Dahta Gautama*
Ketika keadilan tidak tegak lurus dengan langit. Ketika hukum meruncing ke bawah. Ketika bangsa telah kehilangan cara untuk menemukan sejarah. Ketika sejarah bukan lagi bagian dari masa depan. Ketika miskin adalah pilihan. Ketika orang-orang berada di tempat yang sebenarnya dia sedang tidak ingin berada di tempat itu. Maka saat itu, saya akan mengatakan: Monggo Kerso?
Ketika keadilan tidak tegak lurus dengan langit. Ketika hukum meruncing ke bawah. Ketika bangsa telah kehilangan cara untuk menemukan sejarah. Ketika sejarah bukan lagi bagian dari masa depan. Ketika miskin adalah pilihan. Ketika orang-orang berada di tempat yang sebenarnya dia sedang tidak ingin berada di tempat itu. Maka saat itu, saya akan mengatakan: Monggo Kerso?
Mari, silahkan! Kita sedang lapar pun, negara tak mengetahuinya. Kita sedang kesulitan karena anak-anak kita ke sekolah dengan sepatu penuh jahitan, negara masa bodo. Kita marah pun, kepada Presiden sekalipun. Pasti, Presiden akan bilang: Monggo Kerso (Silahkan-Red).
Tindakan terkini yang paling pantas dilakukan memang pasrah. Toh, negara juga tak urus soal rakyat. Presiden ribut soal partainya. Dan partai juga sedang ribut soal strategi menghadapi Pilpres 2014. Politikus pada 2013 kemarin, banyak yang ditangkap. Kemudian masuk bui, tapi kita meyakini, sebenarnya mereka sedang tidak di penjara. Mereka sedang jalan-jalan ke kamar yang ada tempat untuk onani, sambil membayangkan tubuh perempuan lain, merangkak di atas perutnya.
Maka silahkan atau monggo kerso untuk apa pun atas diri kita. Sebab yang peduli dengan diri kita cuma diri kita. Sebab negara tak menjamin soal keselamatan perut kita. Negara juga mungkin tak pernah paham bahwa mereka ada. Ada keyakinan pada diri kita, apakah kita benar-benar memiliki negara? Memiliki kedaulatan?
Betapa susah berada di negara ini. Saya harus bayar pajak, tanpa jaminan apakah uang saya tidak di korupsi. Tanpa hak untuk meminta agar uang itu (pajak) dibangunkan jalan yang rusak menuju komplek perumahan saya. Saya juga tak boleh banyak bicara dengan walikota, sebab saya merasa, bahwa orang-orang telah berada pada wilayah jenuh. Orang-orang gemar marah, memukul dan tak peduli, begitu pula walikota saya kira.
Entahlah, jika saja ada jin yang bisa saya pelihara. Barangkali jin itu, akan saya perintahkan untuk merampas harta para orang hebat. Orang hebat yang pintar, yang sering tampil di teve dengan batik, yang sering bicara dengan tata bahasa yang cerdas. Yang tampak berpikir itu.
Jika ada yang memberontak dan meruntuhkan negara, saya akan mengirim jin-jin peliharaan, agar pemberontakan itu, berjalan sopan. Dilakukan dengan santun, tak ada darah, senjata, dan pembunuhan. Sebab pemberontakan rakyat, cuma perlawanan yang monggo kerso saja. ***
* Penyair
0 komentar:
Posting Komentar