksaan. BAP juga bisa dibuat dengan cara rekayasa dan apa yang dikehendaki si aparat. Salah satunya, Sulaiman di Sanggau. Dia dituduh membunuh Babinsa di Sanggau. Selama pemeriksaan, dia terus diplasah supaya mengaku sebagai pembunuh. Akil menjadi pengacaranya. Dia membelanya tanpa minta pembayaran sepeser pun. Sulaiman akhirnya bebas dalam persidangan.

Begitu juga dengan Syarifal, biasa dipanggil Mahipal. Ketika diplasah oleh serdadu dan butuh pengacara dalam persidangan, Akil tampil membantunya. Akil tak pernah minta bayaran. “Malah, kalah ada uang, beliau memberi kita untuk uang rokok,” kata Mahipal.

Sulaiman dan Mahipal, kebetulan anggota Pemuda Pancasila (PP). Karena dibela tanpa pamrih itulah, orang-orang ini pun, siap menyerahkan nyawanya untuk membela Akil.

Akil telah begitu banyak menanamkan jasa dan kebaikan pada orang. Tak heran, bila dia memiliki pendukung yang setia dan loyal pada dirinya. Begitulah Akil Mochtar, calon Gubernur Kalbar, nomor urut 3 dan berpasangan dengan AR Mecer, ini.


0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan