Kisah Lain: Cerita tentang Akil Mochtar (3)

KISAH LAIN

Muhlis Suhaeri

Akil Mochtar (Dok Analisisnews)
Putussibau, merupakan kalimat yang ditakuti pegawai negeri pemerintah atau swasta. Karenanya, bila ada pegawai yang dianggap membangkang atau kurang produktif, akan dipindah ke sana. Mereka akan minta ampun pada atasannya. Dipindah ke Putussibau, berarti harus siap-siap dengan keterasingan. Bahkan, ada semacam anekdot, “Lebih baik putus cinta, dari pada Putussibau.”



 
Keluarga Sederhana dan Disiplin Tinggi

Ketika menjadi reporter di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), 2001, saya berkesempatan melakukan wawancara untuk rubrik Apa dan Siapa Tempo. Saya wawancara dengan 50-an tokoh di bidangnya. Tokoh itu dari berbagai bidang. Beberapa di antaranya para pucuk pimpinan serdadu, Endriartono Sutarto (Panglima TNI), Marsekal Muda TNI Graito Usodo (Kapuspen TNI), Laksamana Bernard Kent Sondakh (KASAL). Agamawan, Hasyim Muzadi, Mustofa Bisri, Habib Rizieq, Ja’far Umar Thalib. Pengacara, Amir Syamsuddin, Albert Hasibuan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hendardi. Aktivis, Munir, Bambang Widjoyanto, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari. Sutradara film, Aria Kusumadewa, Riri Reza, Rudi Sujarwo. Penulis, Taufik Ismail, Sapardi Joko Damono, Ayu Utami, Hamsad Rangkuti. Seniman, Sawung Jabo, Dolorosa Sinaga. Ekonom, Renald Kasali. Artis, Okky Asokawati, Lola Amaria, Ine Febrianti. Dan, masih banyak lagi. Saya wawancara dengan mereka minimal satu jam.

Dari wawancara itu, saya mengambil kesimpulan, keberhasilan yang mereka peroleh, tidak lepas dari didikan dan bimbingan orang tua. Hal lain adalah, semangat dan kegigihan dalam berjuang serta menekuni profesinya.

Nah, begitu pun, ketika saya wawancara dengan HM Akil Mochtar, SH. MH, calon gubernur Kalbar. Dua hal itu muncul pada diri Akil. Tak heran, bila dia berhasil dalam bidang yang ditekuninya. Ketika menjadi pengacara, nama Akil melambung hingga jenjang nasional dan internasional. Hal itu bisa dilihat ketika dia menangani kasus salah vonis, Lingah, Pacah dan Sumir. Begitu pun ketika menjadi anggota DPR RI. Akil memberi warna tersendiri dan muncul dalam berbagai pemberitaan media massa. Dia orang yang kritis dan membawa aspirasi masyarakat Kalbar yang diwakilinya.



***

ORANG TUA itu telah berumur 87 tahun. Namanya, Mochtar Anyoek. Badannya tidak terlalu tinggi. Sekitar 160 cm. Cara berjalannya masih tegak dan kuat. Garis-garis waktu menanda dengan jelas di tubuhnya. Menimbulkan guratan pada kening, dahi dan seluruh kulit. Di dahinya ada lebam hitam. Tanda itu seperti mengisyaratkan, dia seringkali membungkukkan punggung dan menempelkan dahinya untuk bersujud, pada sang penciptanya. Memang demikianlah adanya.

Sebuah alat membantu pendengarannya. Usia menggerogoti fungsi telinga. Dia kelahiran 22 Maret 1920. Ketika melamar pegawai negeri dan bisa diterima, umurnya ditulis lebih muda. Jadi, pada KTP-nya sekarang, tertera kelahiran Putussibau, 22 Maret 1923.

Anyoek lahir di Dusun Nanga Nyawa, Desa Bekuan, Simpang-Sejiram, Kapuas Hulu. Dia keturunan Dayak Suhaid. Keluarganya ada tiga orang. Mereka berpencar. Hanya satu orang tinggal di Nanga Nyawa.

Lelaki itu santun dan lembut penampilannya. Wajah dan sorot matanya mengisyaratkan hal itu. Di balik penampilannya yang lembut, tersimpan energi besar. Bekerja dan terus berusaha.

Dia sosok pekerja keras. Segala pekerjaan pernah dijalaninya. Bahkan, ketika usia telah menginjak senja, dia masih menggembalakan kambing dan sapi di padang rumput sekitar kampung. Saban hari, dia mengayuh sepeda dan menuntun binatang peliharaannya. Anak-anaknya tentu tidak ingin ayah mereka mengerjakan hal ini. Namun, sang ayah tidak bisa dilarang.

Apa boleh buat, terkadang anaknya sengaja merusak sepedanya. Tujuannya, agar sang ayah di rumah dan beristirahat. Sang ayah dengan segala cara mencari sepeda pengganti, dan kembali mengangon sapi dan kambingnya.

Ya sudah. Mungkin dengan cara itu bisa menghibur dirinya. Begitu kira-kira desahan yang dirasakan anaknya. Merekapun membiarkannya tetap beraktifitas. Dia pekerja keras dan ulet sedari muda.

Keluarga ini mempunyai sembilan anak. Anak pertama bernama Asnah Mochtar. Kedua, Syahril Mochtar. Ketiga, Siti Murjanah. Keempat, Dahyani Mochtar. Kelima, Fatmawati. Keenam, Muhammad Akil Mochtar. Ketujuh, Agustina Mochtar. Kedelapan, Ahmad Mulyani Mochtar. Kesembilan, Muhammad Kamil Mochtar.

Anyoek memberi nama anaknya dengan nama orang besar dan terkenal di Indonesia. Nama Syahril diambil dari Perdana Menteri Pertama Indonesia, Sutan Sahrir. Nama Fatmawati diambil dari istri Presiden Sukarno. Nama Mulyani diambil dari nama Ade Irma Suryani, karena bertepatan dengan peristiwa G30SPKI. Tapi, nama itu menjadi A. Mulyani.

Zaman dulu, keluarga sebesar ini dianggap lumrah. Meski berjumlah sembilan orang, mereka akur dan tidak berselisih. “Bagaimana ya, orang tua kalau diukur dengan pendidikan tentu sangat minim. Tapi anak bisa akur. Rasa kekeluargaan memang sudah ditanamkan sejak dini. Jadi, rasa kekeluargaan sampai sekarang masih kuat,” kata Agustina Mochtar. Seluruh keluarga memanggil Agustina dengan sebutan Anjang. Artinya, orang yang disayang.

Anyoek menjalani hidup dalam keterbatasan. Terbatas karena kondisi alam dan sistem penjajahan, yang memiskinkan rakyat secara struktural. Karena keterbatasan itulah, dia menggali potensi pada dirinya untuk bekerja keras. Tak banyak pilihan tersedia. Karenanya, apapun pekerjaan, bakal dilakoninya.

Anyoek bertemu istrinya, Junnah Ismail pada 1938. Junnah dari Kabupaten Sambas. Ayahnya seorang serdadu. Ketika bertugas ke Putussibau, dia membawa anaknya. Di Putusibau itulah, Junnah dan Anyoek bertemu. Mereka melangsungkan perkawinan pada Agustus 1940.

“Yang diingat dengan sosok orang tua adalah mengajarkan melalui prilaku. Misalnya kita diajak pergi ke ladang atau ke hutan, kita mesti bisa menyelesaikan pekerjaan yang diberikan,” kata Akil. Anyoek biasa dipanggil uwak oleh anaknya.

Akil masih mengingat hal itu. Suatu ketika, ia masih terlelap. Orang tua membangunkan untuk membantu menangkap ikan. Caranya? Dengan menyebar jaring ikan di sungai. Orang menyebutnya pukat. Akil mengemudikan sampan di belakang. Anak yang hidup di sungai, secara alamiah bisa bersampan. Anyoek memasang pukat di depan perahu yang terus berjalan pelan. Pada saat memasang jaring, biasanya mengikuti aliran arus sungai. Jaring ikut arus sungai, tapi diberi pelampung. Begitu balik mereka harus melawan arus sungai.

Namanya juga masih SD, apalagi pada tengah malam, tentu rasa kantuk menghinggap. Sehingga cara mengemudikan sampan tidak lurus dan berbelok ke sana kemari. Ketika perahu tidak berjalan lurus, memasang jaring menjadi susah.

Ketika tahu anaknya mengemudi sampan dengan mengantuk, Anyoek menggoyang sampan. Akil tercebur ke sungai. Rasa kantuk sontak hilang dan berganti rasa takut. Karenanya, dia cepat naik ke sampan sambil menangis dan menggerutu.

“Kalau kerja itu jangan sambil tidurlah,” kata Anyoek.

Dalam pikiran Akil, kenapa orang tuanya begitu kejam. Setelah besar, Akil memahami sikap orang tuanya. Ada suatu pelajaran, “Kalau kerja harus sungguh-sungguh.” Kalaupun dalam keadaan lelah dan mengantuk, harus kerja dengan benar.

Anyoek lebih banyak memberi nasehat dan jarang marah. Begitupun ketika melihat anaknya bersikap tidak lumrah. Contohnya, Akil rambutnya panjang ketika sekolah di Pontianak. Gaya rambut panjang sedang populer. Melihat anaknya gondrong jengky. Ayahnya berkata, “Apa bagusnya rambut gondrong begitu?”

Anyoek mempunyai disiplin tinggi. Dia selalu bangun jam empat subuh. Setelah mengerjakan salat subuh, dia berangkat ke kebun. Jaraknya lumayan jauh, sekitar dua kilometer. Hanya ada jalan setapak di hutan. Dia menembus kegelapan hutan dengan obor. Sesampai di kebun, Anyoek menoreh gula aren dan mengambil air legennya. Setelah itu, dia menoreh getah karet. Setelah menoreh di kebun, Anyoek pulang ke rumah, mandi dan sarapan.

Bila Mochtar Anyoek seorang lelaki lembut dan pekerja keras. Lain halnya dengan Junnah Ismail. Karakternya keras. Kalau tidak suka melihat sesuatu, akan langsung bicara. Dalam keseharian, dia lebih banyak menasehati.

Junnah posturnya tinggi. Lebih tinggi daripada sang ayah. Dia sangat ketat dengan waktu. Setiap anak mendapat jatah pendidikan. Bila sudah waktunya pulang sekolah, dan masih ada yang keluyuran, dia bakal marah pada anaknya. Cara pendidikannya keras dan disiplin.

Masa itu belum banyak hiburan. Tidak ada gedung bioskop, namun ada pertunjukan sandiwara. Televisi masuk ke Putussibau pada 1975. Itupun baru bupati dan kepala DPD. Cuma dua orang. Siarannya yang bisa diterima hanya TV3, Malaysia. Cara nonton televisi seperti layar tancap. Yang punya rumah menaruh TV di depan rumah, dan ditonton ramai-ramai.

Sang ibu menerapkan peraturan ketat. Terutama pada anak perempuan. Menurutnya, seorang perempuan dianggap tabu, bila pulang malam hari. Masyarakat menganggap, bila orang tua membiarkan anak keluyuran, mereka bakal dianggap tidak bisa menggurus anak.

“Bapak dan ibu mendidik kami dengan ketat. Misalnya, anak gadisnya tidak boleh keluar malam. Maklumlah, saat itu Kapuas Hulu masih rawan,” kata Murjanah.

Setiap anak biasanya diberi pekerjaan sesuai dengan umur dan kemampuannya. Tak heran jika anak umur belasan tahun, sudah terbiasa mencuci, mengepel, dan masak. Semua dikerjakan. Ada hirarki dalam pembagian kerja.

Kini, dari hasil didikan orang tua itulah, anak berhasil dalam menjalani hidup dan berkiprah di bidangnya masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan