Muhlis Suhaeri
Akil Mochar di redaksi Tribun Pontianak (Dok Tribunnews) |
Beberapa kabupaten dan kota di Kalbar, yang dimekarkan antara lain; Kabupaten Melawi, Sekadau, dan Kota Singkawang. Pemekaran Kabupaten Kayong Utara dan Kubu Raya juga tak lepas dari peran yang dilakukannya.
Pada Pemilu 2004, ia terpilih kembali dengan perolehan suara terbanyak dari semua calon anggota DPR RI di Kalbar. Akil memperoleh 127 ribu suara. Angka itu merupakan suara terbanyak dari 10 anggota DPR RI. Termasuk mengalahkan suara Ketua Golkar kala itu, Drs. Gusti Symasumin. Periode kedua, ia duduk di Komisi III, yang membidangi komisi hukum HAM, perundang-undangan, dan keamanan. Sejak dulu, ia turut serta dalam membuat berbagai produk perundang-undangan. Diantaranya, UU Perlindungan Saksi UU, UU PT, dan lainnya.
Akil dikenal dan sering muncul dalam pemberitaan media massa. Seperti, koran, majalah, radio, dan televisi. Berbagai masalah yang menjadi tugas dan kewenangannya di DPR RI, menjadi bahan kajian dan topik permasalahan. Sikapnya yang terbuka dan blak-blakan, terkadang membuat pernyataannya menjadi kontroversi dan bahan perdebatan. Akibat sikapnya itu pula, berimbas pada perjalanan karir politiknya. Banyak orang merasa “gerah.”
Sikap ini pula yang mengakibatkan ancaman hingga pemberhentian dari anggota DPR RI. Ia dianggap terlalu mengkritik. Sikap kritis itu dilakukannya, karena ia berpegang pada prinsip yang tak bisa ditawar.
Bagi orang yang mengenalnya, Akil punya sikap welas asih dan suka membantu. Dia peduli dengan sesama. Doa dalam namanya, mewujud dalam tindakannya.
***
Akil di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu. Kota Putussibau merupakan ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Bila ditilik dari namanya, nama ibu kota kabupaten terdiri dari dua suku kata. Putus dan Sibau. Putus berarti tidak terhubung lagi. Sibau adalah nama sungai yang melewati kota Putussibau. Di kota inilah, sungai Sibau bertemu dengan sungai Kapuas. Sibau juga merupakan nama sejenis buah yang bentuknya seperti rambutan.
Banyak orang beranggapan, nama Putussibau identik dengan kondisi kota, yang terputus dari dunia luar. Kala itu sarana transportasi dan angkutan, hanya mengandalkan sungai. Dan ketika musim kering, sungai menjadi dangkal dan tak bisa dilewati. “Kalau kemarau bisa lima-enam bulan. Makanya, nama kota ini Putussibau. Kalau sudah putus, putus sekali gitu bah,” kata Asnah Mochtar, kakak tertua Akil. Sibau merupakan sungai kecil di dekat pasar pagi, Putussibau.
Menurut Dr Anton W. Nieuwenhuis dalam bukunya, “Di Pedalaman Borneo, Perjalanannya dari Pontianak ke Samarinda 1894,” berkat pelayaran kapal api, harga-harga di Putussibau tidak terlalu jauh dengan di Pontianak. Dan orang Cina telah menjadi pedagang perantara bagi perekonomian di daerah tapal batas itu.
Pada 1960-an ke atas, orang mulai menggunakan perahu Bandung. Perahu ini biasanya milik pemerintah daerah Kapuas Hulu atau pengusaha. Dengan perahu ini, waktu tempuh sekitar 2-3 mingguan. Dengan teknologi yang semakin berkembang, sekarang ini orang bisa menempuh 4-5 hari, untuk menyusuri sungai Kapuas.
Ketika musim kemarau tiba, air sungai Kapuas tidak bisa dilayari perahu Bandung. Akibatnya, masyarakat terisolir. Segala bahan kebutuhan tidak tersalurkan. Kondisi itu menempa masyarakat. Mereka terbiasa menghadapi ganasnya kondisi alam. Begitulah Kapuas Hulu. Alamnya keras. Karenanya, masyarakat terbiasa berjuang dan mandiri.
Untuk membuka keterasingan dari dunia luar, pada masa Drs. H. Abang Mohammad Djapari menjabat sebagai bupati Kapuas Hulu, pemerintah membuat jalan darat yang menghubungkan Kabupaten Kapuas Hulu dengan Kabupaten Sintang, pada 1985.
Menurut H. M. Syahaldin Husman, meski alam Kapuas Hulu keras, namun orangnya patuh pada aturan dan menjunjung tinggi adat istiadat. Yang namanya kekurangan sandang dan pangan, menjadi hal biasa. Masyarakat terlatih memenuhi kebutuhan hidup dari alam sekitar. Mereka bercocok tanam dan berladang. Didikan alam menempa masyarakat untuk bekerja keras.
0 komentar:
Posting Komentar