Djadjat Sudradjat*
1: LAMPUNG adalah sebuah tanda. Tanda tentang sebuah provinsi yang berada di Pulau Sumatera di ujung paling timur. Sebagai sebuah tanda, makna atau tafsir tentang tanda bernama Lampung bisa berbeda-beda sesuai pengalaman dan persepsi masing-masing yang memaknainya. Begitulah jika kita mengikuti cara pandang semiotik untuk mencari jalan memahami sebuah realitas kebudayaan.
Ferdinand de Saussure, tokoh semiotik terkemuka, membagi tanda atas dua hal, yakni significant (penanda) dan signifie(petanda). Penanda berkaitan dengan bentuk (yang diucapkan dan dilihat) dan petanda berkaitan dengan makna atau tafsir tentang bentuk. Artinya, Lampung sebagai sebuah tanda dengan yang diucapkan/dilihat dan makna yang terkandung bisa jadi berbeda.1)
Sebagai sebuah tanda, meskipun mempunyai medan makna secara khusus, secara umum Lampung tetap terbuka ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan latar belakang pengalamannya. Jadi, jika ada beragam persepsi tentang provinsi ini, adalah risiko dari sebuah tanda yang terbuka itu.Tulisan ini juga adalah "tafsir" tentang tanda yang terbuka yang bernama Lampung.
Lazim sebuah wilayah punya banyak tanda. Ada geografi yang khas. Mungkin ada monumen, benda-benda jejak budaya, plaza yang unik, dan lapangan yang bersejarah. Ada masyarakat yang hidup dan bahasa (daerah) yang mungkin berbeda dengan di tempat lain. Dan, selain tanda yang sudah ada, masyarakat setiap hari juga memproduksi aneka tanda lain. Begitu juga Lampung, yang mempunyai penduduk beragam etnik, yang jumlahnya saat ini (2010) sekitar 7,5 juta jiwa. Kolonisasi yang bermula pada 1905 dan migrasi penduduk dari banyak tempat yang terus-menerus membuat Lampung menjadi wilayah multietnik. Suku Lampung sendiri hanya sekitar 11,92%, sementara suku Jawa mencapai 61.88%, dan Sunda 11.27%.2)
Komposisi masyarakat yang plural itu perlu disebut, karena sekecil apa pun punya relasi bagaimana mereka memproduksi beragam tanda. Juga kesenian, bagaimana kesenian tradisi di provinsi ini hidup? Adakah banyak ragamnya dan adakah kesinambungannya dengan kesenian modern? Adakah dadi (puisi lisan) dan warahan (prosa dalam bentuk dongeng) punya kontribusi signifikan terhadap puisi modern yang ditulis oleh para penyair Lampung hari ini? Adakah Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tampaka, Iswadi Pratama, Binhad Nurohmat, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Satria Marga, Dina Oktaviani --sekadar menyebut beberapa nama—‘mewarisi” jejak sastra tradisi itu? Termasuk Udo Karzi yang menulis puisi dalam bahasa Lampung?3) Untuk menjawab pertanyaan ini tentu perlu penelitian khusus.
2:
BENDERA-BENDERA partai, gambar-gambar para calon presiden-wakil presiden, calon anggota parlemen, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan walikota, yang dipasang di berbagai tempat (dalam berbagai ukuran), ini apa artinya? Terlebih lagi disertai tulisan jual kecap misalnya, "Partai Pembela Rakyat", “Partai Peduli Perempuan”, "Partai Jaminan Mutu", "Partainya Orang Beriman", “Partai untuk Semua”, dan lain-lain.
Lalu, para calon pemimpin publik mengumbar slogan begini, "Terbukti Santun dan Sabar", "Muda, Jujur, Gesit, Berani", “Untuk Urusan Pertanian Serahkan pada Ahlinya”, “Muda dan Tidak Sombong”, “Tokoh Harapan Masa Depan”, “Pemimpin Pas untuk Lampung”, dan sederet panjang lagi tanda “jual kecap ” yang bertempur di ruang publik. Dalam konteks merebut dukungan publik, Lampung yang satu versus Lampung yang lain. Perang tanda saling mengalahkan bisa menegangkan, memang.
Contoh “ketegangan” yang paling terasa adalah konlik politik pascapemilihan gubernur Lampung 2002. Konflik yang semula antara Alzier Dianis Tabrani versus pemerintah pusat (Departemen Dalam Negeri), berlanjut menjadi Sjahroedin ZP versus DPRD Lampung. Alzier berada di belakang DPRD. Bahkan, kemudian, paket gubernur-wakil gubernur juga pecah. Konflik antara Sjahroedin dan Syamsurya pun tak bisa dihindari.
Sisa-siasa konflik ini terasa hingga kini. Perang tanda ini sungguh melelahkan. Siapa yang memenangi pertarungan? Bagi rakyat yang terpenting adalah dampak ekonomi apa dari masing-masing tanda itu!
Konflik politik di Lampung muncul dalam pemberitaan secara nasional. Publik nasional pun memahami Lampung sebagai provinsi yang terus “memanas” selama hampir 10 tahun terakhir. Lampung muncul dengan penanda baru: bergolak!
Penanda lain sebelumnya juga masih tertancap: Lampung subur akan kriminalitas. Ada cerita yang agak menggelikan, seorang dokter dari Solo yang pindah tugas ke Lampung diratapi oleh segenap keluarganya karena berarti masuk sarang penyamun. Padahal, setelah tahu Lampung, saudara-saudara sang dokter berbondong-bondong pindah ke Lampung. Karena realitasnya Lampung aman, modern, dan prospektif secara ekonomis. Beberapa wilayah lain, peringkat kejahatannya justru lebih tinggi, tetapi tak menghasilkan petanda yang menakutkan.
Tetapi, apa pun petanda itu muncul pasti tak begitu jauh dari penanda-nya. Tak ada asap kalau tak ada api. Lampung memang mesti “belajar tersenyum” dan “menyapa” dalam bahasa pelayanan yang membuat yang dilayani merasa nyaman. (Ada banyak cerita bagaimana orang-orang dari luar Lampung bersitegang dengan beberapa pelayan di pusat-pusat perbelanjaan karena cara mereka melayani dianggap kurang berkenan).
Kearifan lokal daerah ini yang bernama piil pesinggiri (yang merupakan norma, tata krama masyarakat Lampung yang berfungsi menjaga kehormatan dan martabat) mestinya “ditegakkan” kembali. Keterbukaan dan toleransi masyarakat Lampung yang luar biasa, yang menerima siapa saja pendatang, mestinya harus menjadi nilai utama dalam pergaulan antar-etnis. Realitas ini tak boleh tenggelam oleh aneka penanda yang lain yang merugikan Lampung.
3:
JUSTRU karena Lampung sebagai penanda yang menghasilkan petanda yang “tak sepenuhnya sama” bahkan ada yang menimbulkan perasaan tak nyaman, maka provinsi ini menjadi amat penting untuk terus membangun oasis, penanda lain yang bisa mengimbangi penanda yang sudah ada. Di mana pun sering mengharapkan dunia kreatif (penciptaan) yang paling mungkin untuk menjadi tumpuan menerima tugas “mulia” itu.
Begitulah, dulu, DKI Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin melakukannya. Membangun oasis membangun tanda budaya. Di tengah citra buruk masyarakat Jakarta yang keras, egois, kriminal tinggi, di awal Orde Baru Ali Sadikin membangun Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (dengan Institut Kesenian Jakarta-nya), mendirikan gelanggang remaja dan aneka sanggar di lima kotamadya Jakarta. Segera di Ibukota yang sibuk dan “lebih kejam dari ibu tiri” (demikian dulu Jakarta dipersepsikan publik), sibuk dengan aneka kreativitas. Dunia penciptaan menjadi amat bergairah dan gemanya hingga ke seantero negeri.
TIM benar-benar menjadi rumah yang tidak saja nyaman, tetapi juga merangsang seniman untuk berkarya “sekreatif” mungkin di bidang masing-masing: sastra, teater, seni rupa, tari, dan film. Tim juga menjadi pusat aneka seni dan budaya didiskusikan. Tim juga membangun tradisi pidato kebudayaan dari berbagai tokoh terkemuka. Nama-nama besar pun “lahir” dari rahim yang bernama TIM. Sebagai oasis, TIM tidak saja menjadi pusat tontonan seni yang membangun kesadaran kritis penontonnya, tetapi juga memberi inspirasi sekian banyak anak-anak muda yang meneguhkan diri untuk berhidmat memilih hidup sebagai seniman. Bahwa seniman adalah pilihan yang sama gagah bdan mulianya dengan profesi mentereng seperti “dokter” dan “insinyur”, yang dulu sebagai simbol status tertinggi di tengah masyarakat agraris yang tengah bermimpi menjadi bangsa industri itu..
Ali Sadikin mungkin menjadi contoh gubernur yang terlalu ideal. Tidak hanya visi keseniannya yang tak tertandingi, tetapi juga kepemimpinanya yang inspiring. Sebagai sesuatu yang ideal, ia amat sulit diterapkan di tempat lain.
TIM memang kini telah meluruh, karena semangat mendekonstruksi apa saja yang bernama “pusat” yang dikemukakan Marshall McLuhan –dengan desa globalnya-- memang lebih cocok untuk zaman ini. Tetapi, apa pun, tak bisa dibantah, TIM telah menjadi rahim yang subur, tempat dilahirkannya sekian banyak seniman modern yang karya-karyanya bergema di seluruh kota Indonesia.
4:
LAMPUNG yang berpenduduk kira-kira sama dengan Swiss dan wilayahnya jauh lebih luas dari umumnya negara-negara Eropa –dan multiketnik lagi-- mestinya punya mimpi untuk menjadi bagian penting berkesenian dan aktivitas kebudayaan. Seniman, dunia akademik, dunia pendidikan, DPRD, dan pemerintah provinsi, harus benar-benar mimikirkan bagaimana membuat strategi kebudayaan yang tepat agar seluruh potensi budaya di provinsi ini menjadi bermanfaat bagi masyarakatnya. Terlebih lagi Lampung seperti juga suku Jawa, Bali, dan Batak mempunyai sistem aksara sendiri, selain bahasa Lampung tentu saja. Realitas ini bisa faktor pendukung yang kuat. Alasan lain lagi, provinsi ini menjadi wilayah di luar Jawa yang paling dekat dengan Jakarta, sebagai kota yang menjadi kiblat kesenian modern. Takdir ini mestinya menjadi dorongan untuk melaksanakan “tugas” menciptakan penanda Lampung yang lain agar menghasilkan petanda yang “berbeda”: seni. Bukankah Bali dikenal dunia bukan semata karena keindahan pulaunya melainkan karena ada aktivitas tradisi dan kesenian yang melekat pada kehidupan masyarakat Bali? Juga Solo dan Yogyakarta.
(Terlebih lagi, sejak beberapa tahun ini pemerintah Indonesia tengah mengembangkan apa yang disebut ekonomi kreatif. Ekonomi yang berbasis pada alam dan kebudayaan sendiri. Jika saja daerah-daerah juga mengembangkannya, negeri ini tak akan kekurangan sumber penciptaan).
Memang, harus kita syukuri, Lampung sejak 20 tahun terakhir ini menjadi rahim yang subur untuk melahirkan para penyair. Sastra, dalam pemahaman sosiologi (sastra), memang bukan sesuatu yang datang dari langit. Ia selalu berkaitan dengan penciptaan sebelumnya, juga dengan tradisi. Lingkungan budaya dari old societies (masyarakat lama), meminjam Clifford Geertz, sesungguhnya bisa menjadi inspirasi dan topangan budaya modern.
Meskipun kita bisa bertanya lahir dari tradisi macam apakah Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad (masing-masing sebagai penyair dan eseis terbaik) yang kita punya. Setiap membaca sajak Chairil, sungguh kita selalu mendapatkan kenikmatan baru dari bahasa yang seolah mendahului waktu. Begitu juga membaca esai-esai sastra dan seni Goenawan, saya selalu menemukan relasi sintagmatik (hubungan antar unsur dalam teks) yang indah, tetapi juga relasi paradigmatik (hubungan unsur dalam teks dengan unsur di luar teks) yang menawan dan kaya, yang membuka cakrawala pikiran. Goenawan mengakuinya sebagai seorang “Malin Kundang” yang terkutuk itu. Ia merasa menjadi penyair tanpa tradisi. “Di belakang puisi yang dituliskannya, tidak ada perbendaharaan sejarah sastra yang mantap untuk menopangnya,” tulisanya dalam “Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang”, esai yang amat memikat yang ditulisnya pada usia 20-an.2)
Tapi, dalam konteks Lampung, agaknya tak ada penyair (khususnya) yang merupakan “anak tiri” dari sejarah sastra Indonesia, meskipun mungkin berjarak dengan kesenian tradisi. Umumnya, saya kira, penyair Lampung hari ini adalah mereka yang punya kesetiaan terhadap sejarah dan tradisi sastra (modern) Indonesia. Semoga asumsi ini tak meleset benar. Meskipun, seperti Goenawan, ada juga penyair Lampung yang merasa sebagai “Si Malin Kundang”. Ada rasa tak nikmat dan bahkan, mungkin khianat, terhadap masa silamnya. Simak sajak “Arketipe” karya Iswadi Pratama:
“engkau tak sedikit pun menyisakan tanda
di dalam dirimu hanya peta lama yang berulang kali
kutafsirkan sebagai kampung halaman,
kota-kota masa lalu, dan sebuah jalan yang
menelikung bayang pohon lalu tenggelam
di balik punggung pegunungan
atau sebuah pelabuhan yang entah sejak kapan
hanya mencatat sesuatu yang cuma numpang lewat”
Masa silam bagi Iswadi tak “menyisakan tanda”, “hanya mencatat sesuatu yang cuma numpang lewat”.
Tak ada keharusan yang menuntut seorang penyair harus setia dengan masa lalunya. Itu pasti. Sebab, kesenian modern pada hakekatnya adalah karya individual, yang menurut Goenawan memang tak bisa dipaksa “mengikuti rumus-rumus umum”. Sajak “Pohon di Depan Rumah” karya Isbedy Stiawan ZS, justru memperlihatkan hal sebaliknya dengan Iswadi, yang menyikapi masa silam sebagai nikmat untuk pemandu jalan pulang, alinea pertama dan empat:
“pohon yang kutanam semasa kecil
di depan rumahku, masih melambai
daun-daunnya bagi pulangku
setelah lama kutinggalkan
………………………………………
seperti masa kanak-kanak
aku menulis lagi kenangan
ke dalam anganku
tentang pohon yang kini
selalu melambai setiapkali
aku lupa jalan pulang”
Bagi Isbedy, masa silam justru menjadi pembimbing setiap kali mengalami sebuah sesat. “Selalu melambai setiap kali aku lupa jalan pulang”. Ada rasa nikmat, sebab masa silam justru mensublimasi masa kanak-kanak yang kaya aneka pengalaman.
Lampung, yang dalam peta sastra hari ini (juga teater dengan Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat sebagai lokomotifnya), mungkin yang paling produktif di luar pulau Jawa, mestilah terus memantapkan tradisi kepenyairan yang kokoh. Selain terus mengasah kemampuan puitik dalam bahasanya, juga mesti punya banyak “tabungan” yang merupakan hasil penjelajahan ke berbagai realitas kehidupan. Sehingga teks-teks yang ditulisnya, selain nikmat dibaca, juga punya relasi asosiatif yang memperkaya pembacanya.
Untuk pencapaian itu, tidak saja harus menjelajahi banyak pengalaman lewat banyak buku, persentuhan dengan aneka dunia, juga perlu ruang untuk terus mendiskusikan “oleh-oleh” hasil interaksi sosial dan permenungannya baik dengan diri sendiri maupun dengan banyak kepala. Ini agar seni bukan hanya sebuah rutinitas, melainkan juga sebuah upaya pencarian “makna” yang terus menerus.
Menjadi seniman, adalah pilihan yang tidak main-main. Perlu komitmen dan kecintaan, perlu tangguh untuk tidak goyah pada godaan, dan ini sungguh tak mudah. Justru karena menjadi seniman tak ada sertifikasinya dan pusatnya diri sendiri, karenanya perlu kejujuran, juga kejujuran artistik. Kemampuan artistik dan “gelisah melihat realitas” adalah modal penting bagi seniman.
Para seniman Lampung yang sebagian telah disebut itu adalah kelompok yang telah dikenal publik dengan tafsir sebagai orang-orang yang kreatif. Saya tak ingin terjebak diskusi lama tentang peran sastrawan yang setara dengan “nabi” atau hanya sebagai “penghibur” belaka seperti pernah ditulis Takdir Alisyahbana. Jauh lebih penting adalah terus “memprovokasi” , bahwa tugas seniman adalah terus mencipta.
Tak ada yang bisa memaksa seorang seniman, kecuali dorongan dari dirinya untuk memilih genre seni apa yang akan digelutinya. Tetapi, sebagai penikmat sastra bolehlah bertanya kenapa penulis cerita pendek tak sesubur penulis puisi di provinsi ini? Kenapa pula lebih dari 50 penulis Lampung, hanya seorang Dyah Merta yang menulis novel? Selaian dua karya Dyah Pinissi: Petualangan Orang-Orang Setinggi Lutut (2005) dan Peri Kecil di Sungai Nipah (2007), pecinta sastra (Lampung) pasti merindukan lahirnya novel yang lain. Novel, yang menurut Sutan Sjahrir, tempat mempelajari masyarakat yang paling tepat. Bahkan, di Sumatera Barat, beberapa novel, khususya Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, telah menjadi semacam “pusaka budaya”.
Di luar pertanyaan itu, dunia kreatif juga perlu ruang apresiasi. Perlu media yang secara teratur memuat karya-karya mereka, termasuk ulasan-ulasannya . Perlu ruang tempat berdiskusi secara rutin. Lampung beruntung punya Unit Kegiatan Mahasiwa Bidang Seni (UKMBS) yang secara rutin menyelenggarakan diskusi, kadang-kadang juga pentas (selain Taman Budaya Lampung). Sastra memang akan terus ditulis, dibutuhkan atau tidak. Tetapi, diskusi menjadi ruang pertukaran yang bisa menambah gizi bagi para penulis dan penikmat seni.
Di sinilah perlunya peran kritikus sastra . Ada yang percaya, karya seni yang baik akan bicara sendiri dengan pembacanya. Tetapi, seni sering mengandung banyak kode budaya, yang tak serta merta bisa begitu saja sampai kepada semua penikmatnya, perlu ada yang menjelaskan dengan segenap pengetahuannya yang memadai. Di sinilah kritikus berperan. Menjadi sangat penting peran akademik di sini. Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan yang mempunyai Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia/Inggris, mesti punya peran penting untuk tugas ini.
Perlu juga ada semacam “pembagian tugas” dalam berkesenian: selain ada yang terus menulis kreatif, juga ada yang secara khusus menjadi pengamat atau kritikus. HB Jassin, bukan tak bisa menulis kreatif, tetapi ia kemudian memilih menjadi kritikus yang kemudian “melahirkan” begitu banyak sastrawan berkelas. Seperti juga dalam seni rupa, Jim Supangat, almarhum Sanento Yuliman, Mamanoor, mengambil tugas menjadi kritikus dan meninggalkan aktivitas perupa.
Harapan lain, bertumbuh dan berkembangnya seni rupa dan tari. Geografi dengan komposisi masyarakat multikultur mestinya bisa mendorong kedua kesenian ini bergema. Adakah peran Dewan Kesenian Lampung, kurang “merangsang” bertumbuhnya kedua kesenian ini? Apa penyebabnya? Ini pertanyaan yang harus dijawab.
5:
MEMBACA buku, menonton teater, menikmati pameran seni rupa, membaca puisi, menonton konser musik dan pertujukan tari, adalah aktivistas menyalamatkan peradaban. Terlebih lagi bagi bagi para kreatornya (para seniman), jelas berada di depan dalam menyelamatkan peradaban itu. Aktivitasnya ini harus terus berlanjut .
Menyelamatkan peradaban akan menghasilkan penanda dan petanda bagi kemanusiaan. Buku-buku para seniman akan menjadi milik masyarakat secara terbuka. Seniman-seniman sesudahnya dan masyarakat umum tak perlu studi banding jauh-jauh untuk mendapatkan legacy dari para seniman terdahulu itu. Bandingkan dengan aktivitas politik dan birokrasi yang kerap berdusta untuk mendapatkan pengetahuan ini-itu. Studi banding, misalnya.
Karena itu, selain pribadi-pribadi yang menyimpan sendiri buku-buku dan seluruh karya seni, Lampung perlu perpustakaan umum yang memadai. Yang secara lengkap menyimpan dan mendokumentasikan aneka karya, juga karya seni, yang kapan saja bisa dikunjungi masyaralat.
6:
MENJADI seniman bukankah sebuah takdir melainkan sebuah pilihan. Bukan untuk sekadar meneruskan rutinitas, melainkan untuk terus memaknai kehidupan. Sebab, seni adalah laku simpati pada kehidupan, kepada kemanusiaan. Pemberontakannya kepada realitas, kata Albert Camus, justru untuk menangkap seluruh “jerit dan getarnya” realitas itu.
Untuk melaksanakan simpati kepada hidup, ia tidak peduli adakah ia didukung oleh pemerintah atau tidak. Bukankah para sastrawan dunia, sekelas Destoyevsky, Anton Chekov, Alexander Solzhenitsyn –hanya menyebut beberapa nama-- dalah orang-orang yang oleh pemerintahnya disebut terkutuk?
Memang menjengkelkan gedung sekelas Taman Budaya Lampung tak punya genset. Padahal, provinsi ini kerap menjadi korban PLN; mati lampu. Pengalaman ini pernah saya alami ketika hendak menonton pentas Teater Satu karya sutradara Iswadi Pratama di Taman Budaya Lampung di penghujung tahun lalu. Berjam-jam penonton yang umumnya anak-anak SMA menunggu. Mereka tak beranjak dari tempat duduk. Ini sungguh menakjubkan. Jika, ini pentas musik pop, mungkin sudah kacau. Kenapa pemerintah tak mampu membeli genset seharga Rp500 juta? Padahal, untuk dunia politik yang kerap memproduksi konflik, selalu tersedia dana, berapa pun.
Tetapi, sekali lagi, faktor pemerintah jangan jadi penghalang. Contoh Ali Sadikin dan TIM agaknya cuma terjadi di Jakarta, dulu. Karena itu, dari pada terus berharap belas kasihan pemerintah, sebaiknya tetap terus mencipta tanpa atau dengan peran pemerintah.
Sesungguhnya, yang membutuhkan seniman, yang membutuhkan gedung kesenian yang memadai, perpustakaan yang lengkap, ruang diskusi yang baik, bukanlah seniman, melainkan masyarakat. Di negeri mana pun pemerintahlah yang paling punya kekuatan memenuhi “kebutuhan” masyarakat itu…
Sementara bagi seniman, kemerdekaan itulah ruang yang paling berharga .... ***
Catatan:
1). Buku De Saussure tentang semiotik yang terkenal berjudul Course in General Linguistics (1986) dari terjemahan bahasa Prancis Cours de Linguistique Generale (1916).
2). Selengkapnya menurut BPS tahun 2000 , suku Jawa (61,88%), Lampung (11,92%), Sunda (11,27%), Semendo dan Palembang (3,55%), dan Bugis, Bengkulu, Batak, Minangkabau, dan lain-lain (11,35).
3). Kumpulan puisi Udo Karzi dalam bahasa Lampung berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (2007) memenangi Hadiah Sastra Rancage Tahun 2008.
4). Pemilihan Gubernur Lampung 30 Desember 2002 dimenangi pasangan Alzier Dianis Tabrani-Ansyori Yunus. Pemerintah pusat membatalkan kemenangan Alzier karena ada dugaan pelanggaran tata tertib. Konflik kemudian berujung pada drama pengangkutan Alzier ke Jakarta dengan helikopter. Alzier ditahan. Konflik politik terus berlanjut meskipun telah digelar pemilihan gubernur berikutnya pada 2004 yang dimenangi Sjahroedin ZP-Syamsurya Ryacudu. Alzier kemudian mengungat keputusan Mendagri No.161.27-598 Tahun 2003 yang berisi pembatalan pelantikan dirinya sebagai gubernur Lampung. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Alzier dengan putusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 437/Tun/2004 tanggal 17 Jumi 2005. Konflik politik pun meruncing. Berpegang pada putusan MA DPRD Lampung menerbitkan SK No.15 Tahun 2005 yang isinya mencabut surat penetapan Sjahroedin-Syamsurya Ryacudu sebagai gubernur-wakil gubernur Lampung periode 2004-2009. Dalam perkembangannya konflik berlanjut makin runyam, karena justru terjadi antara gubernur versus wakilnya: Sjahroedin versus Syamsurya.
* Esais, Wakil Pemimpin Umum Harian Lampung Post
0 komentar:
Posting Komentar