Bambang Satriaji/Teraslampung.com
JAKARTA--Anggota Badan Legislasi DPR RI, Abdul Hakim, menyatakan revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) sangat penting dan mendesak dilakukan. Penegasan itu disampaikan Hakim menanggapi pendapat Imparsial, salah satu NGO di Indonesia, yang menyatakan revisi UU Polri belum diperlukan.
Pernyataan Imparsial disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum Baleg dengan Imparsial, The Asia Foudation dan Kontras dipimpin Anggota Baleg, Hendrawan Supratikno, di DPR RI, Jakarta, Rabu (29/1)
Sebelumnya dalam rapat tersebut, Imparsial diwakili Al Araf berpendapat revisi UU Polri tidak penting sehingga tidak perlu untuk dilakukan revisi.
Menurut Abdul Hakim, revisi UU Polri bertujuan agar kinerja Polri ke depan lebih bagus, profesional, akuntable dan semakin memberikan pelayanan kepada masyarakat.
"Ada dua kata kunci pada UU Polri, yaitu terkait dengan fungsi dan lembaga kepolisian itu sendiri. Walaupun tadi dari Imparsial tidak sependapat untuk dilakukan revisi karena dikhawatirkan membuka luka lama dan sebagainya. Tapi ini adalah untuk kepentingan bersama kepentingan merah putih, negara dan kepentingan sebagai anak bangsa”, jelas politisi dari F-PKS ini.
Oleh karenanya, Abdul Hakim mengajak untuk mencermati UU Polri yang ada saat ini termasuk implikasi dari regulasi yang ada saat ini bagi persoalan-persoalan kebangsaan, kenegaraan, penegakan hukum, dan persoalan keamanan.
Hakim menegaskan jika dicermati secara objektif dan jernih terkait dengan implikasi UU Polri yang berlaku pada saat ini bagi kepentingan bangsa, penegakan hukum, pelayanan dan fungsi-fungsi kepolisian secara umum, papar Abdul Hakim, pada akhirnya kita akan pada kesimpulan yaitu sependapat bahwa UU Kepolisian harus direvisi. Hanya persoalannya pada aspek mana harus kita revisi.
Hakim khawatir jika kita masih mengkhawatirkan akan membuka luka lama dan lain sebagainya, kita tidak akan pernah maju ketika masih dihantui oleh sebuah trauma.
"Agenda reformasi harus dilanjutkan, diperkuat dan tidak boleh berhenti, serta tidak boleh dibayang-bayangi oleh sebuah ketakutan yang akhirnya tidak membuat suatu perubahan. Jika dicermati masukan dari Imparsial, The Asia Foundation dan Kontras, sebetulnya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa UU Polri harus direvisi baik secara filosofis, yuridis, sosiologis dan secara prakteknya. Sekalipun juga memang banyak praktek-praktek kinerja kepolisian yang belum memuaskan,” tegas Hakim.
Terkait keterlibatan masyarakat dalam konteks fungsi kepolisian, Hakim mengajak untuk mencermati lebih jelas dan akurat lagi terkait dengan posisi UU Polri atau implikasinya dengan persoalan lain.
Dia mencontohkan, pada Pasal 35 UU Polri tentang Pelanggaran Kode Etik Kepolisian diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian. Dia menilai, ini menjadi sangat tidak relevan karena peraturan tersebut dibentuk dengan Keputusan Kapolri. Sementara kita mengharapkan kinerjanya, namun Polri mengawasi sendiri dan memberikan penilaiannya sendiri.
Lain lagi terkait dengan Pasal 41, imbuh Abdul Hakim, Imparsial mengharapkan bantuan TNI diatur dalam UU. Sementara didalam UU Polri ini diatur oleh Peraturan Pemerintah. Dengan demikian mengharuskan adanya revisi.
“Inilah termasuk alasan yang kuat untuk melakukan revisi terkait UU kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebuah kemestian,”kata Hakim.
0 komentar:
Posting Komentar