Malari

KOLOM BAHASA

Adian Saputra*


Jakarta pada 15 Januari 1974 (Dok)
Pada tanggal 15 Maret 1974 terjadi peristiwa besar di Jakarta. Kejadian itu berupa pembakaran dan penjarahan terhadap toko dan barang-barang bikinan Jepang. Peristiwa kerusuhan yang awalnya demonstrasi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka itu berimbas pada penangkapan banyak aktivis. Itulah peristiwa kerusuhan besar setelah delapan tahun Suharto menjadi presiden. 

Tulisan ini tentu tidak membahas ihwal kerusuhan itu. Tapi yang menarik tentu saja dari akronim nama peristiwa itu yang terkenal sampai dengan sekarang. Peristiwa itu dikenal dengan Malapetaka Lima Belas Januari. Media kemudian mengakronimkannya menjadi Malari. Nama itulah yang kemudian banyak diucapkan sekarang. 

Mungkin kalau ditanyakan kepada masyarakat, tak banyak yang tahu apa kepanjanganya dari Malari itu. Media memang mempunyai peran yang penting dalam menyebarluaskan sebuah akronim atau kata baru dalam kosakata bahasa kita. Sebetulnya kata atau istilah itu tidak dikenal sebelumnya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena sering disebut di media, kemudian orang juga akrab dengan kata itu, makin terkenallah diksi baru tersebut. Termasuk juga Malari. 

Dalam ranah kesejarahan Indonesia, masyarakat memang akrab dengan akronim yang penyingkatan semacam itu. Selain Malari, kita juga akrab dengan lema Supersemar yang merupakan akronim dari Surat Perintah Sebelas Maret. 

Nama Supersemar ini sangat terkenal semasa Orde Baru. Bahkan, nama yayasan yang dibentuk untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia juga menggunakan nama ini: Yayasan Supersemar. Anehnya, kampus yang menggunakan nama Supersemar, malah tidak ada Supersemar-nya. Kampus Universitas Negeri Sebelas Maret malah disingkat menjadi UNS, bukan Unsemar, misalnya. Entah apa pertimbangan si pengguna, lebih menyukai singkatan atau akronim. Yang jelas, dengan menyingkat dan mengakronimkan kumpulan kata yang agak panjang, bisa lebih ringkas. 

Media massa juga andil dalam memasarkan diksi-diksi baru dalam ranah kebahasaan kita. Bahkan, ada banyak diksi baru yang sengaja diciptakan oleh media massa, khususnya koran dan portal berita. Barangkali dengan alasan ekonomi kata, media kemudian memberikan lema baru yang lebih ringkas. 

Tentu akan lebih pendek menyebut pemilu ketimbang pemilihan umum, lebih ringkas mengucapkan pilpres dan pileg ketimbang pemilihan umum presiden dan pemilihan umum legislatif. Termasuk juga menyebut pilkada ketimbang mengatakan pemilihan umum kepala daerah. Kita kembali ke Malari. 

Penulis tidak mengetahui dengan persis, apakah peringkasan Malapetaka Lima Belas Januari ini menjadi Malari saat Orde Baru juga mesti disetujui Presiden Suharto ketika itu. Sebab, dahulu berbeda dengan sekarang. Dahulu, sebuah pemberitaan saja bisa membuat penguasa menjadi marah. Imbasnya, media cetak banyak yang dibredel. Dalam konteks peristiwa Malari, banyak media yang kemudian dicabut izin terbitnya. Yang paling terkenal tentu koran Indonesia Raya yang diberhentikan operasioanalnya oleh penguasa. 

Penulis menduga-duga, selain pilihan untuk menjadi koran yang berani mewartakan peristiwa itu, pilihan pada makna kata juga berpengaruh. Mungkin jika pilihan beritanya tidak mengambil sudut yang mengkritik pemerintah, nasib media cetak saat itu akan lain. Tapi, ini hanya dugaan. Barangkali juga, diksi Malari ini juga mesti mendapat persetujuan penguasa saat itu. Bisa jadi pula, diksi ini, yang kesannya memang seram, sengaja dibuat untuk memberangus kebebasan berdemokrasi di Indonesia. Kalau sekadar rusuh, mungkin sudah biasa. Sebab, ketika peralihan Orde Lama ke Orde Baru pada 1965-1966, Indonesia juga mengalami kerusuhan yang akbar, dengan korban kebanyakan warga yang diduga terkait dengan PKI. Hal ini menarik untuk dikaji lantaran saat reformasi bergulir, kita tidak mengenal satu diksi yang mewakili peristiwa kerusuhan itu. Padahal, itu juga babak baru dalam lembaran sejarah Indonesia.

Menurut penulis, peristiwa saat 1998 saat Presiden Suharto mundur tidak kalah gempitanya dibandingkan peristiwa pascapembunuhan enam jenderal yang kemudian dikenal dengan Pahlawan Revolusi. Tak kalah panas juga dengan Malari. Namun, mengapa hanya Malari yang punya diksi atau akronim khusus? Barangkali kajian soal ini tidak melulu berkenaan dengan bahasa, tapi juga dikaitkan dengan aspek sejarah, sosiologi, dan politik. Ini membuktikan, dalam kasus tertentu, bahasa juga berkelindan dengan disiplin ilmu lainnya. 

Munculnya diksi Malari ini juga mungkin membuktikan, untuk hal yang "negatif", kita mudah memadankan sebuah kata baru kepadanya. Tapi untuk sesuatu yang sukacita, gembira ria, dan sejenisnya, kita sulit menemukan diksi baru yang wah. Momentum peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi sebetulnya bisa ditinjau dari sisi positif. Bukan sekadar ada demo besar, kerusuhan di mana-mana, dan sebagainya. Tapi ini bentuk perubahan bandul politik dan aspek lainnya ke arah yang diharapkan lebih baik. 

Meskipun demikian, tak ada istilah baru yang diciptakan saat itu. Hanya diksi reformasi saja yang bergaung sampai dengan sekarang. Tidak ada akronim yang bisa menyangi keriuhan Malari berbilang tahun yang lampau. Malari, Supersemar, dan G-30-S/PKI adalah diksi yang begitu lekat dalam ingatan kita sampai dengan sekarang. Bahasa selama Orde Baru ternyata kuat sekali bersemayam di ingatan kolektif bangsa kita. 

Barangkali itulah "keunggulan" Orde Baru dengan Presiden Suharto sebagai tokoh sentralnya, termasuk dalam ranah kebahasaan. Kalau bahasa saja bisa dikuasai dan diarur sedemikian rupa dengan banyak diksi dan singkatan yang legendaris, wajar kiranya The Smiling General itu bisa bertahan 32 tahun. 

Semoga tidak terjadi lagi yang sejenis dengan Malari.

* Jurnalis dan penulis buku

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan