Mengelola Kebudayaan (6)

Ignas Kleden

Dalam pada itu produk-produk kebudayaan itu telah diciptakan berdasarkan kreativitas atau daya cipta dari orang-orang yang hidup dalam kebudayaan itu. Hidupmatinya kebudayaan sangat tergantung pada ada-tidaknya daya cipta dalam suatu kebudayaan, dan ada-tidaknya suasana yang memungkinkan daya cipta itu berkembang atau tidak berkembang. Sebagai contoh kalau pementasan teater harus memerlukan surat izin dari pihak keamanan atau kepolisian, mengalami sensor ketat, dan ada kemungkinan dilarang secara sepihak, maka di sana suasananya jelas menghambat daya cipta.

Dikatakan secara tehnis: melihat kebudayaan sebagai hasil yang sudah jadi adalah memandang kebudayaan sebagai produk. Sebaliknya, melihat kebudayaan sebagai daya-cipta dan syarat-syarat pendukungnya adalah memandang kebudayaan sebagai proses produksi.
Dengan demikian mengelola kebudayaan dalam kaitan ini berarti mengelola produk budaya
dan mengelola proses produksi kebudayaan.

Pertanyaan yang perlu dijawab ialah apa artinya mengelola produk kebudayaan? Patut diingat bahwa produk kebudayaan tertentu sudah dihasilkan oleh orang-orang dalam suatu kelompok budaya tertentu, baik produk fisik maupun produk non-fisik. Di Sumatera dan Jawa banyak kelompok budaya memakan nasi, tetapi banyak kelompok budaya di Maluku dan Papua memakan sagu, dan di NTT banyak yang senang makan jagung. Mengelola kebudayaan di sini berarti memberi kemungkinan sebesar-besarnya kepada masing-masing kelompok untuk tetap menghasilkan jenis makanan yang sesuai dengan kebiasaan mereka, dan tidak memaksa mereka mengganti menu karena ada suatu kebijakan untuk membantu penduduk miskin dengan memberi beras.

Hal yang sama berlaku juga untuk jenis-jenis pakaian yang dihasilkan. Batik, tenun ikat, atau produk lainnya, hendaknya dijamin untuk tetap dapat diproduksi oleh masing-masing kelompok budaya secara bebas, dan perlu ada kebijakan pemerintah yang mencegah bahwa suatu produk yang laku di pasaran dunia, kemudian hendak dimonopoli oleh orang-orang di luar kelompok budaya yang menghasilkan produk tersebut atau bahkan oleh pihak asing yang berusaha mendapatkan hak paten untuk jenis batik atau jenis tenun ikat tertentu. (Bersambung)
Peran produk kebudayaan itu kemudian diperluas menjadi semacam tanda untuk identitas suatu kelompok budaya. Dalam fungsi sebagai tanda identitas ini, produk kebudayaan kemudan dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam diplomasi kebudayaan antar-negara, khususnya apabila diplomasi politik sudah menemui jalan buntu. Hal yang sama berlaku juga untuk produk non-fisik seperti bahasa daerah dan sastra daerah.

Apa yang harus dilakukan dengan bahasa daerah dalam pendidikan nasional sekarang? Bahasa-bahasa daerah yang besar seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Aceh, atau bahasa Banjar dan bahasa Bugis, mungkin sekali tidak mengalami masalah besar, karena jumlah penuturnya memungkinkan bahasa-bahasa ini akan tetap hidup, ditambah lagi bahasa-bahasa itu mempunyai sastra tertulis yang menjadi bahan pembelajaran baik buat kelompok-kelompok budaya tersebut, maupun bagi orang lain yang berminat dengan bahasa-bahasa tersebut. Akan tetapi bahasa-bahasa daerah yang lebih kecil sangat mungkin tidak mempunyai kesempatan yang sama baiknya untuk bertahan, apabila tidak dibantu dengan pengelolaan yang baik. Selanjutnya, pertanyaan yang sama dapat diajukan untuk proses  produksi kebudayaan.

Apa artinya mengelola proses produksi kebudayaan? Di sini patut dicatat sebuah kenyataan yang sangat jelas yaitu bahwa proses produksi budaya dalam berbagai kelompok budaya tetap berlangsung setiap hari, dengan atau tanpa bantuan dari luar. Karena itu, syarat minimal untuk kelangsungan proses produksi budaya adalah menghindari berbagai regulasi yang membatasi proses produksi tersebut, dan mencegah timbulnya suasana yang menghambatnya.
Hambatan-hambatan itu bisa muncul dari regulasi pemerintah, tetapi juga dari hubungan yang
tidak kreatif antara berbagai kelompok masyarakat, baik antara kelompok etnis, kelompok
agama ataupun kelompok politik.

Kedua, sebaiknya dibedakan pengelolaan yang memperlakukan kebudayaan sebagai komoditi dan pengelolaan yang memperlakukan kebudayaan sebagai sumber daya. Memperlakukan kebudayaan sebagai komoditi adalah menekankan kebudayaan sebagai produk kebudayaan, baik fisik dan non-fisik, yang mempunyai nilai tukar. Sebaliknya memperlakukan kebudayaan sebagai sumber daya adalah mengutamakan proses produksi untuk pengembangan kebudayaan. Batik dan tenun ikat adalah komoditi yang mempunyai nilai tukar dan bisa dijual dalam transaksi kebudayaan. Akan tetapi pengetahuan dan ketrampilan membuat batik atau tenun ikat amat perlu untuk pengembangan kebudayaan.

Membeli batik atau tenun ikat hanya mempersyaratkan adanya uang, tetapi menguasai keterampilan membuat batik dan tenun ikat memerlukan proses belajar, yang menggabungkan
teknik, kepekaan terhadap warna, kepandaian membuat motif dan berbagai kepandaian lainnya.
Dalam bentuk yang lebih modern kita membanggakan lukisan, ukiran, tarian, musik dan karya sastra yang bagus sebagai output kebudayaan Indonesia. Namun pemikiran tentang output adalah asyik dengan kebudayaan sebagai komoditi, sementara untuk perkembangan tari, seni rupa, musik dan sastra baru, diperlukan perhatian yang lebih serius terhadap kebudayaan sebagai sumber daya, yang kekuatannya terletak dalam daya cipta yang didukung oleh kemampuan dan komitmen untuk mengembangkan kebudayaan lebih lanjut.

Pariwisata yang konvensional hanya memperhatikan kebudayaan sebagai komoditi, akan tetapi dengan imajinasi yang lebih banyak pariwisata dapat menarik para peminat dengan menunjukkan proses produksi sebuah produk budaya, misalnya dalam sebuah show room,
yang memperlihatkan berbagai tahapan produksi untuk menghasilkan sebuah produk budaya.

Dalam kaitan itu perlu perhatian lebih banyak terhadap lembaga-lembaga yang memungkinkan dan membantu proses belajar dalam kebudayaan yang akan membantu pengembangan kebudayaan. Galeri, sanggar seni, perpustakaan, museum dan arsip adalah beberapa lembaga yang amat instrumental terhadap pengembangan daya cipta budaya, yang akan membuat kebudayaan menjadi sumber daya yang penting. Kita tahu Perpustakaan H.B. Jassin sekarang mempunyai gedung sendiri dalam Taman Ismail Marzuki. Namun demikian, biaya operasional rupanya masih dari jauh dari cukup, baik untuk membayar karyawan maupun untuk memelihara buku-buku dan berbagai dokumen berharga yang ada di sana.

Keadaan perpustakaan yang kurang terurus ini menyebabkan bahwa beberapa tahun lalu sebuah lembaga asing telah berminat untuk membeli seluruh perpustakaan itu, yang telah dibangun oleh H.B. Jassin sebagai usaha pribadi. Kita patut bersyukur bahwa jual-beli itu batal, dan kita masih mempunyai perpustakaan yang berharga itu di tengah kita hingga sekarang. Demikian pun lukisan-lukisan yang penting hanya disimpan dalam koleksi-koleksi pribadi, dan tidak ada galeri nasional yang memadai tempat karya pelukis-pelukis Indonesia disimpan dengan hormat untuk dinikmati dan dipelajari oleh generasi yang lebih muda.

Tentulah diperlukan biaya amat besar untuk membangun sebuah galeri sebesar Pinakothek di
kota Muenchen, yang menyimpan dalam dua gedung besar lukisan-lukisan yang klasik dan
yang modern. Akan tetapi harus ada perhatian untuk usaha seperti itu, khususnya dari
pemerintah, dan dari kalangan swasta yang mempunyai visi lebih jauh dari sekedar
membangun mall-mall di dalam kota.

Ketiga, perlu juga dibedakan pengelolaan kebudayaan untuk tujuan pelestarian dan pengelolaan kebudayaan untuk tujuan pengembangan. Pelestarian adalah usaha dan program untuk menyelamatkan produk budaya yang sudah ada agar bertahan untuk waktu selama mungkin dan bisa dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Pengembangan, sebaliknya, berkutat dengan daya cipta dalam proses produksi, untuk menghasilkan produk-produk baru dalam kebudayaan, dengan menerobos pakem-pakem yang ada, dan menemukan pola-pola baru dalam penciptaan kebudayaan. Pelestarian memerlukan tenaga-tenaga seperti kurator, manajer, administrator sedangkan pengembangan memerlukan tenaga-tenaga kreatif seperti para seniman, motivator, dan semua pihak yang dapat memberi insentif untuk penciptaan kebudayaan.

Pelestarian produk-produk kebudayaan daerah memang patut dilakukan, tetapi usaha pelestarian itu sebaiknya tidak mengekang atau menutup kemungkinan bagi seniman-seniman kreatif untuk mencari jalan baru dalam penciptaan kebudayaan. Kita tahu dalam bidang kesusastraan dan kesenian pelestarian kebudayaan ada di tangan para literati tetapi pengembangan kebudayaan ada di tangan para inteligensia. Yang satu bertugas menjaga tradisi, yang lain bertugas menerobos tradisi untuk menemukan jalan-jalan baru.

Sudah jelas bahwa kebijakan untuk mengelola pelestarian budaya tidak bisa diberlakukan untuk pengelolaan bagi pengembangan budaya, dan sebaliknya. Konservasi seakan memberikan repertoar produk budaya untuk pekerjaan budaya selanjutnya, sementara kreasi budaya mencari jalan untuk menghasilkan nomor-nomor baru yang belum tercatat dalam reportoar yang sudah ada.

V

Masalah terakhir yang perlu dibahas adalah siapa yang harus melakukan tugas pengelolaan budaya? Dalam hal ini kita beruntung mempunyai seorang Ali Sadikin yang memberikan contoh, yang dapat diulang untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Peran pemerintah dalam pengelolaan kebudayaan adalah fasilitasi, seperti halnya Ali Sadikin telah memfasilitasi kerja para seniman kreatif dengan membangun Taman Ismail Marzuki. Akan tetapi pengelolaan Taman itu sepenuhnya diserahkan kepada kalangan seniman sendiri. Secara bergurau Ali Sadikin mengatakan bahwa seniman sukar diatur, jadi biarlah mereka mengatur dirinya sendiri. Namun demikian humor itu mengandung intuisi yang tajam yang membedakan pekerjaan yang dapat dan harus dilakukan pemerintah dalam memfasilitasi dan pekerjaan pengelolaan yang sebaiknya diserahkan kepada kalangan yang mempunyai keahlian, komitmen dan pengalaman untuk melaksanakannya.

Peranan pemerintah secara umum dalam kebudayaan sebaiknya mengikuti prinsip subsidiaritas, yang berarti bahwa selama kelompok-kelompok masyarakat dapat melakukannya sendiri, pemerintah tak perlu campur tangan, tetapi ketika kelompok-kelompok masyarakat itu tidak dapat melakukannya sendiri, karena kekurangan keahlian, kekurangan dana, dan memerlukan dukungan kebijakan, maka di sana pemerintah sebaiknya membantu. Perlu sekali dihindari hal yang sering terjadi, bahwa pejabat-pejabat pemerintah, entah karena pertimbangan apa, sangat cenderung campur tangan dalam kerja budaya yang dilakukan masyarakat, akan tetapi pada saat bantuan dan dukungan pemerintah dibutuhkan, pemerintah justru menarik diri, dan membiarkan masyarakat berjuang sendiri, dengan dalih bahwa itu bukan tugas pemerintah.

Pada akhirnya, pengelolaan kebudayaan adalah kata lain bagi apresiasi bagi setiap kreasi, dan simpati untuk terus mempertahankan kreativitas dalam kebudayaan.***

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan