KRONIK PAGI SEPANJANG SUBWAY
Dari mana jejak tiba. Bergegas. Jaket-jaket bergelembung oleh dengus, juga mata
tanpa cahaya. Siapa bercakap-cakap. Tak ada.
Beriringan diusung elevator ke pintu-pintu bawah tanah, ditimbun kerja
dilesakkan ke dalam kereta yang melaju perkasa
/2/
Duduk atau berdiri. Musik menundukkan telinga lewat handphone yang selalu menyala
Pikiran-pikiran lenyap dalam gerbong. Tak ada yang bicara. Angin pun tak
Satu setasiun, dua setasiun, tubuh didorong keluar-masuk
Lenyap pada seribu tangga yang gigil
/3/
Tanda-tanda panah ke kiri atau ke kanan. Laju. Pintu. “Ohoi, jangan tersesat,”
jebakan-jebakan angka, huruf-huruf tak terbaca, pada hatimu bicara. Syal dileher
menjerat jejak yang tak menemu ruang
(letakkan telapakmu di udara. Rasakan bekunya)
/4/
Mata itu bicara, tapi bisu. Tak ada peluit. Juga sinyal. Para pejalan menunggu waktu berkunjung
Hanya waktu disesaki oleh senyap. Gempita terkurung tembok besi, bisikanmu nyaris
tak sampai
“Hwarangdae, stasiun terdekat apartemenku, tak juga berkata-kata, memberikan seribu tangga
ke rintih sepatu.”
/5/
Seorang tua duduk di sebuah kursi panjang. Nafasnya menunggu, walau aku tak mengerti siapa yang
dinanti. Riuh lalu-lalang bergemuruh pada otak. Tak berkejap dipandangnya.
“Aku menunggu gunung, tepatnya sebuah bukit, ada soju di bangku-bangku kayu. Aku ingin mabok mencungkili masa lalu.”
Seoul, 30 Maret 2014
PINTU
Kukenal kamu sebagai pintu. Kukenali karena bentukmu.
Melewatimu harus menunduk, bayang-bayang separoh badan
Hanya debu, hanya debulah aku
Lalu kamu ajak aku bersila pada dataran papan hangat. Energi
mengalir dari batin ditumbuk dalam lesung yang tersedia di sudut
“Bukankah kelembutan itu sebuah pintu abadi?” Pintu lain dari
gerbangmu
tak ada yang bisa mengekalkan buka atau tutup
salammu selalu bersambut
dalam bayang separoh tubuh
Seoul, 30 Maret 2014MEDITASI KIMCHI
Selalu kutemukan musim dalam semangkuk kimchi. Salju pun mengirimkan kisah
rapuh dari jauh. Masam, semasam-masamnya , hingga lambung memanggil-manggil nama-Mu
kala jiwa terperangkap gerbong yang tak pernah menemu setasiun
juga matahari dan gerimis malam hari. Memindahkan kimchi ke ruang-ruang pribadi
percakapan yang tak kunjung usai. Bukankah kita selalu bergegas
gelisah yang tak kunjung sudah
belanga kimchi dikubur dalam tanah. Di luar, langit beku. Itulah keheningan, bisikmu.
Serba menjauh dari riuh, berjumpa asam, seasam-asamnya
semakin dicecap, semakin dalam nemu hakikat
dalam kimchi kan kau temui sawi, irisan bawang, cabe merah, garam, dan gugusan waktu.
Adonan musim diaduk dalam mangkuk. Siapa terbatuk-batuk tersedak tajam cuaca
Semua menggigil di ruang tengah, pemanas telah lama mati. Bukankah begitu alasanku?
Hidangan di meja tak sempurna tanpa kimchi. Musim yang tergelar siang-malam
menyajikan narasi pohon-pohon, daun-daun bertimbun di kaki
”Mat-itkae duseyo!”— ”Selamat makan!” begitulah kira-kira maksud-Mu.
Seoul, 14 Maret 2014
---
TENGSOE TJAHJONO dilahirkan di Jember pada 3 Oktober 1958. Memperoleh gelar sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3) di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tenaga akademis FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini banyak menulis puisi, di samping novel, cerita pendek, naskah drama, dan esei atau kritik. Novelnya yang berjudul Di Simpang Jalan pernah dimuat secara bersambung oleh Harian Surya Surabaya.
Naskah dramanya yang berjudul Jalan Pencuri dan Pohon dalam Piring Tanah pernah dipentaskan oleh Teater Institut Surabaya. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, dan artikel dimuat di berbagai media: Harian Surya Surabaya, Jawa Pos, Surabaya Post, Republika, Kompas, Panyebar Semangat, Jaya Baya, Horison, dan sebagainya.
Buku yang sudah ditulisnya ialah: Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi Puisi, Menembus Kabut Puisi, Mendaki Gunung Puisi, dan lain-lain. Beberapa kali menjuarai lomba cipta puisi, antara lain: 5 Besar Lomba Cipta Puisi Nasional (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, 1983), 10 Besar Lomba Cipta Puisi (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), 10 Besar Lomba Cipta Puisi (Yayasan Selakunda Tabanan Bali, 1998).
Pada tahun 2012 memperoleh Anugerah Seni di bidang sastra dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisi tunggalnya: Fenomena (Lembaga Kesenian Indrakila Malang, 1983), Hom Pim Pa (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1984), Mata Kalian (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1988), Ning (Sanggar Kalimas, 1998), Terzina Penjarah (Sanggar Kalimas, 1998), Pertanyaan Daun (Komunitas Kata Kerja Malang, 2003), Salam Mempelai (Pustaka Ilalang, 2010), Slopeng (Rivka Media, 2012), dan Yang Bertamu adalah Ilham (Sanggar Kalimas, 2013).
Buku antologi bersamanya dengan beberapa penyair lain antara lain: Pendapa Taman Siswa Sebuah Episode (Universtas Sarjana Wiyata Yogyakarta, 1983), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), Suluk Hitam Perjalanan Hitam Di Kota Hitam (Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi, 1994), Drona Gugat (1995), Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (Parade Seni WR Soepratman, 1995), Akulah Ranting (Penerbit Dioma Malang, 1996), Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta), Malsasa 2009 (2010), Pesta Penyair (DKJT, 2010), Moh (Sanggar Kalimas Surabaya, 2012), Gresla Mamoso (2013), Selendang untuk Bunda (2013), dll. Sampai kini ia menjadi pemimpin umum Majalah Sastra Kalimas,Surabaya.
Kini Tengsoe Tjahjono sedang tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
Tenaga akademis FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini banyak menulis puisi, di samping novel, cerita pendek, naskah drama, dan esei atau kritik. Novelnya yang berjudul Di Simpang Jalan pernah dimuat secara bersambung oleh Harian Surya Surabaya.
Naskah dramanya yang berjudul Jalan Pencuri dan Pohon dalam Piring Tanah pernah dipentaskan oleh Teater Institut Surabaya. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, dan artikel dimuat di berbagai media: Harian Surya Surabaya, Jawa Pos, Surabaya Post, Republika, Kompas, Panyebar Semangat, Jaya Baya, Horison, dan sebagainya.
Buku yang sudah ditulisnya ialah: Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi Puisi, Menembus Kabut Puisi, Mendaki Gunung Puisi, dan lain-lain. Beberapa kali menjuarai lomba cipta puisi, antara lain: 5 Besar Lomba Cipta Puisi Nasional (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, 1983), 10 Besar Lomba Cipta Puisi (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), 10 Besar Lomba Cipta Puisi (Yayasan Selakunda Tabanan Bali, 1998).
Pada tahun 2012 memperoleh Anugerah Seni di bidang sastra dari Gubernur Jawa Timur. Buku puisi tunggalnya: Fenomena (Lembaga Kesenian Indrakila Malang, 1983), Hom Pim Pa (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1984), Mata Kalian (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1988), Ning (Sanggar Kalimas, 1998), Terzina Penjarah (Sanggar Kalimas, 1998), Pertanyaan Daun (Komunitas Kata Kerja Malang, 2003), Salam Mempelai (Pustaka Ilalang, 2010), Slopeng (Rivka Media, 2012), dan Yang Bertamu adalah Ilham (Sanggar Kalimas, 2013).
Buku antologi bersamanya dengan beberapa penyair lain antara lain: Pendapa Taman Siswa Sebuah Episode (Universtas Sarjana Wiyata Yogyakarta, 1983), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), Suluk Hitam Perjalanan Hitam Di Kota Hitam (Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi, 1994), Drona Gugat (1995), Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (Parade Seni WR Soepratman, 1995), Akulah Ranting (Penerbit Dioma Malang, 1996), Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta), Malsasa 2009 (2010), Pesta Penyair (DKJT, 2010), Moh (Sanggar Kalimas Surabaya, 2012), Gresla Mamoso (2013), Selendang untuk Bunda (2013), dll. Sampai kini ia menjadi pemimpin umum Majalah Sastra Kalimas,Surabaya.
Kini Tengsoe Tjahjono sedang tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar