Sawali Tuhusetya
Kalau pertanyaannya “suka” atau “tidak suka”, jawabannya sudah jelas. Pasti suka tulisan yang pendek. Di tengah kesibukan yang padat dengan jeda waktu yang amat minim, orang cenderung lebih suka memburu tulisan-tulisan pendek, langsung “to the point”. Tulisan-tulisan panjang, apalagi disesaki dengan setumpuk istilah yang membuat kening berkerutan, sudah pasti tidak disukai orang yang ingin memburu informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu instan.
Namun, suatu ketika, tulisan panjang dengan deskripsi dan paparan detil, pasti juga akan diburu banyak orang. Saya tidak hendak mengatakan bahwa tulisan panjang jauh lebih bagus dan berkualitas ketimbang tulisan pendek. Banyak juga tulisan pendek yang mampu membuat orang “kecanduan”, apalagi dikemas dengan bahasa yang santai dan renyah. Pasti jauh lebih “gurih” rasanya. Ibarat cemilan tak segera membuat orang kenyang, meski bertubi-tubi melahapnya.
Meskipun demikian, esensi sebuah tulisan tak hanya berhenti sebatas “suka” atau “tidak suka”. Pada situasi tertentu orang sangat membutuhkan tulisan panjang yang bernas- berisi; lengkap dengan paparan detilnya. Taruhlah ketika orang tengah memburu informasi di sebuah “mesin pencari” tentang teknik penanaman pohon singon.
Sudah bisa dipastikan bahwa mereka tak hanya sekadar butuh informasi tentang apa itu tanaman singon, ciri-ciri, dan manfaatnya, tetapi juga ingin memburu informasi lebih lengkap tentang proses penanamannya. Lantaran berurusan dengan masalah teknik, jelas paparan yang disampaikan tidak cukup hanya 2-3 paragraf. Seorang penulis membutuhkan banyak kosakata dan bahasa teks yang bisa dipahami dengan mudah oleh pembaca untuk mengungkapkan gagasan dan pikirannya.
Persoalannya sekarang, untuk postingan blog, lebih bagus yang panjang atau pendek? Tergantung “mood” dan kebutuhan. Jika ingin menulis yang ringan-ringan, semacam joke atau humor, mungkin akan lebih tepat jika ditulis pendek-pendek saja. Namun, jika ingin mengungkapkan persoalan-persoalan yang membutuhkan analisis serius, apalagi menggunakan pendekatan keilmuan, tentu tak cukup dituangkan dalam tulisan pendek. Demikian juga ketika menulis teks fiksi, semacam cerpen, misalnya, setidaknya ada sekitar 1.000-1.500-an kata. Redaksi koran pun biasanya sangat ketat dalam membatasi jumlah kata, bahkan termasuk jumlah karakternya; tidak terlalu pendek, tapi juga tidak terlalu panjang.
Apakah akan dibaca orang tulisan sepanjang itu? Saya pikir pembaca memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang suka tulisan yang tuntas dikunyah sekali baca, tetapi tidak sedikit juga pembaca yang memburu tulisan yang membutuhkan renungan mendalam. Ada “passion” tinggi sang pembaca untuk mendapatkan asupan ruhaniah yang mencerahkan. Sepanjang dikemas dengan bahasa yang komunikatif dan mudah dipahami, tulisan sepanjang apa pun tak menyebabkan orang jenuh membacanya.
Kalau persoalannya demikian, haruskah seorang blogger memosting tulisan-tulisan panjang? Saya kira blogger masih menjadi sebuah hobi dan “profesi” yang merdeka. Tidak ada keharusan mesti begini atau begitu. Setiap blogger memiliki “style” yang berbeda-beda dalam berekspresi. Hal itu akan sangat ditentukan oleh karakter sang blogger yang bersangkutan. Mau memosting tulisan pendek serba-minimalis, tak seorang pun yang bisa melarangnya. Atau mau memosting tulisan panjang hingga kehabisan kosakata juga tak ada seorang pun, bahkan sebuah institusi, yang berhak melarangnya. Semuanya ditanggung sah dan halal sepanjang isinya tidak menimbulkan sikap tersinggung atau rasa sakit hati bagi pihak lain.
Yang agak dipertanyakan kalau seorang blogger tidak lagi meninggalkan jejak satu karakter pun di dalam blognya, hehehe … *bercanda*. Terlalu lama “hiatus” atau tenggelam dalam lini masa media sosial ternyata bisa membuat seorang blogger lupa kembali ke “habitat”-nya, haks. ***
Sumber: http://sawali.info/2014/01/21/lebih-bagus-tulisan-panjang-atau-pendek/
0 komentar:
Posting Komentar