Kumasuki wajahmu. Sebuah ruang tunggu
kini terkunci. Satu elevator dari pecahan mimpi,
kebohongan serupa kertas tisu di toilet usia,
dinding menara pemantau dari sayatan luka:
Bandara dari serpihan tanda tanya. Cermin di matamu telah menyusun lekuk hidungku,
kerut keningku, juga seuntai tanka pada maut
dan permainan warnanya. Tak ada yang mesti kautunggu. Misteri itu telah jadi sebutir salju.
Lalu kauingat sepoi angin di teras rumahmu
adalah film-film kosong di layar batinku.
Kaumasuki wajahku. Detik-detik berguguran
menjelma laron-laron cahaya, juga metafora
tentang api lilin yang membakarnya. Cermin
telah pecah di mataku. Satu ilusi telah sirna.
Sekarang, ruang tunggu itu kembali terbuka.
Namun, lekas kaubatalkan jadwal terbangku,
dan telah kaupilih sunyi untuk menghantarku:
Pulang ke langit matamu.
0 komentar:
Posting Komentar