Rois Said
Sembari minum kopi, angin pagi lembut menyapa. Berbisik mungkin tepatnya. Seperti langkahnya yang tak terekam jejak. Incognito. Mendompleng butir-butir embun yang gemerisik terusir geliat si penguasa siang yang baru bangun.
“Selamat pagi…” katanya.
Aku terperanjat. Kucing mengeong memberi jawaban. Tanganku masih belepotan.
Aku terperanjat. Kucing mengeong memberi jawaban. Tanganku masih belepotan.
“Maaf, tak bisa menyalamimu. Kau ambillah apa yang kau mau dan tersedia di sini. Lakukan juga apa yang kau suka. Aku sibuk. Benar-benar sangat sibuk!” Terus terang, aku agak ketus menyambutnya pagi ini.
Dia pun seperti tahu. Pasti dia tahu, dari sikapku. Dia tersenyum.
Dia pun seperti tahu. Pasti dia tahu, dari sikapku. Dia tersenyum.
“Ada pesan untukmu dari surga…” bisiknya.
Bau mulutnya begitu harum kuakui. Aku sempat terbius dibuatnya. Tapi aku masih ketus. Buat apa percaya ucapannya, pikirku. Setiap kali aku mulai percaya, seenaknya dia pergi tanpa meninggalkan jejak. Membiarkan dadaku sesak dengan harapan. Memusingkan otakku yang sibuk mencari-cari gambaran yang dia janjikan.
Decit rem sepeda kasar terdengar. Pintu gerbang besi karatan berderak dibuka dari luar. Standar diinjak sandal plastik kumuh berpeluk lumpur tanah becek. Pintu dapur dibuka.
Decit rem sepeda kasar terdengar. Pintu gerbang besi karatan berderak dibuka dari luar. Standar diinjak sandal plastik kumuh berpeluk lumpur tanah becek. Pintu dapur dibuka.
“Eh, istrimu juga dititipi salam dari sana…” wajah si angin pagi makin antusias. Tapi aku makin beringas.
“Mamaaaaaaaa…” si kecil mengawali harinya dengan tangisan panjang.
“Mamaaaaaaaa…” si kecil mengawali harinya dengan tangisan panjang.
“Aha.. aku hampir lupa. Anakmu juga..” si angin pagi hampir berjingkrak namun segera terpenggal hardikanku.
“Apa?!! Anakku dapat salam juga dari surga? Kenapa tak kau bawakan saja coklat buat anakku? Memangnya di surga tak ada coklat?? Atau, kenapa tidak kau ambilkan khuldi buat istriku?! Tak perlu lagilah kau bisiki aku. Lama-lama mulutmu bau asem tai kucing! Apa kau tak pernah dengar selentingan kalau tuhan sudah mati? Coba kau kabarkan itu sama orang-orang! Kenapa musti aku terus yang kau jejali bisikan-bisikanmu?”
Wajah angin pagi memerah, tapi sebentar pucat. Tersenyum kecut dia beringsut. Semerbak air kencing menghampiri. Si kecil riang menyapa, “Ayaaaah…”
Wajah angin pagi memerah, tapi sebentar pucat. Tersenyum kecut dia beringsut. Semerbak air kencing menghampiri. Si kecil riang menyapa, “Ayaaaah…”
Kupeluk dia hangat. Kuhirup rakus bau kencing yang membungkus badannya. Ini realitas, batinku.
“Ayah, ini setengah bungkus rokok pesananmu.”
“Ayah, ini setengah bungkus rokok pesananmu.”
“Makasih, Sayang.”
Mulut asam tak sabar menghisap asap tembakau setelah semalaman puasa.
Mulut asam tak sabar menghisap asap tembakau setelah semalaman puasa.
“Dagangan gimana?” tanyaku di sela hisapan pertama.
“Maaf, cuma laku setengah… enggak cukup buat beli bahan besok…”
Asap tembakau seketika berubah tombak. Menyumbat aliran napas di kerongkongan. Wajah dan mataku merah. Antara asap dan amarah. Kuberikan si kecil pada ibunya. Segera melonjak mencari si angin surga. Akan kubunuh dia dengan cerita istriku! Tapi dia sudah menghilang bersama siang. Napas tersengal. Pinggang dikacak. Kutunggu kau esok, angin pagi! Ingin tahu, cerita apa lagi yang kau bawa dari surga…!
Asap tembakau seketika berubah tombak. Menyumbat aliran napas di kerongkongan. Wajah dan mataku merah. Antara asap dan amarah. Kuberikan si kecil pada ibunya. Segera melonjak mencari si angin surga. Akan kubunuh dia dengan cerita istriku! Tapi dia sudah menghilang bersama siang. Napas tersengal. Pinggang dikacak. Kutunggu kau esok, angin pagi! Ingin tahu, cerita apa lagi yang kau bawa dari surga…!
0 komentar:
Posting Komentar