Rok Pendek Mama


Ukim Komarudin

Jujur, saya benar-benar jengkel. Ini kali kedua saya marah karena Rita mengenakan rok pendek lagi. Kemarin, ia tertangkap basah mengenakan rok yang jika dia berdiri saja sudah beberapa centi di atas lutut. Tentu saja, sebagai wali kelas saya merasa perlu mengingatkannya sebelum Komisi Disiplin menghukumnya.

Rita sebenarnya anak yang cerdas. Ia cantik dan sangat pandai bicara. Tak heran ia menjadi maskot di kelas. Kalau dicari lemahnya: ia terlalu banyak bicara, sehingga guru-guru enggan melayaninya berdebat.

Soal kasus rok pendek, sebenarnya saat kemarin saya sudah bertindak. Tentu saja bukan hanya sebatas bicara jika menghadapi Rita. Saya juga tahu, jangan coba-coba mengarahkan, sebab soal bicara ia memang jagonya.Maka, langkah paling efektif langsung saya terapkan.

Saya beri tahu kalau saya  tak setuju kelakuannya. Saya suruh dia beli rok baru di Koperasi Peduli dengan uang saya pribadi. Akurat. Ia langsung menurut.

Tapi, alangkah kagetnya saya, ketika esoknya kembali ia mengenakan rok pendek lagi. Saya panggil ia dengan penuh kekesalan. Di ujung nasihat dan rasa marah, saya titipkan surat panggilan untuk orang tuanya. 

“Bapak pikir, Mama kamu harus tahu kenakalan anaknya,” ujar saya.

“Tapi Pak...” rupanya ia mencoba berdalih.

“Sudahlah!” saya akhiri dengan kesal. Saya semakin yakin, kalau bukan sekarang waktunya mengajak dia banyak bicara. “Takut juga rupanya kalau kenakalannya diketahui mamanya,” pikir saya yang saat itu merasa menang.

Rita masih duduk termenung ketika saya meninggalkannya untuk mengajar. Saya harus tepat waktu. Gara-gara peraturan yang kami buat bersama yakni terlambat 5 menit tak boleh masuk, anak-anak pun meminta saya harus mematuhinya.

Rupanya keasyikan mengajar membuat saya lupa masalah Rita. Bahkan, ketika keesokan harinya Rita menyampaikan bahwa Mamanya menunggu di Ruang Guru, saya lupa dengan jadwal pertemuan yang saya buat sendiri.

“Ada pacar baru tuh nunggu!” kata Pak Adi, guru piket mengingatkan sambil senyum.

“Siapa? Istriku?”

“Bukan. Orang tua murid kayaknya,” jelasnya sambil mesam-mesem.

Setelah sejenak berpikir, saya jadi ingat kalau saya punya janji. Maka setelah memberi tahu tugas kepada murid-murid, saya bergegas menuju Ruang Guru tempat  mamanya Rita menunggu. Di perjalanan beberapa teman guru yang berpapasan senyam-senyum menggoda. Saya bingung, menerka-nerka apa yang terjadi.

Pintu ruang guru saya ketuk sebelum masuk. Ada Bapak Kepala Sekolah dan seorang ibu yang menurut saya tak senonoh pakainnya. Aneh melihat pemandangan itu, saya mulai khawatir.

Dan kekhawatiran itu mulai terbukti ketika Kepala Sekolah mengenalkan dengan siapa saya bicara. 

“Pak, ini mamanya Rita. Tadi...”

Saya tidak begitu menyimak apa yang disampaikan Kepala Sekolah. Pikiran saya tertuju pada Rita. 

“Kurang ajar anak itu, rupanya mau mengerjai,” pikir saya.

Saya pamit sebentar kepada mereka dengan alasan hendak ke belakang. Saya cari Rita di kelasnya. Setelah izin pada pengajar, saya langsung memanggilnya.

Setelah anak itu di luar kelas,tanpa basa-basi langsung saya semprot.

“Apa maksud kamu dengan menghadirkan Mama kamu yang berpakaian seperti itu?” saya langsung pada sasaran. “Apa kamu tidak menambah malu kalau masalahmu sama dengan mamamu?”

Aneh. Mendengar kemarahan saya, Rita yang tadinya menunduk tiba-tiba berani menatap saya. “Tapi masalah Bapak dan Mama juga sama!” kata Rita.

“Sama apanya?” saya tersinggung.

“Bapak dan Mama sama. Sama-sama tidak mau mendengar penjelasan saya!”
Saya kaget mendengar penjelasan Rita.

“Kemarin saya mau menjelaskan kalau semua pakaian Mama seperti tadi. Saya pikir Mama akan kesulitan menunaikan undangan Bapak. Waktu saya mau ceritakan, Bapak enggak mau dengar!”

Saya terdiam.

“Mama juga sama. Tadi malam saat saya beritahu jika Mama dipanggil Bapak dan saya mau menjelaskan permasalahannya, Mama juga langsung marah. Saya dibentak-bentak karena Mama sedang sibuk syuting dan harus menghadapi Bapak karena ulah saya. Ya...jadinya begini!”


Saya semakin terpuruk. Kini masalah yang saya hadapi jadi dua: malu dan bingung. Malu karena orang dewasa di mata Rita ternyata sangat susah diajak bicara. Bingung untuk menyelesaikan masalah Rita dan orang tuanya, saya harus mulai dari mana?

*Ukim Komarudin seorang guru, tinggal di Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan