Tri Adi Sarwoko*
Pelatih lawak, julukan ini sempat melekati kami bertiga: saya, Indrotomo Brigandono, dan Bayu Segara Trisunu. Ya, karena kami bertiga yang rajin mencarikan joke dan melatih bagaimana mereka mengucapkan dan melontarkan agar bisa mengundang tawa. Kami bertiga ketika itu bekerja tanpa pamrih. Yang kami latih pada awalnya terbatas hanya mahasiswa yang tergabung di Unit Kesenian mahasiswa (UKM) Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Ketika RCTI mengadakan lomba Humor ala Mahasiswa tahun 1997 Kami mengirim tiga tim. Tim pria adalah grup Kelakar dan Cagur. Adapun kelompok lawak wanita adalah Gandess. Yang pertama, Kelakar sesungguhnya kelompok lawak senior kami. Kemudian Cagur yang lebih junior. Gandess adalah kelompok lawak wanita. Waktu itu saya dan teman-teman yang berinisiatif membentuk kelompok lawak wanita. Pasalnya, kelompok lawak lebih banyak didominasi kelompok lawak pria.
Kami berlatih sore hingga malam hari. Latihan sesungguhnya lebih menekankan bagaimana sebuah joke bisa dimainkan dengan apik dengan mempertimbangkan timing. Nah, pada kelompok wanita, kami memberikan perhatian ekstra. Mulai dari cara mengucapkan joke hingga gestur ataupun gerakan tubuh kami latih secara selangkah demi selangkah.
Hasilnya, Cagur yang memang sudah bisa membuat joke sendiri menyabet juara dua, Gandess mendapat juara harapan dua. Adapun Kelakar tidak mendapat nomor kendati termasuk finalis.
Cagur—beranggotakan Denny, Narji, dan Sapto, yang dalam perjalanan Sapto diganti Bedu, dan Bedu lalu diganti Wendy—kemudian rajin berpentas di mana-mana dibayar ataupun hanya menerima ucapan terimakasih. Akhirnya Cagur memetik buah di TPI.
Gandess, yang anggotanya Wiwi, Hesti, dan Putri, akhirnya bubar karena kesibukan kuliah personelnya. Kendati pernah berusaha bangkit, tapi tidak pernah terlaksana karena sukar mengatur waktunya—sudah bekerja semua. Sayang sekali ya. Adapun Kelakar, personelnya kini lebih banyak bergiat sebagai kreatif berbagai program di berbagai stasiun teve.
Kekecewaan Lenong Alternatif distop begitu saja sesungguhnya amat menurunkan mental kami—kelompok Lenong Alternatif. Apalagi kemudian ada rumor, setahun setelah itu sesungguhnya Lenong alternatif akan ditayangkan kembali, tapi terjegal karena jam tayangnya akan dipakai oleh teman-teman saya dalam kelompok Cagur. Memang setelah itu ada program Chating—Canda itu Penting—di TPI.
Kendati hanya rumor, saya sempat agak kecewa, tapi saya malas untuk mencari tahu kebenarannya. Semoga saja itu tidak benar adanya. Sejatinya anak-anak kelompok Cagur ini adalah mitra belajar saya. Mereka belajar melucu melalui Lenong Alternatif yang naskahnya saya tulis, kendati saya bisa bilang mereka memang punya kemampuan melucu juga. Ya, beberapa leluconnnya bisa menjadi batu loncatan untuk membuat joke berikutnya. Ketika mereka mengikuti lomba Humor ala Mahasiswa di RCTI tahun 1997 sehingga keluar sebagai juara kedua, pun saya dan dua teman lainnya—Indro dan Bayu—yang mengkreatifi. Ketika ikut lomba formasi Cagur adalah Narji, Denny, dan Sapto.
Menjadi Kreatif Lawak
Saya kecewa acara Lenong Kreatif berhenti. Ya, sudahlah. Bagi saya Lenong Alternatif adalah sejarah dan sebuah workshop bagi keterlibatan saya di dunia televisi. Dua tahun setelah Chating tayang, anak-anak Cagur ini menawari saya untuk ikut terlibat sebagai tim kreatif/penulis naskah lawak mereka. Lama saya tidak menyanggupi. Pasalnya, perbedaan media ucap menghambat saya untuk bisa berekspresi menulis sebuah treatment.
Saya ketika itu terbiasa menulis naskah panggung yang setnya bisa semau-maunya. Padahal, dalam lawak setnya hanya satu untuk dipakai berbagai adegan. Selain itu, saya juga tidak yakin bisa membuat adegan lucu dalam sebuah treatment. Pasalnya, saya biasa menguraikan naskah lengkap dengan dialog dan deskripsi aksi si pelakon.
Akhirnya saya bisa mengatasi semua persoalan, mulailah saya menjadi penulis treatment komedi. Saya menulis pertama-tama bukan untuk program Chating-nya Cagur tapi untuk Asep Show di TPI pada tahun 2000. Saya menulis bersama Bambang Seno, Mas Darminto, dan Dikcy Chandra. Sejak saat itu saya tergabung dalam tim kreatif Cagur bersama Bambang Seno dan Rudy Sipit. Setahun kemudian, dua teman karib saya Bayu dan Indro juga ikut bergabung.
Namun, akhirnya saya, Indro, Bayu, dan Rudy Sipit—yang lebih banyak berperan sebagai pengatur laku—yang bertahan terus mengkreatifi Cagur. Adapun Bambang Seno lebih banyak nongkrong di TPI, apalagi ketika progam API diluncurkan.
Keluar biar lebih berkembang
Setelah lima tahun kami mulai dihinggapi kejenuhan. Padahal, program komedi yang kami tulisi naskahnya selama menjadi kreatif Cagur dan sekaligus menjadi kreatif PH-nya cukup banyak. Mulai dari Asep show, Chating, Mat Dongeng, Komedi Putarr, Show Time, Ngabuburit Kocag, Ketawa Sebelum Buka, dan Buka Pake Ketawa, dan sebagainya.
Kejenuhan itu memuncak, kendati didahului dengan perselisihan kecil, saya ingin mencari pengalaman baru. Akhirnya pada tahun 2005 saya, Indro, dan Bayu resmi mundur sebagai tim kreatif Cagur. Saya akhirnya menulis untuk Ngelenong Nyok di Trans TV, Bayu ikut bergabung dengan PH yang didirikan Komeng bersama Rudy Sipit. Adapun Indro asyik menekuni hobi melukisnya dan berkebun.
Kendati begitu, saya masih membantu menulis untuk PH yang menaungi Cagur jika diminta. Biar bagaimanapun, kami pernah sebagai satu keluarga yang menjalani susah dan senang bersama-sama.
Saya sudah sekitar sepuluh tahun lebih menulis naskah komedi untuk televisi. Sudah lama ya. Seperti para resi dan empu zaman dulu, ketika merasa ilmu sudah dikuasai dengan baik dan sudah berpengalaman maka harus bersiap-siap menyebarkan ilmu. Maaf, kalau saya terkesan agak sombong.
Nah, karena berpinsip yang sama dengan para empu, saya merasa kini sudah saatnya menulis buku perihal komedi. Semua yang namanya komedi mulai dari lawak hingga sinetron pernah saya tulis. Lika-liku menulis komedi pernah saya alami.
Kini saya ingin menyoroti dunia lawak kita. Saya sering melihat, para peserta lomba lawak yang begitu semangat ketika akan lomba. Swear, saya gembira melihatnya. Sejatinya, semangat dan keyakinan adalah permulaan untuk kemenangan. Tapi, apa boleh buat, yang saya lihat kemudian sang peserta itu kemudian tertunduk lesu bahkan menangis ketika usai beraksi di depan juri. Apa pasal? Ternyata lawakannya tidak “dibeli” para juri dan audiens yang melihat.
Di sini memang ada kesalahan. Semangat yang begitu besar ternyata tidak dibarengi oleh pengetahuan bagaimana melawak itu sebenarnya. Bermodal pengalaman mengkreatifi sebuah grup lawak dan menulisi naskah para pelawak, saya ingin memberikan beberapa trik dan tip melawak dalam buku yang saya tulis. Mulai dari persiapan, cara membuat joke dan naskah hingga pemampilan di panggung.
Buku itu berjudul Jangan Coba-Coba Melawak. Pasalnya, kebanyakan kita yang sudah bisa melucu di depan teman-temannya merasa sudah bisa melawak. Memang, sebab melucu itu gampang, melawak belum tentu!
* Tri Adi Sarwoko, alumnus jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Jakarta (sekarang UNJ). Selain menjadi redaktur bahasa tabloid Kontan, ia juga menulis buku dan banyak naskah program komedi di televisi . Antara lain Asep Show (TPI), Show Time (TPI), Mat Dongeng (Anteve), Bebas mangkal (TV7), Opera Opor Ayam (TV7), Siaga I (Trans7), Chating (TPI), Ngelenong Nyok (Trans TV), Komedi Betawi (Trans TV), Sahur Cagur (Global TV), Opera Anak Endong (Trans7).
0 komentar:
Posting Komentar