Ilustrasi pekerja rumah tangga perempuan. |
Amnesty International menemukan bahwa mereka yang diwawancara bekerja rata-rata 17 jam per hari; banyak responden yang tidak menerima Upah Minimum yang Diperkenankan (Minimum Allowable Wage) berdasarkan Undang-Undang, dilarang mempraktikan kepercayaan mereka, dan tidak mendapatkan hari libur mingguan.
Para perempuan terjebak dalam lingkaran kerja paksa dengan hutang yang besar untuk menutupi biaya perekrutan yang tidak jelas dan berlebihan.
Agen perekrutan di Indonesia dan agen penempatan di Hong Kong berkolusi dalam memperdayai batasan-batasan legal dalam membebani para pekerja rumah tangga migran. Amnesty International menemukan hampir semua perempuan dibebani biaya jauh di atas batas yang diperkenankan oleh hukum.
Agensi tersebut memperdaya hukum dengan mengumpulkan biaya yang berlebihan melalui skema pihak ketiga, termasuk melalui perusahaan-perusahaan keuangan.
Komisioner Ketenagakerjaan Hong Kong hanya mencabut izin dua agen penempatan pada tahun 2012 dan hanya satu pada empat bulan pertama tahun 2013.
“Agen perekrutan dan penempatan secara terang-terangan melanggar hukum yang didesain untuk melindungi pekerja rumah tangga migran dari kesewenang-wenangan. Hampir tiadanya tindakan oleh pihak berwenang Hong Kong dan Indonesia berarti para perempuan tersebut terus dieksploitasi demi keuntungan,” ungkap Norma Kang Muico, Peneliti Hak-Hak Migran Asia Pasifik di Amnesty International.
Terjebak dan dilecehkan
Ketika di Hong Kong, ketakutan terjebak dalam hutang yang makin dalam melalui pembebanan ulang biaya perekrutan dalam mendapatkan pemberi kerja baru mengakibatkan banyak perempuan terjebak dengan pemberi kerja yang melecehkan.
Dua pertiga pekerja rumah tangga migran yang diwawancara Amnesty International mengaku menjadi korban penganiayaan fisik dan psikologis. Persyaratan yang mewajibkan pekerja rumah tangga tinggal serumah dengan pemberi kerja mereka, meningkatkan isolasi mereka, dan menempatkan mereka dalam resiko pelecahan yang lebih jauh.
Satu perempuan menyatakan bagaimana sang istri majikan secara fisik menganiaya dia secara rutin. Pernah sekali istri makjikan itu memerintahkan kedua anjingnya untuk mengigit perempuan pekerja rumah tangga itu.
“Ada sepuluh bekas gigitan di badanku, yang merobek kulit sehingga berdarah. Ia merekamnya di telepon genggamnya, dan ia terus menonton ulang sembari tertawa,” ujar perempuan itu kepada Amnesty Internasional.
Para perempuan mengatakan pada Amnesty International bahwa kontrak mereka bisa diputus bila mereka mengeluh soal perlakuan yang dialami, atau jika agen penempatan memanipulasi situasi demi mendapatkan biaya perekrutan baru.
Pembayaran yang rendah adalah masalah yang meluas. Namun dalam periode dua tahun hingga Mei 2012, hanya 342 kasus pembayaran yang rendah yang diajukan dari total populasi lebih dari 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.
“Kita perlu melihat hukum yang ada ditegakkan dan orang mendapatkan keadilan untuk eksploitasi. Hanya saat itulah kita dapat melihat pengakhiran kerja paksa dari Indonesia ke Hong Kong,” ungkap Muico.
Hukum Hong Kong menyatakan pekerja rumah tangga migran harus mendapatkan pemberi kerja baru dan mendapatkan visa kerja baru dalam jangka waktu dua minggu setelah berakhirnya kontrak mereka, atau mereka harus meninggalkan Hong Kong.
Menurut Muico keseluruhan sistem merugikan pekerja rumah tangga migran. Jika Pemerintah Hong Kong serius dalam melindungi perempuan tersebut, mereka akan menghapus Peraturan Dua Minggu dan Kewajiban Tinggal Serumah yang menempatkan para perempuan dalam risiko pelecehan yang lebih besar.
“Kedua Pemerintah, Indonesia dan Hong Kong, perlu menunjukkan komitmen sejati untuk mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia dan hak pekerja yang terungkap dalam laporan ini. Amnesty International menyerukan kepada kedua pemerintah untuk secepatnya meratifikasi dan menerapkan Konvensi Pekerja Rumah Tangga dari Organisasi Buruh Internasional (ILO),” kata Muico.
Hanna Yohana/Hong Kong
0 komentar:
Posting Komentar