Adian Saputra*
Alhamdulillah, kemarin (31/1/2013, saya mendapat kabar bahagia. Seorang teman penulis asal Lampung, Yandigsa, memberi tahu via pesan di BlackBerry, bahwa saya termasuk di antara 12 penulis yang resensinya menang dalam lomba menulis resensi novel “12 Menit”. Seharian kemarin saya memang tidak membuka internet karena mesti ikut rapat di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung soal rencana Uji Kompetensi Jurnalis.
Usai rapat, saya membuka internet dan mengecek Twitter. Benar ternyata, lomba yang diadakan NouraBooks sudah ada pengumumannya. Nama saya teratas. Tentu bukan juara I. Sebab, ke-12 pemenang itu statusnya sama-sama pemenang. Persoalan nama saya paling atas, itu sudah takdir. Maklum, nama awal berabjad “a”, hehehe.
Dibanding menulis artikel lain, semacam opini, saya memang menyukai sekali menulis resensi. Menulis resensi buat saya punya kenikmatan tersendiri. Sebab, ada banyak manfaatnya. Selain usai membaca kita mendapat ilmu, proses menulis resensi juga bisa menjadi ajang belajar yang bagus.
Saya bersyukur sekali bisa beraktivitas ngeblog di Kompasiana yang memberikan ruang selebar-lebarnya untuk menatahkan resensi buku. Di Kompasiana ini saja, ada dua lomba yang pernah saya menangkan. Pertama lomba resensi novel “Rantau 1 Muara” karya A Fuadi, yang kedua lomba menulis resensi buku “Kompasiana Etalase Warga Biasa”. Plus satu dari Indepth Publishing yakni lomba menulis resensi buku “Kami Bukan Superman” karya Kompasianer Ridwan Hardiansyah. Kemenangan dalam lomba menulis resensi novel “12 Menit” ini tentu tahniah buat saya. Apalagi resensi ini saya posting juga di Kompasiana. Sekali lagi, terima kasih yang tulus.
Menurut saya, lomba menulis resensi ini memang sangat bagus jika kuantitasnya ditambah. Selain memberikan manfaat untuk “promosi” buku dari penerbit, ini juga membuka khazanah berpikir setiap penulis untuk memaknai buku yang dibaca. Menulis resensi sederhananya memang menilai konten sebuah buku. Selain menceritakan ulang isi buku dengan gaya bahasa sendiri, juga terbuka peluang untuk menguliti plus-minus karya tersebut.
Dalam dunia literasi, menulis resensi ini tentu sangat baik. Sebab, budaya membaca dan menulis di Indonesia mesti ditingkatkan. Dengan menulis resensi, berarti kita melatih untuk berdemokrasi. Sebab, boleh jadi, apa yang kita sampaikan dalam karya, ditanggapi beragam. Bisa oke, bisa juga tidak oke. Boleh jadi disukai, bisa juga tidak disukai. Sebab, menulis resensi hampir sama dengan menatahkan ide dan gagasan layaknya opini. Bedanya, dalam resensi, objek yang kita tulis itu ada: buku.
Satu hal yang juga sering saya sampaikan jika ada kesempatan berbicara soal kepenulisan ialah supaya kita biasa membeli buku. Meminjam buku tentu boleh-boleh saja. Tapi, membeli buku, membacanya sampai tuntas, kemudian menuliskan resensinya, tentu lebih baik. Seorang teman mengatakan, orang paling bodoh sedunia adalah mereka yang suka meminjamkan bukunya. Rupanya kawan ini kesal, banyak bukunya yang tidak dikembalikan oleh kawan yang meminjam. Ada-ada saja, hahaha.
Tapi dipikir-pikir benar juga. Kalau kita yang mau menjadi penulis dan pemikir, setidaknya penikmat buku, membeli buku itu fardu ain. Wajib hukumnya. Bagaimana kita mau mempunyai perpustakaan pribadi kalau koleksi buku kita sedikit. Bagaimana kita mau membuat perpustakaan dan taman bacaan jika buku kita minim. Supaya tak mengulang pengalaman teman yang bukunya banyak hilang, tentu dibutuhkan manajemen yang rapi jika kita ingin membuka perpustakaan atau taman bacaan.
Toh, saat kita membeli buku, ada banyak pihak yang diuntungkan. Penerbit tentu senang jika bukunya laris dibeli. Dengan begitu, ada banyak orang yang menerima gaji dari penerbitan itu. Para penulis juga senang karena dari penjualan buku ia mendapat royalti. Apalagi buat penulis yang indie, tentu lebih banyak duit yang masuk saat bukunya laris terbeli.
Dengan adanya blog Kompasiana, saya kira setiap penulis mesti memaksimalkan potensi menulisnya, terutama menulis resensi buku. Oh iya, kita juga patut menyambut gembira karena semakin sering tulisan Kompasianer dibukukan oleh penerbit. Yang terakhir bukunya Gustaaf Kusno bertajuk “Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi” dan buku karya Kompasianer Terbaik 2013 Yusran Darmawan berjudul “Kopi Sumatera di Amerika”. yang kontennya soal bahasa. Saya yakin, jika setiap Kompasianer menjaga konsistensi menulisnya, kans untuk punya buku sendiri tentu terbuka. Mungkin salah satunya dimulai dengan rajin menulis resensi buku.
Dalam ranah artikel, menulis resensi, dari pengalaman pribadi, cukup mudah dilakukan. Sebab, kita sudah punya bahan untuk menulis dari hasil pembacaan kita terhadap sebuah karya. Tegasnya, yuk mulai dirajinkan menulis di Kompasiana. Khususnya memulai untuk rajin menulis resensi buku. Kalau saban bulan kita membeli satu buku baru, artinya mesti ada satu karya resensi setiap bulan. Jika setiap pekan kita membeli satu buku baru, tentu itu lebih bagus. Artinya, saban minggu kita mesti menulis satu resensi buku. Belum ditambah menulis reportase atau jenis artikel lainnya.
Sayang jika keaktifan menulis kita tidak dijaga dan dikembangkan. Adanya blog pribadi, juga blog bersama Kompasiana ini, selayaknya bisa menjadi arena belajar dalam menulis. Tersebab ada banyak lomba menulis resensi, juga seharusnya memicu kita untuk semakin rajin dalam menulis. Sayang kalau ada lomba, kita tidak ikut. Soal menang atau kalah, itu persoalan kedua. Yang utama, kita mengikutinya. Selain menambah jam terbang, juga memperbesar peluang untuk menang.
Manfaat utama tentu saja menambah pengetahuan dan menghaluskan cara menulis. Orang tua-tua dulu bilang, alah bisa karena biasa. Sangat boleh jadi, menulis resensi buku menjadi jenis tulisan pertama kita sebelum ke tema-tema lainnya. Semakin mahir menulis, semakin baik karya yang kita buat. Sekali lagi terima kasih untuk Kompasiana yang sudah memberikan ruang untuk Kompasianer menatahkan karya. Yuk menulis dan semakin rajin berkarya di Kompasiana. Bonusnya insya Allah juara, aamiin.
*Jurnalis, blogger, dan penulis buku. Tinggal di Bandarlampung. Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar