: Hera
1/
Kwatrin tentang Lindap
Niatan di hatimu jangan sesekali kau ubah. Jika memungkinkan
Tuk semayamkan rembulan di bilik hatimu, maka hadiahilah langit
Dengan doa-doa tanpa dusta. Tanpa angkara, tanpa pernah hidupkan
Perkara antara mana yang lebih kelam: nasib atau takdir?
2/
Kwatrin tentang Ragu
Sejak dipertemukan oleh waktu, kita lebih banyak berbahasa sepi. Kau
Atau aku yang mulamula menghidupkan debar terpanjang? Debar yang
Simpulkan sabar tak terkira. Mana kala pagi bertandang, sisa cahaya
Malam melagukan elegi tentang betapa timpangnya perbedaaan kauaku.
3/
Kwatrin tentang Ngilu
Diterbangkan begitu jauh ketegaran yang pernah kau rajut. Langit
Mendadak tanpa warna di hari perpisahan. Aku akan menyicil kehidupan
Yang serba terahasiakan. Dan kutinggalkan kau untuk berdiri di sebuah
Persimpangan yang sangat asing. Kau pun basah oleh gerimis paling amis.
Manado, September 2011.
Van Gogh: "The Olive Trees" |
Sementara Itu, Puisi Terus Mencatat Kenangan Tentang Engkau
: Fajar Marta Chaniago
ingin kembali o ingin kembali
torang samua ke kota ternate
tersenyumlah engkau di sana, saudaraku
karena saat ini kucatat engkau dalam puisi
adalah kenangan itu yang hendak sua
kenangan yang melulu julurkan kehangatan
lalu, harus kau urai juga apa-apa yang kau rawat
di benakmu yang ditikam onak kerinduan
tentang aku, tentang kami yang nama-namanya
begitu pelangi melengkung indah di langit hatimu
pada suatu malam, di kota ternate
kita susuri anak-anak tangga kedaton tua
sembari tatap mata terus bertukar kekaguman
pertemuan ini kehendak puisi jua, ujarmu
ingin kembali o ingin kembali
torang samua ke kota ternate
sementara itu, puisi terus mencatat
kenangan tentang engkau, tentang lembut
tutur katamu, tentang semangatmu
yang lebih bara dari larva gamalama
ada yang tak akan berhenti diriwayatkan, saudaraku
jejak langkah kita di sepanjang jalan kota ternate
sungguh magis, menjauhkan tangis dari
utuh bebayang kita yang teguh berkibar di tepi pantai sulamadaha
pada suatu senja, di kota ternate
kita sesaki sudut-sudut batu angus
seraya menghitung gugusan debar kebanggan
yang telah diciptakan oleh puisi
ingin kembali o ingin kembali
torang samua ke kota ternate
ledakkanlah tawamu di sana, saudaraku
karena sesaat lagi puisi akan usai menggelitik
ruang sadarmu, menghantarkan kenangan
putih, seputih buih-buih air laut ternate
lantas, pernahkah menyusut ingatan
akan sebuah perayaan pertautan beberapa hati?
o, usirlah lawatan jemu, rawatlah sengatan penantian
di sejauh terbangnya puisi, rindu harus terus mengiringi
pada suatu siang, di kota ternate
kita gerahkan rumah makan floridas
sembari memotret raga pulau seribu di kejauhan
sesiang itu, peluh bukanlah hasil sebuah keluh
ingin kembali o ingin kembali
torang samua ke kota ternate
sementara itu, puisi tiada letih
terus mencatat kenangan tentang engkau,
tentang santun bahasamu, tentang gairah hidupmu
yang lebih nyala dari mentari pagi di kota ternate
ada yang tak jemu dituturkan kembali, saudaraku
sebuah pelukan di antara kesangaran benteng kalamata
amatlah teduh, suguhkan kegirangan sarat nuansa
perpisahan bukanlah bagian lembaran asa
pada suatu pagi, di kota ternate
kita riuhkan kafe hotel amara
seraya saling berebutan menjelaskan seberapa bahagia
puisi terus mencatat kenangan sebuah pertemuan
Manado, 27072012.
Kisah Sepasang Tangan yang Tak Mau Diam Tatkala Subuh
Tangan Kanan
Aku dimulakan oleh mimpi. Dibatas-batasnya yang absurd, aku naik-turunkan ayunan. Di benaknya yang mesum, senyumku menjadi pecahan-pacahan culumus. Dirumuskannya aku dalam sebuah doa, lalu dihempaskannya aku ke dalam dosa. Senantiasa. Selalu. Setiap dingin itu menekuri ingin.
Tangan Kiri
Aku dihentikan oleh kegilaan. Pekik yang disumbat oleh lelehan embun dari kelopak mimpi. Bernapaslah dengan teratur sebelum segenap angan terbentur. Pada dinding subuh, sekalimat tanya hanya menjadi hiasan kusam. Pada ranjang subuh, kegelisahan adalah samudera dengan ombak yang kusut. Susut. Mengerucut. Setiap kali hasrat itu datang dengan wajah-wajah yang sama; wajah sepi, wajah sendiri. Sepenuh perih.
Manado, 18092012.
Langkah yang Mengayunkan Ketabahan
Usai percakapan dengan terik, kusimpan segala pekik
Bebayang kemudian luruh, ikuti ihwal suluh
Sederetan tanya itu; kalimat-kalimat rancu
Hendak ke mana hati mencari cinta paling arti?
Langkah terus berdegap, sepenuh gegap
Meniadakan gelap, menghanyutkan lelap
Berpulanglah riwayat pada sepasang mata yang sarat
Masa lalu yang enggan, masa kini yang segan
Angin membaca keinginan, langit menampung ketabahan
Irama-irama debu paling paham mengirim pesan-pesan kelabu
Manalah sempat kubasuh wajah
Siang terlalu panjang datang menjajah
Di beranda malam, langkah sejenak terhenti
Dan segenap kecemasan dibekap letih
Manado, 18092011
Arther Fanther Olii, kelahiran Menado. Pernah diundang setelah lolos kurasi karya pada Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi. Karya-karyanya tersebar di pelbagai media dan antologi puisi bersama.
0 komentar:
Posting Komentar