Iin Mutmainah, Maestro Dongeng dari Kemiling

Sangat jarang pasangan suami-istri di Indonesia yang sangat peduli terhadap pendidikan anak-anak. Di antara sedikit pasangan itu, Iin Mutmainah dan Ivan Sumantri Bonang bisa dicatat sebagai dua sosok yang layak diberi acungan jempol.

Pasangan yang berdomisili di Kemiling, Bandarlampung, itu memiliki empat anak yang masih balita dan duduk di bangku SMP. Namun, mereka juga peduli terhadap anak-anak orang lain yang membutuhkan pendidikan dasar, baik itu tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, maupun SMP.

Kecintaan pasangan ini terhadap dunia anak-anak sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Mereka sejak sepuluhan tahun terakhir sudah bergelut dengan dunia dongeng lewat Komunitas Dongeng Dakocan. Iin yang sejak mahasiswa di Universitas Lampung sering menjadi juara lomba baca puisi, tidak mengalami kesulitan untuk mendongeng.

Demikian juga Ivan yang juga menekuni dunia seni sejak di bangku kuliah.Maka, perpaduan kecintaan terhadap seni itu klop dengan ayunan langkah mereka untuk menjadikan dongeng sebagai sarana belajar.

“Mendongeng bagi kami bukan semata-mata demi uang. Kami terjun di dunia ini karena menyadari betapa pentingnga arti dongeng bagi anak-anak. Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa para orang tua dan guru pendidikan dasar banyak yang tidak memiliki kebiasaan mendongeng,” kata Iin.

Selain mendongeng di sekolah, Iin dan Sanggar Dakocan juga mendongeng di tempat terbuka, seperti lapangan atau di kebun binatang. Bersama Sanggar Dakocan, Ivan dan Iin juga mendongeng untuk kegiatan amal. Salah satunya adalah mendongeng di depan anak-anak korban tragedi konflik Lampung Selatan, di tempat pengungsian Kompleks Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, beberapa bulan lalu.

Ketika para relawan belum masuk ke lokasi pengungsian, Iin dan Ivan sudah berbaur dengan anak-anak pengungsi untuk mencari tahu apa yang mereka butuhkan. Setelah mengetahui bahwa anak-anak korban konflik itu perlu pemulihan kejiawaan, Iin dan Ivan bersama Sanggar Dakocan pun rutin tiap sore mendongeng dan bernyanyi di depan anak-anak pengungsi. Anak-anak korban konflik itu juga dilatih kreativitasnya membuat dan bermain layang-layang.

“Semua itu merupakan bagian dari trauma healing yang dibutuhkan anak-anak korban konflik Lampung Selatan pascakonflik. Trauma healing itu membutuhkan proses yang lama,” kata Ivan.

Menurut Iin,  kegiatan bercerita atau mendongeng di sekolah, terutama TK, kebanyakan dilakukan dengan kurang menarik. Hanya sedikit guru yang mampu mendongeng dengan baik.

“Padahal untuk siswa TK, mendengarkan cerita sangat berguna untuk mengajarkan nilai-nilai dan membantu membangun karakter anak didik.  Tidak heran kalau anak-anak lebih suka menonton TV ketimbang dongeng. Mungkin salah satu sebabnya adalah karena cara penyajian yang tidak enak dilihat,” kata Iin.

Dalam mendongeng, Iin dan para pendongeng dari Sanggar Dakocan selalu atraktif dan interaktif. “Para pendongeng di Sanggar Dakocan juga belajar dulu tentang psikologi anak. Kami juga menambah wawasan para pendongeng dengan berbagai bahan bacaan,” kata dia.

Menurut Iin, mendongeng sangat bermanfaat untuk menumbuhkan kontak emosi yang baik antara orang tua dan anak.”Kalau mendongeng dilakukan  secara rutin, akan ada kedekatan emosi yang tumbuh antara anak dan orang tua.  Kedakatan emosi ini akan meningkatkan rasa saling percaya antara orang tua dan anak.  Selain itu anak belajar untuk mendengar dari orang tuanya,” ujarnya.

Selain untuk mengembangkan emosi anak, kata Iin, dongeng juga bermanfaat untuk mengembangkan imajinasi. “Makanya, saya sering sedih kalau melihat ada guru TK yang membentak-bentak muridnya agar duduk manis saat mendengarkan dongeng. Saya ini mendongeng agar anak-anak gembira dan berkembang imajinasinya, bukannya justru membuat anak-anak takut,” ujarnya.

Agar bisa mendongeng dengan menarik, Iin mengembangkan penguasaan gesture, mimik, dan vokal dalam bercerita. Penggunaan alat dan kostum tertentu sangat dibatasi atau seminimal mungkin.

“Tujuannya adalah untuk menarik anak-anak dalam merespon emosi gerak tubuh, mimik, dan vokal.  Pembatasan pernak-pernik kostum dan alat dilakukan untuk membiasakan anak-anak agar lebih memperhatikan ceritanya ketimbang kostum dan alat-alat yang digunakan,” kata Iin.

Ketika mendongeng, ilustrasi musik yang digunakan juga digarap dengan live music, lebih banyak musik tradisional Lampung.  “Hampir pada setiap cerita yang dibawakan, kami usahakan untuk membuat sebuat theme song,” ujarnya.

Iin mengaku sangat sulit membuat  anak-anak duduk lama untuk mendengarkan dongeng.

“Makanya, sebagai pendongeng saya dan teman-teman harus kreatif. Kami mendongeng secara interaktif.  Anak-anak tidak hanya sebagai objek yang hanya mendengarkan dongeng, tetapi juga kami libatkan dalam cerita. Misalnya kalau ada tokoh ikan yang sedang dikejar hiu, anak-anak akan diminta untuk melindungi ikan tersebut dengan beramai-ramai menjadi terumbu karang,”  ujarnya.

Selain mendongeng untuk anak-anak TK dan SD, Iin juga melatih para guru agar bisa mendongeng. Pada 2007, misalnya, ada 200 guru TK se-Kota Bandarlampung yang diajari mendongeng.

“Sejak 2008 hingga sekarang sudah ratusan guru TK yang kami latih mendongeng.Kami bersyukur ada pemerintah daerah yang responsif menyambut tawaran kami. Salah satunya adalah Pemkab Pesawaran. Kami rutin melatih mendongeng bagi guru-guru TK di Pesawaran,” kata Iin. (Oyos Saroso H.N.)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan