ESAI
Khrisna Pabhicara Mare*@1bichara
Khrisna Pabhicara Mare*@1bichara
Remy Silado, Goenawan Mohamad dan Sutardji Calzoum Bachri merasa jengah. Mereka merasa tidak layak dimasukkan ke dalam jajaran 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Pada sisi berbeda, Denny JA—meski pernah menyatakan tidak sedang dalam upaya bela diri—sibuk memampang pernyataan-pernyataan pembelaan atas keterpilihannya.
Tentu sah-sah saja “trio jengah” di atas merasa tidak layak, dan boleh-boleh saja Denny menabalkan diri sangat layak ditahbiskan sebagai tokoh paling berpengaruh. Bagaimanapun, mereka tentu memiliki latar pikir yang, semoga, cukup beralasan. Orang-orang di luar mereka hanya bisa menerka-nerka, menduga-duga, atau membaca tanda-tanda.
Berikut ini akan saya suguhkan “tanda-tanda” yang disajikan oleh Denny JA lewat akun twitter-nya, @DennyJA_WORLD.
(4) Gaus, Tim 8, memastikan bahwa donator program ini dua pengusaha berinisial ET dan FE … [08.09; 22/1/14]
(5) Tim 8 menyatakan secara publik bahwa pendana program buku 33 Tokoh Sastra bukan Denny JA … [08.11; 22/1/14]
(6) Kesaksian Tim 8 menyadarkan kita betapa gosip dan fitnah itu salah (soal pemberi dana 33 Tokoh) … [08.15; 22/1/14]
Tanda elipsis saya gunakan untuk mewakili bagian cuitan Denny JA yang merupakan tautan blog pribadi anggota Tim 8, Ahmad Gaus.
Pada cuitan nomor 4, Denny JA menyatakan bahwa kepastian muasal modal, merujuk pada buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, berasal dari Gaus. Sementara, pada nomor 5, Denny menyebutkan bahwa pernyataan siapa yang mendanai program bersumber dari Tim 8.
Bahkan, pada angka 6, Denny menggunakan frasa yang sangat spesifik, Kesaksian Tim 8. Mengingat ajakan Chairil agar kita rajin-rajin berkaca dan menjenguk nurani, saya coba merenung dan berkali-kali mengeja tiga cuitan itu. Ini tidak berkait-paut dengan label “ekstrimis sastra” yang disematkan Denny JA kepada orang-orang yang menolak penokohannya.
Tilikan ini bertumpu pada teks semata.
Pertama, pewakilan. Seandainya Denny menyebut muasal kabar penaja buku dari Ahmad Gaus, bukan Tim 8, saya takkan menghubung-hubungkan pernyataan Ahmad Gaus dengan Tim 8. Artinya, Ahmad Gaus tetap dalam kapasitas atas nama pribadi, bukan “dengan dan atas nama Tim 8”. Hanya saja, bila kita pindah pada cuitan kelima dan keenam, jelas-jelas Denny JA menyatakan bahwa Tim 8—berarti Ahmad Gaus dan tujuh juri lainnya—selaku pihak pemberi keterangan.
Ini “fitnah samar”.
Kalau kita sasar lebih jauh, akan muncul kesangsian: apakah benar pernyataan Ahmad Gaus mewakili pendapat juri yang lain; apakah pernyataan Ahmad Gaus dilansir dengan atau tanpa sepengetahuan juri yang lain; apakah juri lain sepakat melimpahkan kewenangan kepada Ahmad Gaus untuk membuat pernyataan atas nama Tim 8; dan apakah Denny JA sudah memastikan bahwa pernyataan itu benar-benar mewakili Tim 8 atau sebatas pendapat pribadi Ahmad Gaus saja.
Kesangsian-kesangsian yang mencuat akibat ambiguitas cuitan Denny JA boleh jadi sebentuk kelalaian. Namun, bisa juga ditengarai sebagai unsur kesengajaan. Tafsir ganda sangat mungkin lahir dari seruntun kicauan itu. Celah sempit tafsir ganda inilah yang ditangkap sebagai peluang untuk membengkokkan opini khalayak, bahwa seolah-olah pernyataan itu benar-benar berasal dari Tim 8. Belum tentu semua umat (follower) Denny JA di twitter membaca keseluruhan kicauan itu, boleh jadi sebagaian di antara mereka hanya membaca angka 5 atau 6.
Ketidakcermatan inilah yang, bisa ya bisa tidak, sengaja dimanfaatkan. Akibatnya, persepsi yang muncul, Tim 8 yang mengeluarkan pernyataan.
Lantas, kapan dan bilamana pewakilan itu dilakukan?
Untung saja Chairil sudah tidak bisa berdiri tegak di hadapan “raja kuis” ini dan menyodorinya sebuah cermin biar segera berkaca.
Kedua, tidak ingin membela diri. Melalui kicauan lain yang dilontarkan pada pukul 08.25, sepuluh menit setelah cuitan berangka 6 yang saya kutip di atas, ada pernyataan menarik dari Denny JA. Bunyi cuitannya: (12) Saya tak ingin bela diri. Namun berkepentingan memelihara Indonesia y[an]g bebas berkarya dan bebas fitnah.
Simak pendampingan saya dan Indonesia, serta runutan memelihara-berkarya-fitnah. Asumsi yang beredar di tengah publik, terutama masyarakat sastra Indonesia, mengira Denny “sumur modal” penyusunan buku. Saya, dalam cuitan di atas, identik dengan eksistensi Denny sebagai pribadi yang ditokohkan dan paling berpengaruh, sementara Indonesia merujuk pada masyarakat yang mendiami Nusantara secara keseluruhan. Saya diposisikan sebagai penderita yang takkan membela diri.Indonesia menjadi medan bagi saya untuk menunjukkan ketokohan dan kepaling-berpengaruhandengan tindakan “memelihara”. Tujuannya, agar yang dipelihara itu bebas dari fitnah.
Apabila kita kaitkan kicauan 4, 5, dan 6, jelas bahwa Denny JA sedang membela diri dengan menjadikan pernyataan Ahmad Gaus sebagai perisai. Meskipun dapat lahir tunas curiga baru ihwal siapa melindungi siapa atau siapa yang berlindung pada siapa. Sayang, Denny kurang hati-hati. Publik, terutama orang-orang yang berseberangan dengan pilahan Tim 8, tidak pernah menebar fitnah.
Tudingan bahwa Denny yang menggelontorkan “banyak” uang guna mendanai proyek bukan berasal dari publik, melainkan dari anggota Tim 8. Tepatnya, Maman S. Mahayana. Yang menyedihkan, Denny menelan mentah-mentah kesaksian Ahmad Gaus dan mengabaikan pernyataan Maman S. Mahayana yang lebih dulu bergema di kuping khalayak. Tentulah Gaus dan Maman punya argumentasi masing-masing dan tidak ada di antara kita, termasuk Denny JA, yang bisa memastikan siapa yang paling benar di antara mereka. Bisa Gaus, bisa Maman. Bahkan, mungkin saja, keduanya. Kita tidak mungkin pula memastikan siapa di antara Gaus dan Maman yang menebar fitnah. Bisa Gaus, bisa Maman.
Uniknya, secara amat benderang Denny berpihak pada Gaus. Dengan demikian, Denny memastikan bahwa penebar fitnah adalah Maman S. Mahayana—dengan asumsi bahwa pengamat sastra yang sekarang merantau ke Korea Selatan itu yang mengungkap penaja proyek. Banyak sekali kemungkinan yang tercium dari segitiga membingungkan ini: Ahmad Gaus melindungi kepentingannya dan kepentingan Denny dengan mengacu pada dua inisial (yang mungkin saja fitnah), Maman S. Mahayana yang menyingkap tabir suram yang telah meluluh-lantakkan reputasi dan integritas yang dibangun susah payah selama bertahun-tahun, atau Denny yang mati-matian mempertahankan citra baik di dunia persinggahannya.
Siapa yang benar di antara segitiga membingungkan itu?
Coba saja Chairil bisa bangkit dari “lelap tidurnya” untuk mengajak Tim 8 yang lain, terutama Jamal D. Rahman selaku Ketua Tim, agar kembali pada nurani.
Ketiga, potensi drama baru. Tatkala gonjang-ganjing belum surut, tiba-tiba Denny JA riuh menyulut sengkarut baru alih-alih berupaya menahan diri. Pada 24/1/14, “juru survei” ini berkicau perihal rencana memproduksi video 33 Tokoh Sastra Indonesia. Ini cuitan utuhnya.
(13) Video 33 Tokoh Sastra Indonesia @ 25 menit untuk serial TV menarik untuk direalisasikan. #denny_JA #sastra [24/1/14; 08.56]
Sekadar berteka-teki, dari mana gerangan ide ini berasal? Boleh jadi gagasan itu bermula dari “keisengan” Denny sendiri, dengan maksud agar keterpilihannya sebagai tokoh sastra paling berpengaruh lebih mengakar di benak warga Indonesia. Semacam film G30S dicangkokkan ke dalam dada generasi muda. Mungkin juga dari sodoran proposal Ahmad Gaus, atau anggota Tim 8 yang lain, agar mendapat proyek berkelanjutan. Maklum, dapur harus tetap aman. Apabila ini yang terjadi, saya menaruh iba yang dalam kepada Denny karena akan “dikorbankan” sebagai sasaran cerca lagi, selain, barangkali, mesin penyetor duit lagi. Sempat berkelebat di benak sempit saya adegan Denny yang mulai jengah—sebagaimana tiga tokoh lain—dan menyatakan “tidak layak ditahbiskan sebagai yang paling berpengaruh”.
O ya, ini teka-teki bersaput misteri semata, jangan disangka sekuntum fitnah. Tetapi, sah-sah saja Denny-Gaus-Tim 8 menyatakan teka-teki saya ini sebagai fitnah, lalu saya dilaporkan dengan delik pencemaran nama baik. Hitung-hitung, andaikan terjadi, akan mendongkrak popularitas saya. Dan, tiba-tiba lebih dari delapan juta orang datang dan membaca tulisan ini.
Tetapi, saya tidak akan mengulas anggitan Ahmad Gaus terkait klaim itu di sini. Sedang saya siapkan tulisan lain sehubungan dengan klaim itu.
Kita kembali pada perkara video tokoh tadi. Saya bayangkan proses produksi video itu bertemu banyak hambatan. Penolakan beberapa tokoh, misalnya. “Kekuatan” uang belum tentu dapat membelokkan kejengahan Remy, sekadar menyebut nama, menjadi sebentuk keriangan lantaran segepok uang disodorkan kepadanya.
Pada akhirnya, sebagai salah seorang penanda tangan petisi, saya menyarankan agar Denny JA lebih mawas diri. Konon, bukit akan rata kalau terus-menerus dikeruk. Nama besar dapat runtuh seketika apabila diri kurang awas. Apalagi, mengingat sastra hanya “rumah singgah” baginya, akan lebih elok apabila beliau berbesar hati untuk menahan diri. Cobalah sesekali penuhi ajakan Chairil. Luangkan waktu, barang sepermainan sepak bola, untuk menyapa dan berbincang-bincang dengan nurani.
Tidak perlu menunggu Chairil tiba bersama cerminnya, bukan? []
* Cerpenis, tinggal di Bogor
0 komentar:
Posting Komentar