Merampok di Rumah Sendiri: Kanibalisme Suara Pemiilu dan Paradoks Demokrasi
Diposting oleh
Unknown
di
18.30
PRAKTIK kanibal tidak hanya dilakukan Presiden Idi Amin dari Uganda dan Sumanto dari Cilacap (Jawa Tengah). Pada Pemilu 2014, kanibalisme juga dipraktikkan oleh para caleg dengan modus mencuri atau merampok perolehan caleg lain yang masih satu partai.
Maraknya praktik kanibalisme suara hasil Pemilu Legislatif 2014 di Lampung sekaligus menghancurkan reputasi KPU yang sejak awal mengklaim Formulir C-1 berhologram yang dijadikan media untuk merekap suara di TPS bisa menghindarkan kecurangan. Klaim itu pada praktiknya hanyalah slogan atau semacam lagu nina bobo kepada para caleg lugu agar mereka tidak merasa was-was.
Praktik kanibalisme dengan sangat mudah dilakukan karena mentalitas korup dan culas para caleg dan penyelenggara Pemilu. Indikasinya: tidak ada satu pun praktik kanibal dalam Pemilu yang tidak melibatkan penyelenggara Pemilu, baik itu di level rendah (PPS, KPPS, PPK) maupun pada level tinggi (KPU).
Karena praktik kanibal, maka seorang caleg yang suaranya hanya 200 di tingkat TPS ketika sampai ke KPPS atau PPK akan melejit menjadi 3.200. Mudah saja: tinggal menambah angka 3 di depan 200! Sialnya, pelaku praktik itu bukanlah hantu atau tuyul, tapi manusia yang mengaku berbudi pekerti mulia, tokoh masyarakat, intelek, dan rajin beribadah.
Lihatlah misalnya Conie Sema, mantan jurnalis yang pada 1999 lalu juga menjadi aktivis Jaringan Jurnalis Pemantau Pemilu (JJPP). Dia dengan sangat mudah dicundangi caleg separtai (Gerindra) yang nomornya berada di atasnya. Conie pasti sangat paham bahwa setiap satu suara sangat berarti. Maka ketika ada ribuan suaranya di Lampung Timur untuk kursi DPRD Lampung dirampok oleh caleg satu partai, tepuk jidatlah dia.
Kanibalisme dengan cara merampok suara di rumah partai sendiri juga diduga sangat kuat terjadi di Partai Demokrat di Tulangbawang Barat. Yang tak kalah menghebohkan adalah perampokan Dwi Aroem Hadiati, caleg DPR RI Dapil Lampung I Partai Golkar.
Kasus terakhir yang terkuak secara benderang adalah pengambilan suara secara milik Dwi Aroem Hadiatie, caleg DPR RI Daerah Pemilihan Lampung I (Kota Bandar Lampung, Lampung Selatan, Pesawaran, Tanggamus, Pringsewu, Lampung Barat, Kota Metro). Di Lampung Barat saja ada 5.000 suara lebih suara Aroem yang dirampok. Dari 5.889 perolehan suara Aroeam di sejumlah kecamatan, setelah sampai KPU Lampung Barat tinggal 266. Suara itu diduga pindah ke caleg satu partai di Dapil sama, yakni Reza Pahlevi. Reza yang berdasarkan Formulir C-1 hanya mendapatkan suara 1.526, sesampai di KPU Lampung Barat berubah menjadi 9.665 (dari 25 kecamatan).
Untunya, Aroem bukan anak muda bodoh dan lugu. Insting dia sangat kuat. Jauh sebelum penghitunga suara dia sudah merasa akan dijegal di rumah partainya sendiri. Maka, dia pun menyebar relawan untuk bisa mencatat semua data perolehan suara di TPS berdasarkan formulir C-1 yang konon berhologram dan bisa menangkal kecuranga itu.
Setelah skandal perampokan suara Aroem terbongkar, maka tak ada langkah lain yang lebih bijak selain memproses pelanggaran pidana. Kasus itu tidak bisa diserahkan kepada Bawaslu Lampung yang selama ini terbukti memble dan hanya kerja formal-formalan belaka. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus secepatnya bertindak. Rekomendasinya bukan hanya pemecatan jika para komisioner KPU Lampung Barat terlibat.
Pemecatan dari keanggotaan KPU dengan alasan hanya pelanggara administrasi atau pelanggaran etik adalah sebuah rekomendasi yang sangat lunak. Rekomendasi DKPP yang lunak hanya akan berdampak buruk bagi pelaksanaan Pemilu pada masa-masa mendatang. Agar agak adil, penyelenggara Pemilu yang terbukti terlibat penggelembungan, perampokan, dan kanibalisme suara harus diproses secara hukum.Itu pula sebenarnya yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Pasal 309 UU Pemilu dengan jelas menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Pertanyaannya: sejauh ini sudah berapa banyak kasus pencurian suara yang diungkap dan berapa banyak caleg yang diproses hukum? Kalau Undang-Undang tidak ditegakkan dan kita terlampau permisif pada perilaku culas dalam Pemilu, jangan harapkan Pemilu akan menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas dan akan benar-benar bekerja untuk rakyat.
Kalau kecuranga dimaklumi dan kejahatan Pemilu yang melibatkan penyelenggara Pemilu dianggap angin lalu, maka pada masa mendatang akan makin banyak orang yang ingin menjadi penyelenggara Pemilu karena ingin mendapatkan rezeki macan lima tahunan. Antrean pelamar lowongan anggota KPU dan Bawaslu pun akan tak ada bedanya dengan antrean kerja pabrik atau lowonga PNS.
Sementara itu, caleg perampok suara yang sukses lolos ke gedung Dewan akan menikmati gelimang fasilitasnya sebagai warga negara kelas wahid, sonder berpikir bahwa kursi yang dia duduki sejatinya hak orang lain. Kita tentu tak bisa berharap apa pun kepada wakil rakyat yang kelasnya seperti itu. (OYOS SAROSO HN)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar