Tiga pelajar SMP ini meniti pematang sawah, jalan pintas ke sekolah suatu pagi bulan April 2014. (teraslampung.com/isbedy stiawan zs) |
TIGA anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) meniti pematang sawah menuju sekolah. Inilah jalan pintas bagi mereka, yaitu sebuah jalan yang jarak tempuh lebih dekat dari tempat tinggal ke sekolah, dan hemat waktu.
Ya, kecenderungan mayoritas masyarakat akan memilih jalan pintas jika menguntungkan dari segi jarak dan waktu tempuh. Maka tidak heran, biasanya jalan pintas—dalam hal lalulintas—acap dipilih orang, sehingga jalan pintas atau jalan alternatif justru padat dan berakibat arus kendaraan menjadi macet.
Tetapi berbeda bagi pelajar di salah satu SMP di Lampung Selatan ini. Mereka bukan saja menempuh jalan pintas agar cepat tiba di sekolah dan tidak terlambat, melainkan ini barangkali satu-satunya jalan yang menghubungkan rumah dan sekolah. Meniti pematang sawah.
Pagi belum lagi usang. Anak-anak ini akan selalu meliwati pematang sawah demi memburu ilmu, agar tahu berhitung, membaca, dan menulis. Dalam benak-benak bangsa ini, pandai berhitung, membaca, dan menulis akan menjadi pandai. Dus, tidak dibodohi dan ditipu orang.
Masih dalam rekaman di benak kita, bagaimana para orang tua memberi petuah jika anak-anak malas atau tak mau sekolah: “Mau jadi apa kamu nanti kalau tidak sekolah. Kamu bisa menjadi orang bodoh dan akan selalu diperdaya orang.”
Seakan-akan sekolah dapat melahirkan manusia menjadi “suci” atau pintar mandraguna, dan dipastikan tidak membuat orang pengangguran. Bekerja, bagi kebanyakan para orang tua, adalah jika seseorang pergi pagi dan pulang sore dan memiliki kantor. Dan kecenderungan kata kantor, adalah pemerintah dan swasta. Selebihnya dianggap pekerja serabutan, dan lebih ekstrem masuk golongan pengangguran.
Maka orang-orang pun memilih “jalan pintas” agar tidak dicap pekerja serabutan atau pengangguran. Dengan segala cara, yang kita kenal sekarang: menyogok. Berjamaah masyarakat menyuap pejabat agar diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pekerja pemerintah dulunya sebagai “abdi masyarakat” berganti konotasinya.
Demikian pula, pemaknaan atas wakil rakyat juga saat ini meleset dari harapan masyarakat. Wakil raykat di Gedung Dewan bukan lagi mewakili rakyat, sebab suara konstituennya sudah dibeli seharga sembako dan sepucuk amplop.
Atau mencurangi perolehan suara, dengan cara membayar penyelenggara pemilu, dari tingkat PPS, PPK, hingga KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi. Istilah kanibal suara begitu popular saat ini.
Begitu juga kepala daerah yang terpilih karena suara rakyat. Suara itu sudah dihargai lembaran uang dan sembako.
Nah, kalau para wakil dan kepala daerah sudah menduduki kursi empuknya, tak bisa lagi kita menuntut agar begini dan begitu. Suara warga sudah dibeli, dan suka-suka mereka mau berbuat. Dalam jual beli, setelah akad saling membayar dan menerima, selesailah. Sah jual-beli itu.
Jalan pintas ini seakan menjadi trend dalam kehidupan masyarakat kita pada zaman modern ini. Orang-orang pintar dan berilmu acap menjadi “jahiliyah” sehingga sepertinya tak lagi memercayai akal dan keimnannya. Untuk suatu kesuksesan karier, membuka peta hidupnya di tangan dukun atau kuburan.
Jalan pintas pada kenyataan kemudian, telah berubah pemaknaan. Tiga pelajar SMP ini benar, mengartikan jalan pintas: agar cepat sampai gedung sekolah dan tidak disanksi guru karena datang terlambat. Sedangkan para politisi dan calon pejabat, memaknai “jalan pintas” adalah dengan cara membagi-bagi sembako, uang, ditambah lagi—mungkin—dengan menambah kekuatan dari dukun dan kuburan. Wallahu’alam bshowab…
0 komentar:
Posting Komentar