Ignas Kleden |
Contoh ini memperlihatkan hubungan yang kompleks dan dinamis antara lapis mental-simbolik, lapis sosial dan kebudayaan fisik dalam tiap kebudayaan. Bisa dipertanyakan apakah ada hubungan linear di antara sistem pengetahuan dan sistem nilai dengan perilaku sosial dan kebudayaan fisik, atau, sebaliknya, dari kebudayaan fisik ke perilaku sosial dan selanjutnya ke sistem pengetahuan dan sistem nilai dalam kebudayaan?
Saya berpendapat, hubungan linear semacam itu tidak ada dalam kebudayaan, karena yang ada ialah hubungan yang terbuka kepada berbagai kemungkinan saling pengaruh. Contoh tentang arsitektur rumah tradisional di berbagai daerah di Indonesia, menunjuk pengaruh dari sistem pengetahuan dan sistem nilai ke perilaku sosial dan selanjutnya ke kebudayaan fisik. Sebaliknya, contoh tentang hilangnya hutan rimba orang Petalangan di Provinsi Riau, menunjuk pengaruh dari perubahan alam fisik ke perilaku sosial dan selanjutnya ke sistem pengetahuan dan sistem nilai penduduk setempat.
III
Tema kita hari ini adalah pengelolaan kebudayaan. Sebetulnya kebudayaan tidak perlu
dikelola dari luar, karena tiap kebudayaan dapat mengelola dirinya sendiri. Namun demikian,
pengelolaan kebudayaan diperlukan, kalau terjadi perubahan budaya, khususnya perubahan
budaya yang berlangsung cepat dan luas, karena ada berbagi kekuatan luar yang mendesakkan diri ke dalam kebudayaan itu, dan kelompok budaya yang terkena pengaruh luar belum siap untuk memberi respons yang selektif dan kreatif.
Dalam pada itu perlu diperhatikan apakah kekuatan luar itu menyebabkan perubahan atau guncangan pada basis materil kebudayaan, pada perilaku sosial atau pada alam pikiran berupa sistem pengetahuan dan sistem nilai, atau mungkin pada ketiga lapis itu sekaligus. Hal ini dapat kita ilustrasikan dengan beberapa contoh.
Hal pertama yang amat nyata adalah hubungan desa-kota yang terjadi hampir di segala tempat di Indonesia. Hubungan des-kota mengalami perubahan besar karena adanya urbanisasi, baik urbanisasi dalam pengertian demografis berupa berpindahnya penduduk desa ke daerah perkotaan, maupun urbanisasi mental yaitu masuknya pola budaya dan khususnya gaya hidup perkotaan ke desa-desa, melalui berbagai media komunikasi, khususnya melalui televisi. Urbanisasi jenis kedua ini dapat terjadi tanpa orang desa harus pindah ke kota.
Dalam urbanisasi demografis guncangan akan paling terasa pada basis materil kebudayaan, karena perumahan amat sulit di kota, pekerjaan sulit didapat, pengeluaran dan belanja menjadi lebih besar, dan ancaman rasa lapar menjadi begitu konkret setiap hari. Pada lapis sosial kebudayaan, hubungan kekerabatan menjadi lebih renggang, karena masingmasing orang sibuk mengurus dirinya sendiri. Sementara itu sering kita saksikan bahwa perilaku di desa masih terus terbawa setelah seorang pindah dan hidup di kota.
Kebiasaan duduk di atas tikar dengan dua kaki terlipat, masih tetap dipertahankan, juga kalau orang duduk di kursi atau di sofa. Kedua kaki diangkat ke atas kursi atau sofa dan dilipat seperti orang duduk di atas tikar. Pada urbanisasi demografis perubahan pada tingkat mental terjadi sedikit sekali dan dengan tempo yang amat lambat. Pandangan dunia yang magis sifatnya sulit sekali diganti oleh pandangan yang lebih rasional.
Sebaliknya dalam urbanisasi mental penduduk tetap tinggal di desa tetapi banyak aspirasi dan keinginan berubah mengikuti gaya hidup di kota, dan, sayangnya, terbanyak aspirasi itu bersifat konsumtif. Anak-anak kecil meminta dibelikan baju dan mainan seperti yang mereka lihat di televisi, sementara para remaja menuntut orangtuanya membelikan sepeda motor atau telepon genggam. Tidak jarang terjadi bahwa tuntutan ini mengakibatkan kekerasan domestik. Dengan demikian, mengelola perubahan sosial yang muncul dari dua jenis urbanisasi ini, jelas memerlukan pendekatan yang berbeda, sesuai dengan lapis kebudayaan mana yang paling terkena goncangan akibat perubahan yang terjadi. Selanjutnya
0 komentar:
Posting Komentar