BANDARLAMPUNG--Ini cerita tentang bisnis buku. Bedanya, dalam bisnis buku gaya lama penerbit beramai-ramai melobi kepala sekolah agar buku terbitannya menjadi buku ajar di sekolah. Nah, dalam kisah buku di Bandarlampung ini justru para kepala sekolah yang aktif menerbitkan kumpulan soal menjadi sebuah buku.
Buku yang diberi judul Evaluasi Belajar Siswa (EBS) setebal 300-an halaman itu kemudian diedarkan ke sekolah-sekolah SD di Bandarlampung dengan harga mencapai Rp 62 ribu/eksemplar. Buku yang dicetak jumlahnya cukup fantastis: 40 ribu eksemplar! Rencananya buku itu akan dibeli sekolah dengan dana BOS.
Buku kumpulan soal kelas III–VI dengan cover dominan warna merah dan cokelat itu pun tidak mencantumkan international standard book number (ISBN). Yang paling mengkhawatirkan, diduga dibiayai oleh dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp2,5 miliar, seperti diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Tauhidi.
Sialnya, belum sempat mereka menangguk untung, bau tak sedap keburu tercium KoAk dan media. Rapat dengar pendapat pun digelar Komisi D DPRD Bandarlampung, 26 April 2013.
Dalam dengar pendapat yang berlangsung 30 menit itu, Ketua Komisi D DPRD Bandarlampung Nandang Hendrawan mempertanyakan proses penerbitan buku. Juga tidak adanya pencantuman penerbit, tim penyusun, penyunting, identitas penerbit, dan distributor resmi. Di halaman depan hanya disebutkan Kelompok Kerja Guru Kota Bandarlampung.
Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SD Kota Bandarlampung, Novian Niza, mengaku penerbitan buku berdasarkan workshop pelatihan guru di Hotel Marcopolo, 16–17 November 2012. Ia meyakinkan, EBS sesuai petunjuk teknis BOS. Tidak dicantumkannya nama penerbit dan lainnya, lantaran EBS bukan buku. Tapi kumpulan soal latihan untuk mengukur kemampuan siswa.
Novian mengaku EBS dicetak di percetakan milik Rifi Sitepu, rekanan dalam workshop pelatihan guru. Prosesnya dilakukan di Jakarta. Oplah cetaknya menurut Novian sebanyak 40 ribu eksemplar.
Novian Niza ngotot proyek buku liar sesuai dengan juknis BOS. “Kami tidak pernah mengatakan ini sebagai buku. Ini hanya kumpulan soal latihan untuk mengukur kemampuan siswa dan itu diatur dalam juknis BOS.
“Biasanya soal ini diperbanyak dengan difotokopi ataupun penggandaan lainnya. Nah kali ini kami buat format seperti ini, biar lebih elok,” ujar Novian Niza.
Dengan berdalih buku kumpulan soal tersebut bukanlah sebuah buku, pihak penyusun merasa tidak perlu mencantumkan nama-nama tim penyusun, penyunting, identitas penerbit, dan distributor resmi.
“Pengganda buku ini bukan penerbit buku dan tidak bermaksud menerbitkan buku. Mereka adalah pihak ketiga yang kami minta untuk menggandakan naskah soal ini,” ujarnya.
Pengakuan Novian tentang buku kemudian disanggah Direktur KoAk Muhammad Yunus. Yunus menyoroti soal definisi buku dan kelayakannya didanai dengan uang BOS. Mendapatkan sanggahan Yunus yang dinilai memojokkannya, Novian Niza berteriak-teriak, menggebrak meja, dan keluar dari ruangan komisi dengan emosi.
“Jangan asal menuduh! Lihat dulu persoalannya. Masak saya ditunjuk orang-orang KoAK di depan anggota dewan? Saya ini guru lho. Sakit hati saya,’’ tegas Novian.
’’Saya ke sini tulus, supaya murid jadi pintar. Masak guru jadi cela-celaan begitu? Astagfirullah, saya ini guru lho!’’ tambah kepala SDN 1 Kotakarang itu.
Muhammad Yunus mengatakan yang terjadi di ruang DPRD Bandarlampung tersebut merupakan adu argumen. Karena tidak biasa berdebat, Novian emosi. ’’Sebelumnya kami juga pernah bertemu di suatu forum. Pak Novi itu memang emosional,’’ terang Yunus.
Menurut Yunus kedatangannya hanya ingin mempertanyakan tentang laporan beberapa wali murid yang menyatakan anaknya diwajibkan membeli buku evaluasi belajar siswa (EBS) seharga Rp62 ribu.
Penggagas buku liar tak hanya mengincar dana bantuan operasional sekolah (BOS) di Bandarlampung. Mereka juga menawarkan buku bermasalah itu ke kabupaten lain.
Seorang kepala Dinas Pendidikan di sebuah kabupaten di Lampung mengaku sempat ditawari program penerbitan buku, persis seperti di Bandarlampung.
“Saya ditawari untuk mengadakan kegiatan serupa di kabupaten saya. Ketika itu dia menjelaskan kegiatan diawali workshop dan pelatihan guru, kemudian diakhiri dengan penerbitan buku berisi kumpulan naskah soal,” ujar kepala dinas yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Kepala Dinas Pendidikan itu mengaku tim penggagas buku liar tersebut, tetapi salah satunya adalah seorang guru besar di universitas negeri di Lampung. Ketika pembicaraan tersebut berlangsung, pihak penggagas tidak menyebutkan masalah sumber biaya pembelian buku.
Namun, jika melihat kasus yang terjadi di Bandarlampung, kepala dinas tersebut menilai penggunaan dana BOS dalam program ini tidaklah tepat. Di Bandarlampung, rencananya buku tersebut akan dibeli seluruh kepala sekolah dasar (SD) dengan dana BOS senilai Rp2,5 miliar dan pembayarannya diangsur per triwulan.
Menurut dia, sumber pembiayaan pencetakan yang paling tepat adalah dari dana APBD. “Kalau menggunakan pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan percetakan, motivasi bisnisnya terlihat lebih kental ketimbang memberi manfaat untuk siswa,” kata dia.
Penelusuran KoAk menunjukkan bahwa guru besar yang disebut Kepala Dinas Pendidikan terlibat sebagai tim penggagas buku liar itu adalah Prof. Dr. Syarifudin Basyar. Ia adalah mantan ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kota Metro yang juga menjadi guru besar IAIN Radin Intan Bandarlampung.
Kepada Sapu Lidi, Prof. Dr. Syarifudin Basyar tidak menampik keterlibatannya dalam pembuatan buku tersebut.Namun, kata dia, kapasitasnya hanya sebagai konsultan saja.
Pemerintah Kota Bandar Lampung menahan transaksi buku liar ke seluruh sekolah dasar (SD).Kebijakan itu diberlakukan sampai tim bentukan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyelesaikan investigasi atas buku tersebut.
“Kami menginstruksikan sekolah yang sudah menerima buku itu untuk menahan proses pembayaran sampai ada kejelasan dari tim investigasi,” kata Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Bandar Lampung Tatang Setyadi.
Khusus untuk sekolah yang belum menerima, Dinas Pendidikan memerintahkan agar pihak sekolah menolak pengedropan buku tersebut. Jika hasil investigasi menyatakan pembelian buku dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) menyalahi petunjuk teknis, pembelian buku tersebut harus dibatalkan.
Kejaksaan Tinggi Lampung juga sedang mempelajari kemungkinan adanya unsur pidana. Kejati sudah mendapatkan sampelnya dari beberapa sekolah.
“Kami akan verifikasi juklak dan juknis BOS,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Lampung Heru Widjatmiko.
Jika ditemukan bukti-bukti awal yang cukup, tidak menutup kemungkinan perkara penyalahgunaan dana BOS di balik peredaran buku tersebut akan ditingkatkan ke penyelidikan.
“Kalau ada bukti awal yang kuat, perkara ini bisa dinaikkan ke tahap penyelidikan,” ujarnya.
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SD Kota Bandarlampung sejak awal tidak satu suara mendukung proyek buku liar senilai Rp2,5 miliar. Sumber ketidaksepahaman tersebut terkait pembiayaan, apakah dibeli dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) atau dari pos lain.
Ketua I MKKS SD Bandar Lampung Arsyad mengaku sejak awal tidak tahu-menahu tentang proyek buku kumpulan soal berjudul Evaluasi Belajar Siswa (EBS) itu. Ia mengungkapkan lazimnya setiap kebijakan MKKS selalu dibahas dan diputuskan para pengurus. Namun, terkait proyek buku EBS, ia tidak mendapat cukup informasi.
“Dari awal saya merasa ada yang tidak transparan dari kegiatan ini,” ujar Arsyad.
Arsyad sejak semula khawatir jika buku tersebut harus dibeli dengan menggunakan dana BOS karena akan bertabrakan dengan petunjuk teknis (Juknis) BOS seperti yang diatur dalam Permendikbud No. 76 Tahun 2012.
Hingga buku tersebut dikirim distributor ke sekolahnya, tidak ada instruksi dari Dinas Pendidikan untuk membelinya. “Saya tunggu instruksi, eh buku ini malah ramai diberitakan media massa. Beberapa waktu kemudian baru ada instruksi dari dinas untuk menunda transaksi,” ujarnya.
Program pelatihan guru yang berujung pada pencetakan buku liar sempat ditawarkan kepada Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Bandar Lampung.
Ketua MKKS SMP Bandar Lampung Haryanto mengungkapkan pihak penggagas buku liar datang dan memperkenalkan diri sebagai mitra. Mereka berniat mengadakan pelatihan peningkatan kompetensi guru.
“Pelatihan itu akan menghasilkan produk berupa naskah soal yang akan dicetak dalam bentuk buku,” ujar Haryanto.
Mitra tersebut berjanji menanggung seluruh biaya pelatihan. Namun, ketika produk tersebut dicetak mereka berharap dapat digunakan sekolah walaupun sifatnya tidak memaksa. “Poin ini juga jadi pertimbangan kami. Meskipun tidak mengikat, paling tidak kami sudah berutang budi,” kata dia.
Haryanto sempat diperlihatkan contoh produk yang sudah jadi. “Di situ saya diperlihatkan buku kumpulan soal yang dicetak dengan kover tebal. Dalam hati saya ini pasti biayanya akan lebih mahal dari penggandaan yang biasa kami lakukan,” ujarnya.
Usai melihat contoh produk tersebut, Haryanto berkesimpulan hasil pelatihan itu sebenarnya tak jauh beda dengan produk bahan ajar yang selama ini disusun oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) SMP di Bandarlampung. “Hasilnya biasanya dibagikan ke sekolah dan digandakan oleh sekolah masing-masing,” kata dia.
Meskipun MKKS SMP menolak, Haryanto sempat mewanti-wanti MKKS SD untuk berhati-hati menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
“Saya bilang hati-hati jika produknya berupa buku dan dibeli dengan dana BOS, nanti muncul polemik berkepanjangan,” ujarnya.
Haryanto berpendapat jika dalam format buku pasti akan menimbulkan masalah terkait petunjuk teknis BOS dan besaran harga juga bisa menjadi persoalan. “Harganya nanti harus di bawah harga fotokopi,” kata dia.
Penulis: Dandy Ibrahim/Oyos Saroso HN
Sumber: Majalah Sapu Lidi (Koak Lampung)
0 komentar:
Posting Komentar