Eufimisme Pahit Bahasa

Toto Dartoyo*

KETIKA
seorang guru akan menyerahkan rapor kepada orang tua yang anaknya tidak naik kelas, tentunya ia tidak akan mengatakan, “Maaf Bu, anak  Ibu bodoh sehingga tidak naik kelas”. Sebab, jika berkata begitu, guru tadi telah membuat orang tua tersebut resah. Sebaliknya, dia akan berkata, “Maaf Bu, anak Ibu agak tertinggal dengan teman-temannya sehingga tidak naik kelas.”

Dari ilustrasi di atas kita tahu bahwa sang guru tengah bereufimisme. Eufimisme dalam bahasa Indonesia dikenal dengan penghalusan. Tujuannya adalah untuk kesopanan (Abdul Chaer: 1990). Eufimisme yang dilakukan oleh guru tadi adalah mengganti  kata “bodoh” dengan “agak tertinggal” dengan maksud supaya si orang tua tidak tersinggung.

Eufimisme merupakan salah satu jenis perubahan makna yang umum terjadi  di masyarakat. Gejala ini bukan sesuatu yang baru dalam penggunaanya. Pemakaiannya pun sudah dikenal sejak dahulu kala oleh kakek-nenek moyang kita. Untuk menyebut “ular”  jika berada di hutan, orang-orang dulu menggantinya dengan “akar”. Atau menyebut “nenek” sebagai pengganti “harimau”.

Akan tetapi, meskipun pemakaian eufimisme sudah dikenal lama, kadang-kadang masyarakat kita masih belum tepat  dalam menempatkan eufimisme ini. Bahkan ada gejala penggunaan eufimisme untuk maksud-maksud tertentu yang tidak menguntungkan bagi perkembangan bahasa itu sendiri.

Beberapa waktu lalu, tepatnya di masa Orde Baru, pendisfungsian bahasa  terjadi begitu mencolok. Bahasa Indonesia diberangus perkembangan dan kebebasannya atas dalih pembakuan dan standardisasi. Akibatnya, muncul model-model eufimisme dan corak bahasa santun. Selain itu, pemakaian istilah dan penamaan segala sesuatu diatur secara kaku, mati, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. (R.Kunjana, Jawa Pos: 2000).

Bahasa model eufimisme dan gaya bahasa santun yang berciri membelenggu itu telah sampai pada taraf mengerdilkan daya kreasi dan kreativitas masyarakat kita, meskipun tidak sampai pada taraf mematikan. Kemerdekaan berekspresi dengan bahasa yang bebas merdeka pada masa itu telah dikekang dan ditelikung. Kebebasan berpikir dan berkreasi dengan bahasa, sungguh-sungguh telah dikebiri. Sebagai gantinya diciptakanlah bahasa-bahasa model eufimisme dan bergaya santun dengan maksud untuk mengaburkan makna dari makna sebenarnya. Masyarakat pun menjadi latah dan terbiasa dengan model bahasa seperti itu.

Kata “korupsi” misalnya, dieufimismekan dengan “penyalahgunaan jabatan”. Kata “penyalahgunaan jabatan” ini lebih disukai daripada kata “korupsi”. Padahal, jika ditelaah secara kejiwaan, ia akan berdampak positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Korupsi adalah sebuah kata yang berkonotasi negatif. Akan tetapi, meskipun konotasi yang ditimbulkannya negatif, efek yang dimunculkannya justru sebaliknya. Secara psikologis, jika seseorang disebut sebagai “koruptor” (orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi), tentu akan malu jika mendengar atau disebut demikian. Sebab, dengan disebut sebagai koruptor, kesalahannya yang telah mengambil uang dengan jalan menyimpang, tengah disaksikan orang banyak.

Dan, orang normal yang mendengar kata ini, sedikit banyak tentu akan merasa malu. Urat malunya akan bergetar dibanding mendengar kata “penyalahgunaan jabatan”. Pada akhirnya, penyebutan demikian akan mendorong orang normal tersebut untuk berpikir dua belas kali jika akan melakukan perbuatan terkutuk itu.
Dengan contoh uraian di atas, jelas kepada kita bahwa pada masa Orde Baru, pembohongan terhadap (masyarakat) bahasa lewat eufimisme memang sengaja dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Beberapa pakar menyebutnya untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa lagi mengatakan sebagai sikap penjilatan bawahan pada atasan.

Banyak lagi kata-kata di masa ini yang ditelikung maupun dikacaukan maknanya demi tujuan tertentu atau maksud-maksud lain. Kata “lonte” diganti dengan “wanita tuna susila”, “penjara” dengan “lembaga pemasyarakatan” (sampai sekarang kata ini masih digunakan), dan masih banyak kata lain adalah kata-kata yang mengalami pengecohan dan pengaburan makna. Akibatnya adalah apa yang dalam sosiopsikolinguistik disebut sebagai 'pembesar-besaran fakta dan penyederhanaan yang berlebih-lebihan'. Pesan yang sebenarnya terkandung dalam sebuah kata akhirnya tidak dapat dipahami secara jelas.

Hal demikian itu menurut Drs. Bachrudin (Jayakarta: 1989) sangat membahayakan integritas paguyuban bahasa dan mengacaukan efektivitas komunikasi verbal. Sebab, penyimpangan-penyimpangan tersebut akan membuat chaos makna tuturan yang pada gilirannya dapat menimbulkan rasa saling curiga atau bahkan apatisme dalam suatu lingkungan penutur bahasa. Memang demikianlah apa yang terasa pada masyarakat penutur kita pascalengsernya Orde Baru.

Dengan demikian, proses penghancuran secara sistematis itu merupakan mimpi buruk bagi bahasa kita, bahasa Indonesia. Bahasa yang kita yakini mampu mendewasakan pemikiran-pemikiran masyarakat, tetapi ternyata pemaknaannya telah diubah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang menyesatkan dan kerdil.
Perubahan makna kata merupakan gejala yang wajar dalam perkembangan suatu bahasa karena bahasa (makna) berkembang secara sinkronis dan diakronis. Demikian pula dengan fenomena eufimisme sebagai khazanah pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Bagaimanapun, fenomena tersebut mesti dilihat sebagai indikator adanya dinamika dan kreativitas budaya masyarakat, seperti halnya kita bisa sepakat dengan ilustrasi eufimisme pada awal tulisan ini.

Untuk itu, yang harus diperhatikan dalam pelestarian kosakata dan aspek pemekaran bahasa Indonesia ini adalah perlunya menjaga dan memelihara pemahaman (kepahaman) sebuah makna. Jangan sampai pemahaman itu direduksi oleh bentuk dan tindakan apapun. Sebab, hal ini merupakan aspek penting yang menentukan eksistensi bahasa Indonesia dalam perjalanannya kemudian.

Dapat dibayangkan kekacauan yang akan timbul jika setiap orang atau sekelompok orang – lebih-lebih penguasa dan lembaga bahasa- menyalahgunakan bahasa dengan dalih untuk menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang luwes.

Lalu, bagaimanakah jika penggerusan tersebut masih dan terus saja berlagsung? Tidak ada jalan lain, kecuali semua pihak hendaknya bersikap waspada. Jangan sampai sejarah pahit bahasa ini terulang kembali. Kewajiban kita sekarang adalah mengangkat dan mendudukkan eufimisme pada posisinya secara proporsional.***


*Alumnus jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta,guru SMPN 2 Ciampel, Karawasng, Jawa Barat

0 komentar:

Posting Komentar

 
© 2009 CONTOH TAMPILAN | Powered by Blogger | Built on the Blogger Template Valid X/HTML (Just Home Page) | Design: Choen | PageNav: Abu Farhan