Oleh: Syarief Makhya*
Demokrasi sebagai sebuah pilihan politik yang dinilai terbaik untuk mengelola pemerintahan di Indonesia, dalam prakteknya justru dijadikan momentum bagi para penegak hukum, politisi, pejabat publik dan anggota Dewan untuk merauk keuntungan finansial baik untuk kepentingan personal maupun untuk kepentingan partai politik. Kasus tertangkap tangan Akil Muchtar oleh KPK yang terindikasi menerima suap dalam kasus pilkada menjadi bukti terjadinya praktek ilegal dalam peneggakan hukum dan demokrasi.
Dalam pratiknya, nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga politik seperti Pemilu dan lembaga legistatif atau nilai keadilan diwujudkan dalam lembaga-lembaga peradilan bersifat asimetris. Pemilu atau Pemilukada yang merepresentasikan hak rakyat untuk memilih anggota legistatif dan kepala daerah, tetapi dalam pelaksanannya tidak dengan sendirinya mewujudkan hak rakyat tersebut, karena rakyat disogok untuk mendapatkan suara yang diinginkan. Lembaga pengadilan yang seharusnya merepresentasikan nilai keadilan, tetapi lembaga pengadilan tidak bisa merealisasikan keadilan bagi para pencari keadilan karena lembaga-lembaga itu sudah dikuasai oleh jaringan mafia peradilan.
Praktek kegiatan politik yang tidak mengikuti legitimasi melalui prosedur atau legal yang sudah diatur dalam berbagai produk hukum tidak hanya dilakukan oleh MK, tetapi juga dilakukan oleh penyelenggara KPU, partai politik, pejabat publik, dan pengusaha. KPU dalam berbagai kasus pilkada atau pemilu, melakukan praktek haram seperti merubah hasil perhitungan suara atau berpihak pada kandidat kepala daerah tertentu. Partai politik melakukan praktek mencari keuntungan finansial dengan cara memanfaatkan jaringan kekuasaanya di lembaga legistatif.
Para pejabat publik, melakukan praktek memobilisasi dukungan masa untuk kepentingan pemenangan incumbent dengan cara memanfaatkan dana APBD. Sementara para pengusaha dengan kekuatan uangnya menaburkan uang untuk mendukung calon tertentu dengan harapan jika calonnya menang bisa mencari keuntungan, serta melanggengkan dan mengamankan perusahannya.
Kegiatan politik atau perilaku politik yang digambarkan tersebut adalah wujud dari kejahatan politik yaitu kegiatan politik atau perilaku politik yang dilakukan dengan cara cara illegal. Hingga sekarang bentuk kejahatan politik tersebut belum sepenuhnya bisa terjangkau oleh instrument hukum. Kasus suap hanya bisa diseret ke proses hukum, jika tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum atau ada pengakuan dari yang terlibat suap-meyuap.
Untuk kasus praktek politik uang dalam persaingan politik juga sampai sekarang aturan hukumnya masih masih berwarna abu-abu, sehingga praktek politik uang bisa dilakukan secara tersembunyi atau dikaburkan sebagai bagian dari ongkos politik. Juga, pemanfaatan dana APBD untuk mendukung calon-calon kepala daerah tertentu, seringkali sulit dibuktikan karena aturan mainnya masih longgar dan tidak ada kontrol yang ketat dari anggota legistatif sehingga modus membuat program-program bukan karena konteksnya untuk memecahkan problema publik, tetapi dimanfaatkan untuk politik-pencitraan.
Praktek kejahatan politik di Indonesia telah menimbulkan dampak yang sangat dahsyat yaitu hilangnya krisis kepercayaan terhadap jalannya praktek pemerintahan di negri ini. Pemerintah dalam batas-batas tertentu sudah kehilangan daya paksanya dan mengalami disfungsional untuk menjalankan politik kesejahteraan masyarakatnya.
Kejahatan politik yang berlangsung dinegri ini telah menciptakan fenomena politik baru yaitu politik dinasti, persaingan politik yang terbatas yaitu hanya bisa diikuti oleh elit-elit partai politik, pengusaha dan para pejabat publik; munculnya penumpukaan kekayaan pada orang-orang tertentu sebagai buah hasil korupsi, akses politik yang terbatas yaitu hanya mereka yang memiliki popularitas, jumlah uang yang banyak dan jaringan politik yang bisa merebut kekuasaan sebagai kepala daerah atau anggota legistatif.
Akibat langsung dari praktek kejahatan politik ini pada masyarakat lapisan kelas menengah ke bawah yaitu munculnya krisis penentuan hak pilih. Dalam arti, masyarakat dalam menggunakan hak memilih tidak lagi kritis atau memiliki penilaian terhadap sosok pemimpin atau calon anggota legistatif yang diangap ideal. Mereka sudah sangat prgmatis, siapa yang memberi dana secara langsung atau memberi bantuan untuk bangun masjid atau membantu fasilitas umum akan mereka dukung dan dipilihnya.
Memperbaiki Sistem Demokrasi
Upaya untuk memberbaiki kualitas demokrasi di negri ini tidak mudah untuk dilakukan. Generasi angkatan tahun 1980-an yang semula diharapkan mampu memperbaiki moralitas bangsa ini, juga sudah tercemar dengan sikap politik pragmatism. Dikalangan elite politik yang berusia antara 30-45 tahun yang menjadi anggota legistatif atau pejabat publik sudah terkotori dengan praktek korupsi, suap-menyuap dan politik uang.
Upaya untuk memperbaiki sistem demokrasi harus segera dilakukan dengan cara mengkaji ulang regulasi ketatanegaraan yang masih memberikan ruang timbulnya penyimpangan kekuasaan. Namun juga, seperti dikemukakan Ignas Kleden (2009) kesadaran masyarakat untuk membangun kualitas demokrasi juga harus dibangun, kerena sikap masyarakat yang cenderung permisif ikut membuat korupsi berkembang. Jadi, masyarakat menciptakan impunity terhadap perilaku korup di kalangan pejabat.***
* Dr. Syarief Makhya adalah Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
0 komentar:
Posting Komentar