Nalar Sesat Jurnalis

Blontank Poer

Sampai nulis ini, saya masih gagal paham ketika menemukan berita dengan judul seputar janji polisi dalam mengamankan pemilihan umum. Bagi reporter magang, bisa merumuskan tema bahasan dalam sebuah judul yang catchy, tentu membahagiakan. Apalagi jika sampai lolos dari meja redaktur tanpa perubahan. Tapi redaktur yang meloloskan berita demikian, menurut saya, termasuk gagal ‘move on’ alias payah!

Bagaimana tak bisa disebut payah jika mengingat untuk mencapai posisi redaktur, seseorang harus melewati proses panjang dalam karir jurnalistik. Apalagi jika ia mengalami penugasan ‘ngepos’ di kepolisian. Bagi pewarta yang ngepos di kepolisian, pasti pernah mengalami ‘himbauan’ untuk memberitakan secara besar-besaran atau tidak memberitakan (embargo) sebuah perkara, dengan alasan tertentu.

Seorang jurnalis yang pernah liputan di kepolisian, pasti mahfum akan adanya ‘organisasi kolaboratif’ bernama ‘wartawan unit Polres/Polda/Mabes’ dan sejenisnya. Organisasinya semacam itu biasanya dipimpin seorang koordinator, biasanya dipilih dengan pertimbangan senioritas. Senior di sini bisa merujuk usia seseorang, namun yang paling sering adalah mereka yang telah lama ngepos di kepolisian.

Balik lagi ke pokok soal, yakni posisi aparat kepolisian dengan pemilu. Coba, apa istimewanya polisi pamer kekuatan dan meneriakkan kesiapannya mengamankan pemilu seperti 54 Ribu Polisi Siap Amankan Pemilu?

Menurut Pasal  13, Undang-undang no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,  tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a.              memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b.              menegakkan hukum; dan
c.              memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Jadi, memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum dan sebagainya, itu merupakan kewajiban, mandat konstitusional yang harus dijalankan setiap personil kepolisian. Maka, ketika kita jumpai polisi membiarkan rombongan pengendara Harley Davidson menerobos lampu merah secara berjamaah, sejatinya mereka sudah ingkar terhadap mandat konsitusional mereka.

Oleh karena itu, pamer kesiapan pengamanan proses pemilihan umum, bukanlah sebuah prestasi, yang perlu diapresiasi dalam bentuk pemberitaan. Dan, seorang redaktur pasti tahu beda prestasi dan yang sebaliknya. Dan sudah pasti pula ngerti tugas jurnalis bermuara pada (salah satunya) kontrol sosial.

Media, yang di dalamnya berintikan jurnalis, justru seharusnya mengawal Undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyorot berbagai hal yang diabaikan aparatur kepolisian terkait dengan tugas dan kewenangan mereka.

Ya, seperti contoh di atas tadi, polisi yang selalu mengistimewakan penunggang motor gede. Polisi yang seharusnya menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mestinya, tak boleh mengistimewakan lantaran takut, bahwa di balik helm penutup penunggang motor gede terdapat wajah-wajah atasan maupun orang-orang ‘penting’ yang kerap ‘berpartisipasi’ menyumbang kegiatan-kegiatan kepolisian. Padahal, konsekwensi pembiayaan atas kerja polisi sudah dijamin oleh anggaran negara.

"Polisi Nyatakan Siap Amankan Pemilu"  dan "Kapolri: Polisi Siap Amankan Pemilu 2014" adalah contoh berita yang saya kategorikan sebagai basi, dan tak perlu.

Disebut berita dan perlu dibaca banyak orang, jika materi bahasannya adalah pengingkaran atau respon negatif terhadap undang-undang, misalnya polisi menyatakan tak siap amankan pemilu, apapun alasannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan