Prabowo Subianto (dok Partai Gerindra) |
Perth, Teraslampunt.com - Capres Partai Gerindra, Prabowo Subianto, kembali didera isu tak sedap. Setelah isu tudingan pelanggaran HAM menjelang jatuhnya Orde Baru, Prabowo kini didera isu fasisme. Isu itu muncul dalam sebuah dialog bertajuk ;Menimbang Capres RI 201' yang digelar masyarakat Indonesia di Perth, Australia Barat, Sabtu, 26 April 2014.
Seorang pembicara, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi 'membedah' kalimat di manifesto Partai Gerindra yang menyebutkan negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.
"Itu fasisme," kata Airlangga Pribadi, seperti ditulis Tempo, Minggu, 27 April 2014.
Airlangga menduga manifesto itu sebagai bagian dari strategi politik Gerindra. Setelah cukup lama menyasar isu-isu nasionalisme, seperti kemandirian dan kedaulatan, dan ketika konstituen politik mereka sudah loyal, Gerindra memberi sinyal kepada kaum fanatik untuk bergabung.
Menurut Airlangga, apabila kalangan elite menjadikan rasa aman, kebebasan, dan hak berkeyakinan sebagai permainan dalam transaksi politik, implikasinya bisa sangat berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Kemungkinan terbesar yang bisa terjadi yakni munculnya pembenaran ideologis, bahkan yuridis, pada tindakan-tindakan yang lebih mengerikan bagi hak-hak sipil setiap warga negara.
"Jika Prabowo berkuasa, intoleransi akan semakin terinkorporasi di dalam elemen negara. Negara akan menentukan mana keyakinan yang benar dan mana yang salah. Ini mengerikan sekali," kata kandidat Ph.D di Murdoch University ini.
Pernyataan Airlangga diamini oleh pembicara lain, Irwansyah Jemi, yang juga calon doktor di Murdoch University. Irwansyah menyatakan pemurnian agama jelas bukan agenda politik yang bijaksana dan menghormati hak asasi manusia. Implikasi agenda semacam ini yaitu penggunaan kekerasan dan pembiaran kekerasan oleh negara atas begitu banyak kombinasi agama yang dianggap tidak murni.
"Otoriterisme negara ala Orde Baru akan hadir lagi. Jangan lupa, apa pun yang tidak murni dan konsekuen menurut Orde Baru diganjar dengan intimidasi, hingga pembantaian massa," kata dosen ilmu politik Universitas Indonesia itu.
Salah satu peserta dialog, Iqbal Aji Daryono menyampaikan kekhawatirannya yang lebih jauh. WNI di Australia, kata dia, banyak yang merupakan pelarian akibat kerusuhan Mei 1998. Sebagai kalangan minoritas, kaum eksil tersebut punya trauma mendalam atas perlakuan kelompok mayoritas di Indonesia.
Apabila Prabowo berkuasa dan menjalankan langkah-langkah politik sesuai manifesto Gerindra, patut diduga ia hanya akan mengakomodasi hak-hak mayoritas dan meletakkan kalangan minoritas sebagai warga kelas dua. "Kondisi tersebut jelas akan semakin memupus keinginan para pelarian tersebut untuk kembali ke Tanah Air," kata Iqbal.
Sumber: tempo.co.id
Sumber: tempo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar