BANDARLAMPUNG-Suatu pagi, puluhan kera ekor panjang tampak berlarian di atas atap Hotel Hartono, Jl. Kesehatan Bandarlampung. Mereka berebut makanan sisa yang biasa dibuang di bak sampah sisi kiri hotel. Kawasan ini termasuk di jantung Kota Bandarlampung. Jaraknya dari Jalan Dr. Susilo tidak terlalu jauh.
Setelah menikmati makanan di atas atap hotel, gerombolan kera itu pun kemudian meniti pagar rumah warga di sekitar Lembah Tirtosari, di Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandarlampung. Sementara yang lainnya tampak bergelantungan dari pohon ke pohon.
Mereka tampak riang. Sesekali seekor induk kera bergelantungan di kabel listrik yang membentang di atas lembah. Tak jarang, sambil meniti kabel listrik, seekor induk kera akan menggendong anak kesayangannya.
Kera-kera lainnya sibuk berloncatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Sesekali penghuni rumah akan mengusir dengan tepukan tangan dan teriakan karena kawanan kera itu membuka tangki tempat penampungan air dan mandi di dalamnya.
Sore hari, bersamaan dengan kedatangan dua-tiga pasangan muda-muda, kera-kera itu akan lebih atraktif lagi. Apalagi kalau pengunjung mau berbaik hati memberinya beberapa sisir pisang. Kawanan kera itu akan langsung berebut makanan. Dan, ‘sebagai balas jasa’, mereka akan beraksi di depan pengunjung.
Bagi warga sekitar Lembah Tirtosari dan pelanggan Hotel Hartono, kenakalan kawanan kera itu sudah sangat biasa. Bahkan, warga menganggap kera-kera itu sebagai hiburan gratis. Penduduk sekitar tidak akan marah, meskipun kenakalan kawanan kera itu sering keterlaluan. Selain mandi di tangki penampungan air, kawanan kera itu juga sering mengambil pakaian milik warga yang sedang dijemur.
“Jok motor saya memang sudah ada ‘sedikit luka’ sehingga busanya tampak. Mungkin kawanan kera itu mengira busa itu roti. Mereka pun merobek jok motor dan mengambili busanya.Cuilan busa jok motor saya bertebaran di areal parkir,” ujar Pandu, 44, warga Bandarlampung.
“Ketika kami berkantor di depan kawasan itu, kawanan kera sering naik ke bak penampungan air. Mereka mandi ramai-ramai,” ujar Yunus.
Biasanya kera-kera itu akan keluar dari dalam lembah pada waktu pagi dan sore hari. Pada saat itulah tingkah polah kera itu menjadi tontonan gratis.
Hingga kini tak seorang pun tahu kapan kera ekor panjang itu mulai menghuni Lembah Tirtosari. Yang pasti, hingga sekarang tidak ada seorang pun warga sekitar lembah mau mengganggu kawanan kera itu. Kawanan kera dan ratusan kepala keluarga (manusia) itu hidup berdampingan dengan damai, meskipun ulah kawanan kera itu sering menjengkelkan.
Menikmati hiburan atraksi kera liar di Lembah Tirtosari pada sore hari lebih mengasyikkan. Sebab, selain bisa menyaksikan kelucuan tingkah kawanan kera secara gratis, kita juga bisa menyaksikan keindahan pantai Teluk Lampung. Bila hari cerah, kita bisa menyaksikan matahari tenggelam di balik laut bersamaan dengan geriap daun-daun pepohonan di lembah bergoyang karena dinjak kawanan kera.
Selain Lembah Tirtosari, puluhan kera liar tapi juga bisa dijumpai di Gunung Banten, di Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Kedaton, Bandarlampung. Yang dimaksud dengan Gunung Banten sebenarnya hanyalah sebuah bukit yang tingginya tidak lebih 400 meter.
Selain Gunung (bukit) Banten, di kota Bandarlampung masih ada belasan bukit serupa. Sayangnya, hampir semua bukit itu sudah digerus untuk dijual batunya atau untuk menimbun pantai. Ada juga bukit yang sudah menjadi kawasan perumahan.
Gunung Banten termasuk bukit di Bandarlampung yang relatif aman dari perusakan. Itu tak lain lantaran warga sekitar meyakini bahwa Gunung Banten adalah daerah keramat.
Sumidi, 47, ketua RT 002 Kelurahan Sidodadi, mengungkapkan warga sekitar bukit tidak berani mengganggu kera-kera tersebut karena mereka menganggap kera penghuni Gunung Banten adalah kera keramat.
“Setiap malam Jumat, ayah membakar kemenyan di rumah. Katanya biar baunya sampai ke beringin di atas gunung,” kata Sumidi.
Sumidi menuturkan, pada zaman penjajahan Belamda dulu ada seseorang dari Jawa yang secara tiba-tiba datang ke gunung tersebut. Suatu hari, pendatang yang diyakini sebagai “wali” itu berpesan agar warga sekitar Bukit Sidodadi merawat areal seluas 3 x 4 meter di pinggang bukit tersebut.
Menurut Sumidi, berdasarkan cerita secara turun temurun, setelah berpesan kepada warga, lelaki asal Jawa itu kemudian menghilang begitu saja. Tak lama kemudian di bukit itu berdatanganlah beberapa kera ekor panjang. Sampai kini puluhan kera tersebut masih menghuni Bukit Tirtosari. Penduduk sekitar bukit tidak ada yang berani mengganggu kera-kera yang hidup di sana.
Kera-kera itu dipercaya sebagai penunggu Gunung Banten. Mereka sangat kompak dan tidak mengizinkan kera dari daerah lain tinggal di bukit itu.
Pernah ada warga mencoba melepas seekor kera piaraan ke Gunung Banten. Maksudnya supaya kera tadi bisa liar kembali dan hidup di alamnya. Akan tetapi, hanya berselang satu malam, kera pendatang tersebut terbirit-birit turun gunung dengan tubuh luka-luka habis dikeroyok kera penunggu Gunung Banten.
Juga ada kisah lain. Pernah ada seorang warga nekat mengambil seekor anak kera. Malamnya, rumah warga tadi dikepung dan diamuk hingga hancur oleh puluhan kera. Sejak itu, tidak ada lagi yang berani mengambil kera dari Gunung Banten.
Sebagai bukit di perkotaan, tak terhindarkan, Gunung Banten juga dijadikan kawasan permukiman. Beberapa rumah terlihat berdiri di pinggang gunung. Akan tetapi komitmen warga untuk menjaga hijaunya tempat itu, membuat rumah-rumah warga diselimuti lebatnya pepohonan.
Rumah warga terletak di antara kaki dan pinggang bukit. Tidak ada yang sampai puncak. Mereka menaati batas ketinggian agar tidak mengganggu kera-kera di sana.
“Pernah ada seorang warga membuat rumah hampir di puncak gunung ini. Malamnya dia didatangi ular, dan dia percaya kalau itu pertanda dia tidak boleh tinggal di situ. Maka, esoknya dia bongkar lagi rumah itu dan pindah,” tutur Sumidi.
Mas Alina
0 komentar:
Posting Komentar